JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Menjelang pelaksanaan Pilkada serentak 2015, wacana politik gentong babi kembali muncul ke permukaan. Politik gentong babi ini dianggap tepat untuk mengambarkan beberapa praktik politisi, terutama sebelum pelaksanaan Pilpres atau Pilkada.
Dalam konteks Pilkada, seperti ditemukan Susan Stoke pada 2007 disebutkan politik gentong babi adalah usaha calon petahana (incumbent) untuk mempertahankan kekuasaannya dengan membuat kebijakan-kebijakan yang populis. Dalam praktiknya, politik uang digunakan secara legal melalui kebijakan populis tersebut.
Budi Kurniawan, Kepala Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Lampung, baru-baru ini menyebutkan bahwa praktik politik gentong babi ini pernah dilakukan pemerintahan SBY menjelang Pemilu 2009. Pada saat 2008, popularitas SBY turun menurut beberapa lembaga survei karena kebijakannya menaikkan harga BBM.
Namun, pada 2009, SBY mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM.
“Meskipun anehnya kebijakan ini dilakukan jelang Pemilu 2009 di saat harga minyak dunia turun. Kebijakan BLT inilah disinyalir beberapa studi sebagai bentuk nyata politik gentong babi di Indonesia. Dengan adanya BLT, popularitas SBY pun kembali naik setelah sebelumnya sempat disalip Megawati di tahun 2008,” ujarnya.
“Politik gentong babi ini juga terjadi di level lokal. Banyak anggaran publik dihabiskan oleh petahana untuk hal-hal yang sifatnya populis, tetapi tidak tepat sasaran dan cenderung pemborosan anggaran yang tidak produktif.”