TEROPONGSENAYAN - Terlahir dari keluarga yang taat pada agama, Abdul Fikri Fakih digadang sang Ibu untuk menempuh hidup sebagai guru. Hasrat menjadikan anaknya sebagai abdi masyarakat itu ditujukan untuk menyambung tradisi keluarganya yang memang akrab dengan dunia pendidikan. Terlebih karena ayahnya sendiri seorang kiai yang berlatar belakang dari pondok Pesantren.
Memilih guru sebagai profesi hidup sebenarnya tak cuma karena soal lingkungan keluarganya. Sebagaimana eksistensi primordial daerah pada umumnya, menjadi guru, terlebih yang berstatus pegawai negeri sipil, adalah idaman setiap orang. Alasannya, selain mempunyai nilai ukhrawi karena bertanggungjawab mencerdaskan akal manusia, pekerjaan ini juga menjanjikan secara materi karena gaji yang rutin mengalir setiap bulan. Belum lagi bonus di penghujung usia sebagai wujud kepedulian pada jasa yang dilakoni.
Kepatuhannya pada sang ibu untuk mengenyam hidup dewasa sebagai tenaga pendidik dipenuhi Fikri tatkala ia memutuskan untuk mengajar di salah satu STM swasta di Tegal. Kelak, karir hidupnya akan berputar 180 derajat saat masyarakat daerahnya meminta ia menjadi wakil mereka di tingkat kabupaten yang berlanjut pada tingkat provinsi bahkan nasional.
"Waktu itu ndak ada yang nyaleg dari daerah saya, akhirnya masyarakat dulu mendorong saya untuk nyaleg," kata Fikri dalam wawancara bersama TeropongSenayan via aplikasi Skype, Ahad, 31 Mei 2020.
Tercatat sebanyak lima kali berturut-turut Fikri telah dilantik sebagai anggota legislatif. Mulai dari anggota DPRD Kabupaten Tegal periode 1999-2004, anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah periode 2004-2009, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah periode 2009-2014, anggota DPR RI hingga Wakil Ketua Komisi X DPR RI periode 2014-2019.
Ini adalah suatu pencapaian luar biasa sekaligus membanggakan bagi pemegang aspirasi rakyat karena mampu secara konsisten mengembangkan eksistensinya dalam dunia politik. Fikri adalah pengecualian ketika kebanyakan masyarakat tidak percaya terhadap kinerja para DPR yang konon hanya tidur dan ongkang-ongkang kaki.
Lima kali pelantikan itu adalah bukti bahwa ia benar-benar memegang kepercayaan masyarakat. Prioritasnya tentu memastikan mereka untuk tetap merasa terwakili dengan kehadirannya dalam dunia legislatif.
Bermodalkan kepercayaan dari masyarakat itulah yang lagi-lagi membawanya pada suatu amanah untuk memimpin PKS dari Kabupaten Tegal, DPW PKS Jawa Tengah, hingga menjadi anggota Majelis Syuro DPP PKS. Hal tersebut memperlihatkan kebesaran tanggung jawabnya sebagai putra daerah untuk membangun tanah kelahirannya. Bahkan, ia juga harus berjuang keras untuk meluruskan pandangan masyarakat di daerahnya terkait pertentangan ideologi antara partai agama seperti PKS dengan partai nasionalis.
Usahanya pun membuahkan hasil. Seperti dikutip dari buku 100 Tokoh Jateng, yang salah satunya mengulas biografi Fikri, pada pemilu 2019 PKS menduduki posisi kedua sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak setelah PDIP di beberapa kota di Jawa Tengah, khususnya di Matraman dan Solo raya. Baginya, ini menjadi bukti bahwa hubungan kedua basis partai ini cukup baik, dan tidak seburuk apa yang telah diasumsikan. Meskipun demikian, ia tetap menugasi partai-partai agama untuk terus mengembangkan inovasi di tengah arus global yang banyak melabuhkan kaum milenial pada partai-partai nasionalis.
Karir dan nama besar seorang Abdul Fikri Faqih adalah hasil perjuangannya dari titik nol. Selain tidak ada anggota keluarga yang terjun ke bidang politik, lelaki kelahiran 17 Juli 1963 ini melewati masa kecil yang cukup sulit. Ia hidup dalam keluarga yang hanya mengandalkan gaji Ibunya sebagai PNS. Kondisi ini membuatnya harus putar otak demi membantu perekonomian keluarga. Tidak tanggung-tanggung, bekerja sebagai tukang cat pun ia geluti untuk bertahan hidup selama menempuh pendidikan di IKIP Semarang pada 1982-1986. Tidak hanya itu, ia harus tinggal di kantor sekretariat Pelajar Islam Indonesia sembari menjadi pengurus karena ketiadaan modal untuk kost.
Sekitar tahun 1986, Fikri sempat berhenti kuliah. Ini seharusnya menjadi tahun akhir masa studinya. Untuk meredam sedikit keputusasaannya, ia memilih untuk mengajar di SMA. Namun, kesusahan itu dengan cepat digantikan oleh kabar baik dari Menteri Agama yang menyatakan bahwa mahasiswa yang sudah menyelesaikan 140 SKS bisa langsung lulus. Saat itu juga ia mengurus segala berkas yang dibutuhkan sebagai syarat kelulusan.
Berbekal pengalaman mengajar selama berhenti kuliah itulah yang membuat Fikri dipercaya untuk menjadi tenaga pengajar di STM milik Muhammadiyah Tegal setelah menyandang gelar sarjana Teknik Elektro.Tidak heran jika penghargaan seperti Guru Teladan III Tingkat SLTA dari Dinas Pendidikan Kota Tegal mampu diraihnya. Atas prestasi itu, ia kembali dipercaya untuk menjalankan amanah menjadi Kepala Sekolah.
Sadar akan pentingnya pendidikan, ia pun melanjutkan studi jenjang doktoral bidang Ilmu Lingkungan di Universitas Diponegoro. Sederet pengalamannya itu mengantarkan dia untuk duduk di kursi pimpinan komisi DPR yang mengurusi soal pendidikan, yakni komisi X.