Opini
Oleh Emrus Sihombing (Pakar. Komunikasi Politik, Koordinator Emruscorner) pada hari Minggu, 31 Mei 2015 - 09:07:56 WIB
Bagikan Berita ini :

Ihwal Ijazah Palsu dan Gelar Palsu

122pPtVVagWV.jpg
Ijasah palsu merebak di kalangan DPR (Sumber foto : ISTIMEWA)

Mudahnya memperoleh gelar kesarjanaan dan gelar profesor sebagai bukti rentannya instutusi pendidikan tertentu dikendalikan oleh pemilik uang. Hal itu terjadi karena institusi pendidikan sudah berubah dari idealisme keilmuan untuk tujuan akademik dan keberadaban manusia menjadi usaha profit bagi pengelola pendidikan, termasuk pemodal. Pendidikan tak ubahnya seperti perusahaan industri.

Sebagai usaha industri, pendidikan semacam ini sudah berlandaskan pada hukum ekonomi yaitu, pengeluaran yang sekecil-kecilnya dalam pengelolaan pendidikan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pemilik dan pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.

Oleh karena itu, tidak heran jika bermunculan insitusi pendidikan yang berorientasi pada kesejahteraan materi bagi pemilik dan pengelolanya. Sementara pekerja dan termasuk dosen menjadi termajinalisasi dari sudut kesejahteraan.

Menjadi tidak mengherankan jika ada perguruan tinggi di Indonesia yang diduga memberi ijazah palsu, sebagaimana disinyalir oleh Menristekdikti.

Penerbitan ijazah palsu termasuk kejahatan luar biasa yang merusak tatanan profesi yng terkait dengan bidang keilmuan yang tertera pada ijazah tersebut. Karena itu, siapapun yang terlibat baik pembuat dan pemilik yang dengan sengaja memalsukan ijazah harus mendapat sanksi pidana yang berat. Sebab, pembuatan ijazah palsu sebagai kejahatan pendidikan.
Selain itu, orang yang dengan sadar mngunakan ijazah palsu harus dipecat dari pekerjaanya dan mengembalikan gaji atau pendapatan yang diperoleh selama ini karena penggunaan ijazah palsu.

Demikan juga halnya dengan gelar profesor. Latahnya seseorang untuk memperoleh gelar profesor sehingga tidak mengindahkan kewajiban yg melekat pada gelar profesor.

Sebab, tugas utama bagi seorang profesor yaitu mengajar, membimbing, peneliti, menulis artikel ilmiah dan pengabdian pada masyarakat. Sebab, profesor sebagai jabatan fungsional tertinggi bidang akademik harus dilakukan secara total, tidak bisa dilakukan sebagai kegiatan sampingan.

Sangat menghherankan jika ada seorang menteri, misalnya, mau menerima gelar profesor sementara ia sudah dipastikan tidak dapat melakukan tugas sebagai profesor.

Dengan demikian, ia harus meninggalkan jabatan publik negara atau pemerintahan seperti jabatan menteri.

Atau ketika memegang jabatan publik, untuk sementara waktu gelar kepangkatan akademik profesor ditarik oleh pemerintah dengan SK Menristekdikti selama memegang jabatan publik. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #Ijasah Palsu  #Komisi III  #DPR  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...