Langkah KPK Terhadap Kasus DPRD- Ahok
GUBERNUR Basuki Tjahaja Purnama menyatakan tak bisa lagi berunding dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta untuk membicarakan kembali masalah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakata 2015.
Dia lebih memilih membawa kasusnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan minta agar memeriksa DPRD. Ahok, sapaan Basuki Tjahaja Purnama menuding DPRD telah menyusupkan dana siluman dalam RAPBD tersebut sebesar Rp 12,1 triliun. Dana sebesar Rp 12,1 triliun itu merupakan belanja Uninterruptible Power Supply (UPS) di semua kelurahan dan kecamatan di Jakarta Barat.
Sebaliknya, DPRD bersiteguh menggunakan hak angket untuk menyoal RAPBD siluman yang dikirimkan Ahok ke Mendagri. Disebut RAPBD siluman, karena menurut pihak DPRD, naskah yang dibawa Ahok ternyata berbeda dengan yang sudah disahkan dalam rapat paripurna DPRD pada 27 Januari 2015. Di situ disebutkan, RAPBD 2015 itu mematok angka Rp 73,08 triliun. Jumlah itu bertambah 20% dari APBD Perubahan 2014.
Soal dana siluman sebesar Rp 12,1 triliun disebutkan Ahok merupakan belanja Uninterruptible Power Supply (UPS) di semua kelurahan dan kecamatan di Jakarta Barat. Ahok pun mengimplikasikan RAPBD 2015 dalam bentuk sistem anggaran elektronis (e_budgeting).
Persoalannya sekarang, ada di manakah posisi KPK menyikapi tudingan Ahok dan hak angket DPRD? Yang KPK dituntut secara profesional untuk membuktikan dugaan penggelapan mata anggaran dalam APBD 2015 seperti dituduhkan Ahok ke DPRD. Sebaliknya, KPK juga harus dapat membuktikan benar tidaknya Ahok telah membuat RAPBD fiktif, yaitu di luar yang sudah disetujui di paripurna DPRD. Bagaimana sanksi hukumnya.
Kita harus menjaga agar KPK tidak tebang pilih dan penyidikan suatu kasus tidak hanya berdasarkan pesanan, tapi memang merupakan tuntutan profesional KPK sebagai penjaga gawang Indonesia dari tindakan pidana korupsi yang mampu menggerogoti ekonomi nasional.(b)