Menjelang kongresnya yang akan dilaksanakan tanggal 11-13 mei, di Surabaya partai Demokrat telah menapaki usia empat belas tahun. Usia ini menuntut partai Demokrat untuk berbenah ke dalam dan bekerja bagi masyarakat lebih keras lagi. Melakukan penataan secara internal dan mengupayakan positioning secara eksternal menjadi tugas paling penting bagi partai Demokrat. Apalagi saat ini partai Demokrat sedang berkesempatan berada di luar kekuasaan.
Belakangan, setelah lontaran Mendagri Tjahjo Kumolo mewacanakan pembiayaan partai politik dari APBN memunculkan pro maupun kontra. Banyak alasan yang dikemukakan oleh mereka yang pro dan yang kontra, di antar yang kontra adalah berisi semacam “gugatan” dari ormas yang mempertanyakan fungsi dan peran parpol hingga perlu dibiayai oleh negara.
Argumentasi yang mendasari pendapat tersebut adalah bahwa selama ini kerja parpol hanyalah sibuk mencari dan bertarung mendapatkan kekuasaan dan minus peran yang membangun di level masyarakat. Jika dibandingkan dengan ormas yang kehadiran mereka juga mendahului keberadaan NKRI –sehingga ia juga bisa disebut sebagai pemegang saham berdirinya republik ini, pendapat itu, menyatakan akan lebih patut jika APBN justru untuk membiayai ormas saja.
Pandangan ini tak perlu ditolak secara keseluruhan, karena memang salah satu fungsi partai adalah rekrutmen pemimpin-pemimpin yang akan menempati jabatan-jabatan publik. Dalam melaksanakan fungsi ini partai tak ubahnya seperti “HRD politik” yang menjaring, menyaring dan memperjuangkan rekrutannya tadi untuk memenangkan posisi yang ditargetkan. Itulah pertarungan menuju kekuasaan.
Namun pandangan itu tidak boleh hanya dicukupkan sampai di situ. Ada fungsi-fungsi lain dari partai politik yang sekiranya itu tak dijalankan, maka demokrasi juga akan stagnan dan mungkin rusak. Ada kerja-kerja keorganisasian yang tak bisa dijalankan oleh organisasi sosial non politik (ornop) untuk mengartikulasi aspirasi politik publik.
Bahwa ada kesan betapa sibuknya parpol mengurus kekuasaan menurut hemat kami juga disumbang oleh kurang tertatanya proses pemilu, khususnya pemilu Kada. Pemilu Kada yang belum serempak membuat hiruk-pikuk politik selalu mengemuka setiap saat seakan tak ada kegiatan lain selain merebut kekuasaan. Kenyataan bahwa prilaku parpol masih meletakkan tugas dan fungsi pendidikan politik pada masyarakat tidak sebagai prioritas bukanlah alasan yang bisa mengurangi keharusan keberadaan parpol.
Namun demikian, kejengahan atas prilaku parpol musti dipahami sebagai kritik dan tuntutan untuk sebuah perubahan bagi parpol. Menjadikan parpol sebagai organisasi modern yang bisa memenuhi ekspektasi masyarakat adalah tugas segenap kader parpol. Dalam konteks ini, semua parpol, termasuk partai Demokrat dituntut mampu untuk mengagregasi, memilah dan mengartikulasi arus tuntutan publik ini bersama dengan sekian tuntutan yang muncul dari dinamika real politik tanah air.
Di luar kondisi khusus di atas, banyak yang harus dijadikan basis pembacaan oleh Demokrat dari perkembangan-perkembangan sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang telah dan sedang berlangsung. Yang di antaranya adalah: pertama, perkembangan kelas menengah perkotaan yang lebih independen secara ekonomi, memiliki daya sebar komunikasi yang luas, namun berpengetahuan seksis kritis -dalam hal ini menempatkan partai dalam posisi yang dilawan.
Setidaknya dalam teori yang tengah dikembangkan ada keyakinan bahwa di dalam partai politik ada yang namanya “Oligarki” yang harus diminimalisir. Sayangnya, gagasan yang cukup akademik ini diterakan secara serampangan dengan bumbu provokasi-provokasi penuh militansi yang ditujukan pada keseluruhan dari organisasi partai politik. Ini tidak sehat, dan akan menimpa partai manapun yang sedang berkuasa. Termasuk pada partai Demokrat, kemarin ketika berkuasa.
Perlu pendekatan khusus yang mencerahkan untuk menghadapi perkembangan kelompok dinamis ini. Bersikap apatis dan konfrontatif justru hanya akan memperburuk keadaan mengingat kemampuannya menyebarkan dan menggalang opini yang begitu cepat dan luas dalam momentum-momentum politik. Perlu, sedikit ruang akomodatif namun terarah pada bagian ini agar partai mampu memanfaatkan kelebihan mereka dan meredusir aspek tak menguntungkan dari kelompok ini.
Kedua, perkembangan sosial keagamaan, sejak semula Demokrat telah mengambil tag line sebagai partai Nasionalis yang juga Religius. Slogan ini tak hanya menuntut formulasi sikap partai pada perkembangan isu-isu keagamaan baik yang terjadi di lingkungan internasional namun juga di dalam negeri, akan tetapi juga menggambar tuntutan formulasi langkah-langkah yang khas -ke mana dan bagaimana arah kerja pengorganisiran, penggalangan dan pembangunan hubungan dan komunikasi politik dari partai Demokrat.
Hal ini penting untuk dijadikan perhatian khusus karena secara historis bangsa Indonesia tak mungkin dipisahkan dari Isu-isu religiusitas. Di sisi lain, semakin eskalatifnya “tabrakan antar budaya” yang tengah terjadi antara Timur dan Barat yang memuat isu keagamaan dalam bentuk aksi terorisme, rasialisme, penolakan-penolakan kelompok-kelompok kanan di Eropa, serta perkembangan pada dialog-dialog antar tokoh agama, kaum intelektual yang terjadi belakangan ini terkait isu keagamaan.
Partai Demokrat sudah tepat mengambil tema historis dan generik ini sebagai salah satu karakter politiknya. namun bagaimana politik bekerja di ruang-ruang itu, masih merupakan tantangan terbuka bagi para kader demokrat, mengingat beragamnya perkembangan isu keagamaan yang ada di Indonesia. Baik sebagai aktivitas kesehariannya, maupun sebagai reaksi atas isu-isu keagamaan di level internasional.
Perlu ada pendekatan yang khas untuk membuat politik “working” di kalangan Nahdliyin, pun pula terhadap kalangan Muhammadiyah, Persis, NW, HKBP, dan lainnya. Hal ini tidaklah berarti bahwa semua permasalahan harus dibawa ke meja eksekusi politik, namun lebih merupakan bagaimana pendidikan politik bisa merembesi setiap kantong-kantong ideologi sosial untuk kemudian dibalut dengan rasa persatuan Keindonesiaan. Sebuah rencana politik yang mungkin bisa disebut dengan “politik Bhennika Tunggal Ika.”
Ketiga, adalah hal terpenting dari elemen politik suatu bangsa untuk terus memperbaharui pengertian-pengertian nasionalitasnya. Aspek ini menjadi tugas politik yang tak mudah -agar nasionalisme suatu bangsa bisa terwujud dalam bentuk kedaulatan ekonomi, politik maupun kebudayaannya. Inilah tantangan yang juga penting bagi partai Demokrat.
Mengapa musti diperbaharui? Sebab tantangan kebangsaan hari ini juga tantangan yang baru. Nasionalisme yang pernah menjadi ideologi yang mampu melawan penjajahan dan menumpu berdirinya negara bangsa, kini berhadapan dengan globalisme dan sistem-sistem ekonomi politik mutakhir yang menyajikan tantangan baru. Pembacaan atas peta global yang memiliki pengaruh mengubah pada tatanan sosial-ekonomi di Indonesia, membuat partai Demokrat dituntut mampu mengandaikan sebentuk masyarakat yang baru. Masyarakat yang terbentuk dari susunan masyarakat modern dan merupakan bagian dari struktur sosial ekonomi yang modern pula.
Masyarakat yang berwawasan global namun bertindak lokal dengan rasa nasionalisme yang tak terbantahkan. Masyarakat idaman ini tentu harus melintasi sekat-sekat primordial, sekat-sekat strata ekonomi, sekat-sekat sektoralisme dan sekat-sekat politik. Itulah masyarakat nasionalis ala Demokrat.
Demikian pendapat singkat ini ditulis sebagai tanda kecintaan pada partai Demokrat. Semoga bermanfaat dan penulis mengucapkan selamat berkongres!
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #Kisruh Partai Demokrat