PERSOALAN bangsa yang selama sebulan penuh menjadi perbincangan, bahkan memicu perang urat syaraf, yaitu soal penggantian Kapolri, terjawab sudah. Presiden Jokowi ternyata berani melawan arus dengan membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Presiden juga menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti menjadi calon Kapolri. Nama Badrodin pantas, selain rapornya tak ada yang merah, secara karier pun dia yang paling senior. Padahal, arus kuat, terutama dari gedung Parlemen di Senayan, mendesak agar Budi Gunawan segera dilantik, menyusul digugurkannya status tersangka dirinya oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi. Pelantikan itu ibarat menghitung hari.
Namun, secara mengejutkan, Presiden Jokowi membatalkan pencalonan Budi Gunawan, walaupun ia sudah lulus uji kelayakan di DPR. Rupanya, Jokowi telah menaruh kepercayaan yang tinggi kepada Tim 9. Tim itu tentu bukan kelompok orang sembarangan, apalagi abal-abal seperti yang dibilang Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman. Tapi, tim itu merupakan kumpulan para suhu atau guru bangsa.
Sebut saja Buya Syafiie Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Prof Jimly Ashidiqqie, pakar hukum tatanegara paling senior dan mumpunidi Indonesia, Ery Riyana Hardjapamekas, mantan wakil ketua KPK yang teruji kapasitas kepemimpinan dan merupakan pesohor gerakan anti korupsi.
Masih ada lagi Imam B Prasodjo, sosiolog yang juga tokoh gerakan pemberdayaan masyarakat. Lalu Tumpak Hatorangan Panggabean, juga mantan wakil ketua KPK. Bergabung dalam Tim 9, dua orang pensiunan Polri, yaitu Sutanto dan Oegroseno, masing-masing mantan kapolri dan wakapolri.
Presiden Jokowi barangkali juga sudah berhitung bagaimana karakter Budi Gunawan jika jadi dilantik, sementara perintahnya agar Polri tidak melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan dan para penyidik KPK tidak digubris. Terbukti, pada awal pekan ini, pendukung setia Budi Gunawan, yaitu Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso melalui para penyidiknya menetapkan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka menyusul Bambang Widjojanto.
Sesuai dengan UU Nomor 30Tahun 2002 tentang KPK, jika berstatus sebagai tersangka, mereka harus dinonaktifkan. KPK bakal lumpuh karena kolektivitas kepemimpinan KPK sudah tidak ada lagi. Dari lima unsur pimpinan, tinggal Adnan Pandupradja dan Zulkarnaen yang masih aktif. Itu pun Bareskrim sudah mengeluarkan surat perintah penyidikan (Sprindik).
Kendati statusnya masih sebagai saksi, namun, bisa sewaktu-waktu keduanya ditetapkan sebagai tersangka. Dengan penetapan sebagai tersangka, mereka harus non aktif. Unsur wakil ketua yang pernah diduduki oleh Busro Muqoddas, hingga hari ini, belum ada penggantinya. Karenanya, Presiden harus menerbitkan surat keputusan penggantian sementara para pimpinan KPK.
Itu juga sudah dilakukan Presiden hari ini, yaitu dengan menunjuk Taufiqurahman Ruki,Indianto Seno Adji, dan Johan Budi SP sebagai pimpinan sementara KPK. Agar kolektivitas pimpinan KPK lima orang, kemungkinan besar Presiden akan minta Bareskrim mengeluarkan surat perintah pemberhentian perkara (SP3) terhadap Adnan dan Zulkarnain. Langkah itu pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Betulkah langkah Jokowi ini merupakan upaya melepaskan diri dari belenggu tekanan KMP-2, yaitu Kala-Mega-Paloh. Pertanyaan berikutnya, apakah DPR akan memproses secara cepat pencalonan Badrodin, sama cepat dan mulusnya seperti yang dialami Budi Gunawan? Pasalnya, hari ini adalah hari terakhir masa persidangan, karena setelah itu DPR akan memasuki masa reses, yaitu bersidang di luar gedung selama sebulan penuh.
Kini bola panas bergeser. Dari Itana ke Senayan. Apakah para wakil rakyat itu mengikuti alur kebijakan Presiden Jokowi yang terkesan lamban mengambil keputusan atau menempuh langkah lain karena kecewa. (b)