Opini
Oleh Bambang Wiwoho (Mantan Wartawan Suara Karya) pada hari Senin, 13 Apr 2015 - 19:18:14 WIB
Bagikan Berita ini :

Presiden Indonesia, Petugas Partai atau Pengemban Daulat Rakyat?

66Bambang Wiwoho (BW).jpg
Bambang Wiwoho (Sumber foto : bwiwoho.blogspot.com)

Bener Nanging Ora Pener.

Debat tentang istilah atau sebutan "petugas partai" yang marak dalam sembilan bulan terahir nyaris tiada habisnya seperti halnya debat dua orang sahabat mengenai UUD 45 di dalam suatu grup WhatsApp (WA) yang juga sudah berlangsung lebih dari setahun, yaitu antara Jenderal Purnawirawan Saurip Kadi dengan Jenderal Purnawirawan Sugeng Widodo. Istilah petugas partai yang berulangkali dilontarkan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) - Ibu Megawati sebetulnya tidak salah, cuma menjadi terkesan tidak arif, tidak bijaksana jika diumbar kepada publik.

Seorang anggota atau pun aktivis partai memang harus siap mengemban misi partai demi mewujudkan visi partai dalam berbangsa dan bernegara. Bagi Jokowi sebagaimana dibaca serta dipahami masyarakat luas, visi-misi itu adalah terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman-tenteram, adil-makmur dan sejahtera, yang dicirikan dengan Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya.

Di dalam kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, visi Trisakti tersebut selanjutnya dijabarkan dalam janji-janji kampanye yang kemudian kita kenal sebagai Revolusi Mental dan Nawacita.

Itulah tugas pokok petugas partai yang bernama Jokowi - Jusuf Kalla (JKW-JK) yang harus diemban dan diwujudkan jika berhasil menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Bukan tugas-tugas lain layaknya seorang jongos yang harus patuh mutlak kepada nyonya besar, tuan besar dan nona serta tuan-tuan muda pengurus partai pengusung lainnya. Yang harus “sendiko dawuh” apapun kata para pembesar partai pengusung. JKW-JK patut dinilai tidak taat melaksanakan tugas partai, apabila di dalam menjalankan pemerintahannya tidak melaksanakan Revolusi Mental dan Nawacita, sehingga tidak mungkin bisa mewujudkan visi Trisakti.

Nuansa dan konotasi "petugas partai' yang sering didengungkan dan ditangkap oleh masyarakat luas buat menyindir Jokowi dan Jusuf Kalla, juga terasa tidak etis dan melukai perasaan rakyat mengingat dua hal.

Pertama, PDIP bukanlah satu-satunya atau bukan partai tunggal pengusung JKW-JK. Masih ada partai-partai lain pengusung yg tergabung dlm Koalisasi Indonesia Hebat. Sekedar menyegarkan ingatan kita,marilah kita cermati daftar hasil Pemilu Legislatif 2014 berikut ini:

No

Partai

Jumlah Suara

Persentase Suara

Jumlah Kursi

Persentase Kursi

Status PT

1

NasDem

8.402.812

6,72

35

6,3

Lolos

2

PKB

11.198.957

9,04

47

8,4

Lolos

3

PKS

8.480.104

6,79

40

7,1

Lolos

4

PDI Perjuangan

23.681.471

18,95

109

19,5

Lolos

5

Golkar

18.432.312

14,75

91

16,3

Lolos

6

Gerindra

14.760.371

11,81

73

13,0

Lolos

7

Demokrat

12.728.913

10,19

61

10,9

Lolos

8

PAN

9.481.621

7,59

49

8,8

Lolos

9

PPP

8.157.488

6,53

39

7,0

Lolos

10

Hanura

6.579.498

5,26

16

2,9

Lolos

11

PBB

1.825.750

1,46

0

0

Tidak Lolos

12

PKPI

1.143.094

0,91

0

0

Tidak Lolos

Undang-Undang Pemilu 2008 menyatakan, partai yang berhak mengajukan Calon Presiden di dalam Pilpres adalah yang menguasai lebih dari 20% kursi DPR atau 25% suara pemilih. Karena tidak ada partai yang mampu memenuhi persyaratan tersebut, apalagi menjadi mayoritas tunggal, maka dalam Pilpres yang digelar sesudah Pemilihan Legislatatif, partai-partai peserta pemilu bergabung ke dalam dua koalisi yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung JKW – JK dan Koalisi Merah Putih (KMP) mengusung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. KIH menguasai 36,46% kursi DPR atau 40,38% suara legislatif sedangkan KMP menguasai 63,54% kursi DPR atau 59,52% suara legislatif.

Pilpres yang digelar 9 Juli 2014 dengan pemegang hak pilih 190.307.134 dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia, menghasilkan JKW – JK 70.997.833 suara atau 53,15% sedangkan Prabowo – Hatta 62.576.444 suara atau 46.85%. Ini berarti Pilpres hanya diikuti oleh 143.574.277 dari 240 juta penduduk. Sisanya sekitar 97 juta tidak ikut Pilpres.

Sesudah JKW-JK dilantik sebagai Presiden, apatah mereka lantas hanya menjadi presiden dari sekitar 70 juta pemilihnya saja, atau menjadi presiden bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk lebih dari 62 juta pemilih Prabowo – Hatta? Ataukah pemenang mengambil dan menguasai semuanya?

Di alam demokrasi meskipun diusung oleh suatu partai politik tertentu, seorang Presiden terpilih lazim secepatnya menyelenggarakan rekonsiliasi dan reunifikasi dengan Capres dan partai saingannya, bahkan dengan seluruh rakyat baik yang mengikuti Pilpres maupun yang tidak mengikuti, karena dia akan dan telah menjadi Presiden bagi seluruh rakyat dan bangsanya. Apalagi jika selisih kemenangannya sangat tipis serta tidak menguasai parlemen, maka langkah yang seyogyanya diambil adalah mengambil inisiatif untuk menjalin “hubungan mesra” dengan mantan pesaingnya.

Kedua, sementara itu ada kelaziman lain yang banyak dijadikan pedoman semenjak paruh terakhir abad ke 20 mengenai loyalitas seorang pemimpin bangsa. Mendiang Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidato pelantikannya sebagai presiden AS yang ke-35 pada tanggal 20 Januari 1961 menyampaikan pesan tentang kesetiaannya pada negara dengan tegas; “Loyalty to the party ends when the loyalty to the country has started.” (Loyalitas kepada partai berakhir ketika loyalitas kepada negara telah dimulai).

Memang sejatinya pernyataan ini bukan ucapan asli dari John F. Kennedy. Ia hanya mengutip pernyataan Manuel L. Quezon dalam bahasa Tagalog yakni “Ang katapatan ko sa aking partido ay magwawakas sa pagsibol ang katapatan ko sa aking bansa.” (Loyalitas saya kepada partai berakhir begitu saya memulai loyalitas saya kepada negara ). Quezon melontarkannya ketika dilantik menjadi Presiden pertama Persemakmuran Philipina pada tahun 1941.

Manuel Quezon, merupakan negarawan Philipina. Tetapi ia tidak hanya dihormati oleh bangsanya. Ia bahkan dihormati juga oleh Amerika Serikat, bangsa yang pernah menjajah Philipina.

Quezon dihormati karena salah satu ungkapannya tentang loyalitas mencerminkan kualitas kenegarawanannya. Ungkapan tersebut berlaku universal dan sepanjang masa. Sebuah ungkapan yang singkat, jelas dan patut dijadikan rujukan.

Kedua pertimbangan di atas menunjukkan kepada kita, bahwa Presiden RI haruslah tunduk dan amanah pada daulat rakyat dan bukan daulat partai pengusung semata. Presiden dan Wakil Presiden RI haruslah melayani 240 juta rakyat Indonesia, dan bukan hanya 70 juta rakyat yang memilihnya saja, karena mereka menerima amanah mengelola seluruh hak dan kewajiban serta segenap asset bangsa.

Demikianlah catatan singkat mengenai debat ungkapan “petugas partai” untuk JKW – JK, yang dalam budaya Jawa bisa disebut ‘bener nanging ora pener.” Betul, namun kurang tepat penggunannya. Marilah dengan segala kebesaran jiwa, kita sudahi perdebatan soal “petugas partai”, sebaliknya kita kawal agar Presiden dan Wakil Presiden sungguh-sungguh menepati amanah dan janjinya mewujudkan Trisakti dengan melaksanakan Revolusi Mental dan Nawacita. Semoga.(yn)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #bambang wiwoho  #jokowi  #megawati  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...