Setelah mendapat resistensi dan antipati dari publik, akhirnya Perpres tentang penambahan uang muka kendaraan untuk pejabat negara dibatalkan. Alasannya cukup menggelitik, bahkan di media internasional sekelas Wall Street Journal, alasan presiden ini ditulis apa adanya. “Joko: I Don’t Know What I Sign”, begitu bunyi judul berita yang hampir satu halaman itu.
Saya membayangkan reaksi bingung dari para pelaku pasar di lantai bursa Amerika setelah membaca judul berita ini. Bahkan, sebenarnya sebelum judul itu muncul, kawan-kawan di kantor saya sudah sudah mulai kehabisan energi untuk tertawa melihat kelakuan rezim yang kian hari kian “aneh”, jika tak mau disebut “menjengkelkan”. Kata “aneh” ini terasa lebih netral untuk saya, begitu juga kawan-kawan saya. Sehingga kesan yang muncul menjadi tidak politis, tapi lebih kepada kesan “humoris” dan “lucu”.
Saya menghindari penggunaan kata-kata yang antipatik plus tendesius, seperti kata-kata kasar yang mungkin lebih sering keluar dari mulut Ahok ketimbang dari mulut Haji Lulung, bukan karena malas di-bully oleh para pencinta rezim, tapi tepatnya karena saya lebih memilih untuk menjadikan aksi-aksi rezim sebagai objek pelampiasan kebutuhan humor saya, ketimbang objek untuk menghidupkan kembali harapan-harapan baik bernegera kedepan.
Pembatalan Perpres ini, secara kategoris, sejatinya sama saja dengan logika yang melatarbelakangi pembatalan BG jadi Kapolri. Istanalah yang awalnya melemparkan BG ke lantai DPR, setelah menuai kisruh, maka dengan berbagai skenario peredam konflik, akhirnya BG pun batal dilantik plus dapat kompensasi pembatalan status tersangka yang sudah disematkan KPK sebelumnya. Tak ada penjelasan pasti apa sebenarnya yang melatarbelakangi pembatalan pelantikan BG. Namun, lepas dari segala kontroversi yang muncul, Jokowi pastilah belum mendalami siapa BG secara keseluruhan, seperti beliau belum mendalami isi Peraturan Presiden yang beliau batalkan sendiri.
Di satu sisi, istana terkesan begitu mudah menjilat lidahnya sendiri. Tapi sebenarnya disisi lain, ada kesan bahwa istana sedang melakukan “uji coba” reaksi publik. Logikanya setali tiga uang dengan rencana pembredelan beberapa situs berita Islam baru-baru ini.
Jika rencana yang diajukan tidak menuai keributan, maka serta merta akan menjadi kebijakan. Namun jika rencana itu mendapat hadangan yang berkemungkinan bisa mengganggu legitimasi rezim, maka istana berdalih “akan meninjau ulang”. Namun terlepas dari pembatalan tersebut, jikalah niat awalnya datang dari istana, maka secara kasar bisa disimpulkan bahwa memang istana menginginkan hal itu. Perkara kemudian mendapat hadangan publik, itu adalah hal lain. Mudahnya pemerintah melemparkan kebijakan berbanding lurus dengan wajah tanpa dosa pemerintah ketika kebijakan itu pada akhirnya harus dibatalkan.
Tanpa sedikitpun maaf yang terucap kepada rakyat, pemerintah malah mengeluarkan alasan-alasan yang sangat mengherankan, bahkan terasa jauh di luar logika publik. Tentu bukan pada beberapa kasus diatas saja pemerintah terkesan menjilat ludahnya sendiri, kebijakan menaikan harga BBM secara sepihak baru-baru ini juga ada dalam logika jilat-menjilat yang sama. Pada mulanya pemerintah santai menanggapi depresiasi rupiah dengan mengatakan level Rp. 13.000 per dolar adalah level yang “aman-aman” saja. Tapi apa yang terjadi, saat rupiah mulai sedikit betah bertahan di atas level Rp. 13.000, mendadak pemerintah menaikkan harga jual BBM domestik Rp. 500 untuk varian premium dan solar. Dan yang lebih lucu lagi, pemerintah beralasan bahwa kenaikan BBM disebabkan oleh pelemahan rupiah terhadap dolar. Mengapa? Karena pemerintah sudah tidak bisa lagi mengambinghitamkan harga minyak dunia yang sampai hari ini masih berada dalam ayunan normal, yakni USD 45-USD 50 per barel untuk varian West Texas Intermediate dan USD 5-USD 61 per barel untuk varian Crude Brent. Level harga ini adalah level harga saat pemerintah menaikan harga BBM awal tahun lalu, jadi sungguh tidak masuk akal jika BBM domestik dinaikan atas alasan harga minyak dunia.
Lalu pertanyaannya, mengapa pemerintah bersantai ria saat rupiah sudah mulai mendekati titik psikologis Rp. 13.000 itu? Mengapa pemerintah membiarkan rupiah terdepresiasi, bahkan menganggapnya “remeh” dengan mengatakan “aman-aman” saja? Jika ternyata pada akhirnya BBM impor mengalami perubahan kalkulasi, itu artinya “tidak aman-aman” saja. Artinya, kenaikan harga BBM domestik karena depresiasi rupiah adalah bantahan faktual terhadap sikap pemerintah sebelumnya yang menganggap kurs rupiah Rp. 13.000 adalah kurs yang aman-aman saja.
Jadi kebijakan sepihak menaikan harga BBM adalah kebijakan yang secara factual juga bersifat menjilat ludah sendiri. Tentu cerita BBM domestik akan berbeda jika pemerintah antisipatif terhadap pelemahan rupiah, bukan malah meremehkanya. Tapi, ya “gitu deh”, meskipun begitu, “ya sudahlah”.
Penulis adalah Analis Ekonomi Global di Financeroll Indonesia
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #jokowi #harga bbm #bbm naik