DALAM waktu kurang dari dua bulan, telah terjadi tragedi penerbangan di Indonesia. Pertama, jatuhnya pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ 8501 di perairan Selat Karimata pada 28 Desember 2014. Seluruh awak dan penumpangnya tewas.
Tragedi kedua adalah dibatalkannya puluhan jadwal penerbangan maskapai Lion Air dari berbagai kota di Indonesia pada Rabu (18/2/2015). Ratusan penumpang terlantar. Bahkan ada yang lebih dari 24 jam lamanya tanpa kejelasan informasi dan penanganan sesuai dengan prosedur penerbangan yang berlaku.
Kedua maskapai penerbangan itu nyaris mempunyai ciri pesawat yang sama, sama-sama berunsurkan berwarna merah dan putih. Dalam kasus Lion Air, secara korban jiwa, barangkali tidak ada. Tapi menelantarkan penumpang berjam-jam, tentu tidak hanya membuat penumpang menderita tidak hanya secara fisik, tapi juga harta benda. Lion Air tidak hanya menjatuhkan citra dirinya sebagai maskapai penerbangan murah (low cost carrier), tapi juga bisa meruntuhkan citra penerbangan nasional.
Bandingkan dengan kasus Air Asia, Indonesia mendapat acungan jempol dua dari dunia internasional. Indonesia mampu secara profesional menangani proses pencarian dan evakuasi (search and resque/SAR) para korban. Pemerintah juga cepat tanggap mengurusi proses klaim asuransi untuk para keluarga korban. Mereka puas dengan pelayanan (service) yang diberikan.
Kasus Lion Air ini ironis. Pemiliknya saat ini, Rusdi Kirana, adalah politisi, dengan jabatan wakil ketua umum Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB). Tentu kasus itu jelas tak ada hubungannya dengan Lion Air. Rusdi juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang belum lama ini diangkat. Kasus Lion Air ini juga tak ada hubungannya dengan lembaga Dewan Pertimbangan Presiden.
Namun, ketidakmampuan Edward Sirait, direktur utama Lion Air dalam menangani kasus pembatalan jadwal penerbangan tersebut menunjukkan tidak hanya jeleknya manajemen maskapai penerbangan tersebut. Tapi, juga menyeret-nyeret ke persoalan dan pihak lainnya. Itu adalah dampak dari sikap tidak profesional yang berpandangan, penumpang cukup diberi harga tiket yang murah walaupun pelayanannya jelek.
Karenanya, dalam kasus ini, sikap tanggap pemerintah, khususnya otoritas penerbangan, termasuk Kementerian Perhubungan dipertaruhkan dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan upaya menegakkan aturan hukum yang berlaku. Keduanya harus berjalan secara paralel agar penerbangan Indonesia menjadi bisnis unggulan untuk membangun perekonomian nasional, tidak hanya di kota, tapi juga di wilayah pinggiran. (b)