Di dalam kamus bahasa Indonesia, kata “peka” dan “pekak” hanya berjarak satu huruf saja. Huruf “k”. Kedunya sama dalam satu golongan, yaitu golongan kata sifat (ajektif). Tetapi, di dalam kehidupan sosial-politik, kedua kata itu berjarak sangat jauh. Pengertian keduanya berbeda sangat kontras. Perbedaan kualitas maknanya pun sangat tajam.
“Peka” adalah “mudah merasa”. Sedangkan “pekak” adalah “kurang baik pendengaran”. Begitulah definisi kedua kata itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Di tingkat sosial-politik Indonesia pada waktu ini, yang lebih banyak diperlihatkan orang adalah ketulian, kepekakan. Lebih banyak orang yang “kurang baik pendengaran” dibandingkan dengan orang yang “mudah merasa” alias “peka”.
Sebagian besar politisi di sini adalah orang-orang yang, sengaja atau tidak, “kehilangan pendengaran”. Sangat menyedihkan. Kata banyak orang, Presiden sendiri pun yang semula sangat “peka” dengan berbagai isu kerakyatan, kemudian bisa berubah menjadi “pekak”.
Dulu, Presiden peka terhadap kenaikan harga-harga. Peka terhadap komoditas yang langka di pasaran. Tetapi, “kepekaan” Presiden kemudian berubah menjadi “kepekakan”. Ketika harga cabai rawit meroket sampai di atas seratus ribu rupiah sekilo, Presiden mengatakan “Jangan dibeli.” Menteri Perdagangan mengatakan, “Tanam sendiri.” Pak Menteri pun ikut “kehilangan pendengaran”, ikut-ikutan “pekak”.
Presiden yang semula berjanji akan berpihak kepada rakyat kecil, bukan kepada konglomerat, rupanya tidak lagi "peka" terhadap isu ini. Dari hari ke hari, Presiden tampak seperti menghindari komitmen untuk memperkuat ekonomi rakyat kecil. Tanpa disadari, Presiden mengganti "peka" dengan "pekak".
Presiden, c.q. Menteri Dalam Negeri, yang seharusnya memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari jabatan gubernur DKI setelah berstatus tersangka, juga berubah menjadi “tidak mendengar” alias pekak. Begitu banyak sindiran dan imbauan, dari yang paling halus sampai yang paling lantang, tidak dipedulikan oleh Presiden dan Mendagri.
Di pilkada DKI sendiri juga lebih dominan “pekak” ketimbang “peka”. Secara simultan, semua pembesar negara baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dukungan kuat kepada calon gubernur yang dirasakan “pekak” oleh banyak warga Jakarta. Sifat “peka” itu sudah tidak ada lagi.
Para politisi juga tidak lagi punya kepekaan. Sebaliknya, kepekakanlah yang mereka tunjukkan kepada para pendukung mereka. Ketua PPP (Romi dan Djan Faridz) mengganti “peka” dengan “pekak”. Mereka sama-sama tidak mendengarkan konstituennya ketika mendukung Ahok di pilkada.
Jaksa juga ikut menjadi pekak. Tuntutan umat Islam agar keadilan ditegakkan oleh semua lembaga hukum dalam kasus penistaan agama, diterima oleh tim kejaksaan dengan mengajukan tututan ringan.
Di bawah Presiden, para menteri pun mengganti “kepekaan” dengan “kepekakan”. Yang semula “peka”, kemudian menjadi “pekak”. Menko Pembangunan Manusia, Puan Maharani, menjadi tidak peka ketika dia, tahun lalu, mengatakan kepada para petani penerima beras miskin (raskin) agar mereka melakukan diet, tidak usah makan terlalu banyak.
Dalam skandal korupsi e-KTP, banyak pembesar yang lebih suka “pekak” ketimbang “peka”. Misalnya, banyak yang meyakini bahwa Setya Novanto cukup serius keterlibatanya. Namun, Setnov lebih suka “tidak mundur” dari posisi yang dipegangnya, baik itu sebagai Ketua Umum Golkar maupun sebagai ketua DPR. Sangat tidak “peka”.
Menteri Hukum dan Ham, Josanna Laoly, memilih "pekak" ketimbang "peka" ketika dia, bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, juga disebut-sebut terlibat dalam korupsi e-KTP. Seperti Setnov, kedua tokoh senior PDIP itu tidak mau mundur dari jabatan mereka.
Situasi hilang “peka” berganti “pekak” juga terjadi secara horizontal di ranah sosial kita. Orang-orang kaya dan superkaya tidak merasa bersalah ketika mereka memamerkan kelengkapan hidup yang serba mewah. Rumah supermewah, mobil supermewah. Berbelanja mingguan ke negeri jiran dengan fasilitas suipermewah. Harga-harga belanjaan yang membunuh "peka".
Berita tentang kemiskinan, tentang orang-orang yang sehari makan sehari tidak, mereka terima dengan pendengaran yang rusak alias “pekak”.
Tanpa bermaksud menyamaratakan semua orang, ternyata sebagian kecil orang kaya dan superkaya itu ada juga yang “peka”. Alhamdulillah, tidak semuanya “pekak”.(*)
(Artikel ini merupakan opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #