JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengingatkan agar pemerintah tidak asal menuduh bahwa penurunan daya beli masyarakat hanyalah isu yang digoreng pihak yang berkepentingan di 2019.
Menurutnya, melemahnya daya beli masyarakat merupakan cerminan adanya kesalahan kebijakan yang salah kaprah.
"Daya beli masyarakat adalah soal politik-ekonomi. Kalau kebijakan politik-ekonominya keliru, maka sudah pasti kebijakan daya beli ikut keliru," tandas Ketua DPP Gerindra itu di Jakarta, Jumat (06/10/2017).
Dijelaskannya, dari data BPS 2017 tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II tahun ini tercatat 5,01 persen.
Artinya, kata dia, angka itu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,18 persen.
Tak hanya itu, ungkapnya, penurunan itu ditandai oleh penurunan konsumsi rumah tangga yang menjadi indikator untuk mengukur daya beli.
Untuk diketahui, kata dia, konsumsi rumah tangga kuartal II-2017 hanya mencapai 4,95 persen atau hanya naik tipis dibandingkan kuartal sebelumnya yang pertumbuhannya 4,94 persen. Perlambatan juga terlihat dari konsumsi rumah tangga pada kuartal II tahun lalu yang mencapai 5,07 persen.
"Apa kesimpulan yang bisa ditarik dari angka-angka tersebut? Jawabannnya adalah bahwa memang sedang terjadi distorsi pada daya beli masyarakat. Itu tak bisa dibantah. Dan atas hal tersebut, pemerintah jangan tiba-tiba menjawabnya dengan enteng bahwa hal tersebut adalah politisasi. Pemerintah mustinya lebih peka dan tidak anti kritik," sindir Legislator dapil Jabar IV itu.
"Daya beli masyarakat bukan hal sepele dan nyeleneh. Sebab, jangan sampai publik melihat lesunya daya beli saat ini karena pemerintah suka nyeleneh," sambungnya.
Kalau lihat angka, terang dia, daya beli masyarakat tumbuh sangat tipis dari 4,94 persen pada kuartal I tahun ini menjadi 4,95 persen pada kuartal II.
"Namun, menurun tajam jika dibandingkan periode yang sama kuartal II-2016 yang mencapai 5,07 persen. Itu fakta yang tidak nyeleneh," sindir Heri.
Suka atau tidak suka, tandas dia, penurunan daya beli masyarakat memang nyata adanya dan angka sudah berbicara banyak.
"Faktanya, konsumsi rumah tangga sedang terjadi perlambatan. Kuartal II-2016 sebesar 5,07 persen turun ke angka 4,95 persen di kuartal II Tahun 2017. Artinya, daya beli kita memang sedang terdistorsi. Soal shifting dari offline ke online tak bisa jadi pegangan," bebernya.
Sementara itu, kata dia, survei keyakinan masyarakat terhadap ekonomi menunjukkan pelemahan sejak Mei 2017. Terakhir, September 2017 menurun 0,3 poin dari angka Agustus 2017. Pelemahan itu disebabkan oleh penurunan indeks penghasilan.
"Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membeberkan keluhan sepinya gerai para anggotanya. Sebagai misal, PT. Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) yang sepanjang Semester I/2017 mengalami penurunan laba bersih hingga 71,03 persen dari periode yang sama tahun lalu, atau dari Rp105,5 miliar menjadi Rp30,5 miliar. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah penurunan daya beli masyarakat," jelasnya.
"Sementara itu, persewaan ruang perkantoran di kawasan bisnis juga turun 18 persen. Selanjutnya, selama Januari-Juli 2017 penjualan sepeda motor merosot sebesar 13,1 persen. Pada Juni 2017 malah turun 30 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, Gabungan Pengusaha Makanan Dan Minuman Indonesia (GAPMMI) tegas menyatakan bahwa daya beli masyarakat turun 10 persen dibanding tahun lalu," tambahnya.
Selain itu, terang dia, Lesunya transaksi jual beli pun dirasakan oleh warung-warung kopi dengan segmen pasar anak-anak muda.
Kalangan remaja dan pemuda kelas menengah bawah memiliki batas kemampuan beli yang merosot, bahkan hanya untuk menikmati kopi.
"Uang jajan ekstra yang dulunya bisa Rp 35.000-50.000 di kantong, kini tidak ada lagi. Bukti penjualan yang menurun juga terjadi di masa jelang hari raya lalu di pusat perbelanjaan tekstil Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penjualan rata-rata pedagang Tanah Abang diprediksi melorot sampai 30 persen dibanding tahun lalu. Kemerosotan 50-70 persen dikabarkan terjadi merata di Blok A, B dan F," terang Heri.
"Itu semua adalah fakta yang tak mungkin bisa berbohong," tegasnya. (icl)