Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru saja mengumumkan bahwa Indonesia telah memasuki musim panas, meninggalkan musim hujan yang berpuncak nanti pada bulan September. Kabar gembira jika melihat betapa musim penghujan telah merepotkan kita dengan banyak bencana. Longsor dan banjir menjadi dua hal yang menghantui masyarakat pada musim penghujan kemarin ini.
Adalah banjir yang selalu menjadi masalah besar bagi pusat pemerintahan republik ini yang menahun. Terlepas dari perdebatan teknis apakah Jakarta sebenarnya dilanda banjir atau hanya sekadar genangan seperti perdebatan pada “tenggelamnya” Jakarta terakhir kali pada bulan lalu, kita melihat adanya persoalan mitigasi bencana banjir. Ada urusan input, proses dan output –selengkapnya sistem, yang belum terkelola secara integral hingga mengakibatkan meluapnya air sungai –yang kemudian secara teknis disebut banjir, atau menggenangnya air akibat kacaunya sistem drainase –yang kemudian disebut dengan genangan. Intinya ada bencana yang sewaktu-waktu akan menelan Jakarta.
Nyatanya, genangan-genangan persoalan juga tengah merayapi elevasi struktur politik bangsa ini. Penyebabnya bisa dikiaskan sama, yaitu tak terselesaikannya proyek perubahan secara radikal dan komprehensif dari sistem politik kita. Ada persoalan akut di sektor input, tidak akuntabelnya mekanisme atau proses hingga output yang belum terukur pasti.
Ibarat 13 sungai yang menjadi hulu dari banjir yang selalu mengancam Jakarta sampai saat ini belum menemukan solusi untuk mengatasinya partai politik adalah hulu dari persoalan politik yang juga menyuplai genangan persoalan politik di negeri ini. Partai sebagai penyumbang genangan persoalan semakin diperjelas dalam periode awal rezim Jokowi - Jk ini dengan konstelasi menguatnya peran politik masyarakat sipil. Salah satunya adalah tudingan menguatnya cengkeraman oligarki yang dilanggengkan dalam partai politik.
Akibat dari tidak lugasnya proyek perubahan yang diusung reformasi hingga tak menyentuh sektor input dari perpolitikan ini, reformasi hanya memperluas kebebasan membangun partai politik bukan menciptakan prasyarat bagi terbangunnya partai politik yang modern dan progresif. Secara teoritis, menjadi sangat aneh ketika isu-isu kerakyatan dan persoalan-persoalan turunan yang muncul dari proses pemantapan demokratisasi justru lebih berartikulasi melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil dan bukan melalui organisasi-organisasi politik.
Ada kesan dislokasi pada parpol kita. Itu persoalan awal yang juga akan memengaruhi pada proses dan mekanisme dalam “core Business” yang diemban oleh parpol yakni memproduksi kader-kader pemimpin politik yang mumpuni. Persoalan hulu politik ini kemudian diperumit dengan tidak clearnya kelompok masyarakat sipil dalam konsepsinya tentang politik yang kemudian menghantam secara babi buta parpol secara kelembagaan seluruhnya. Slogan-slogan aksi seperti, “Presiden jangan tunduk pada kehendak Parpol,” sesungguhnya menyembunyikan kesalahpahaman yang dalam terkait bahwa sesungguhnya partai adalah organisasi partai politik rakyat.
Kebutuhan pragmatis perubahan yang diidamkan telah mengacaukan arah perubahan yang mengharuskan kuatnya partai politik sebagai saluran politik rakyat yang bersih dari anasir-anasir kontra perubahan. Artinya, masyarakat sipil pun mustinya tak mengambil rute yang “memotong jalan” dengan mengabaikan mendobrak kebuntuan di sektor input ini dengan mendorong isu-isu sembari melepaskannya dari mediumnya yakni organisasi politik rakyat.
Karena bagaimana pun, upaya-upaya tersebut hanya akan menambah kesadaran yang terfragmentasi tentang politik. Akhirnya, hal ini hanya akan membentuk pola pertarungan di level ouput politik antara masyarakat sipil versus masyarakat politik yang akan selalu terulang ibarat Mitos Sisifus.
Sebuah arah baru dari proses perubahan tentu sangat dinantikan. Sebuah komitmen yang seharusnya diemban oleh organisasi-organisasi politik rakyat atau partai politik. Arah baru ini tentu tak bisa disederhanakan dengan pemberian pembiayaan partai sebesar satu triliun seperti yang dicanangkan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo. Namun, lebih menuntut pembenahan secara prinsipiil dan struktural dari partai politik.
Pengertian tentang keadaan serba transisional harus segera disudahi dengan kembali pada trayek-trayek politik formal dari sebuah proses berdemokrasi pada negara demokratis biasanya. Penguatan organisasi politik menjadi jawaban selain terus memberi ruang gerak yang proporsional pada lembaga-lembaga negara yang terbentuk dari proses demokratisasi itu sendiri.
Gerakan perubahan yang selalu identik dengan gerakan moral dan ditempuh dari luar kekuasaan sudah semestinya berkembang menjadi gerakan politik yang hari ini bisa tempuh dengan menguatkan partai-partai politik yang ada. Kehendak untuk perubahan harus sebangun dengan kehendak untuk kekuasaan. Di mana prinsip-prinsip politik dan kekuatan nilai dari moralitas perubahan terlembagakan dalam partai politik yang maju.
Paling tidak, dengan kesadaran ini kita telah mengantisipasi hulu persoalan politik kita, yakni di tubuh perekrut calon-calon pemimpin negeri ini. Jika sumbernya sudah sedikit lebih baik maka perombakan pada dimensi proses dan output sudah pasti akan lebih ringan. Hingga banjir persoalan dan genangan permasalahan bisa lebih mudah di atasi.
*Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #Jokowi #Jokowi JK #BMKG