JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Syamsurizal, mengatakan Baleg DPR saat ini tengah mempersiapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol.
RUU yang diusulkan oleh beberapa fraksi di DPR ini juga sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. "Sedang persiapan untuk membahas RUU Minuman Beralkohol," kata Syamsurizal saat dihubungi, Senin (9/11/2020).
Baleg DPR dan pemerintah sebelumnya mengebut pembahasan RUU Cipta Kerja yang kini sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi menjadi Undang-Undang (UU meski berbagai kalangan, terutama pekerja/buruh dan akademisi menolak UU Omnibus Law itu. Bahkan UU tersebut sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), baik itu uji materi formil maupun materil.
Peraturan tentang minuman beralkohol sudah ada di era Presiden Soeharto, yakni tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Beleid ini membagi minuman beralkohol dalam 3 golongan. Golongan A yakni minol yang beretanol 1-5 persen; golongan B dengan kandungan etanol 5-20 persen; dan golongan C dengan kandungan etanol 20-55 persen.
Pasal 2 ayat 2 beleid itu menyebut minuman beralkohol merupakan barang yang produksi, peredaran, dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Produksi hanya bisa dilakukan dengan izin Menteri Perindustrian; penjualannya pun dibatasi hanya di hotel, bar, restoran, dan tempat lain yang ditetapkan gubernur.
Aturan ini pun melarang produksi secara tradisional kecuali untuk keperluan masyarakat sesuai adat setempat setelah mendapat izin bupati/wali kota. Pada kurun waktu 2010-2012, aturan ini menuai banyak protes termasuk dari kepala daerah dan organisasi masyarakat.
Wali Kota Bandung saat itu, Dada Rosada, protes dengan cara mengeluarkan peraturan tersendiri soal minol, yaitu Peraturan Daerah tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol pada 30 Desember 2020. Salah satu poinnya yaitu membatasi peredaran minol segala golongan hanya pada hotel bintang 3 sampai 5 dan tempat hiburan.
Hal ini bertentangan dengan keppres yang membebaskan peredaran minol golongan A. Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi bahkan turun tangan dengan melayangkan surat 188.34/1128/SJ tertanggal 31 Maret 2011 untuk meminta klarifikasi kepada sang wali kota.
Pada 2012, Front Pembela Islam (FPI) mengajukan uji materiil atas Keppres 3 tahun 1997 dan memohon aturan itu dibatalkan. Mahkamah akhirnya mengabulkan permohonan itu pada 18 Juni 2013 dengan pertimbangan sejumlah aturan yang dijadikan dasar keppres sudah tidak berlaku.
Selain itu, keppres itu juga dinilai bertentangan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU 7/96 tentang Pangan.
Menindaklanjuti putusan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Berbeda dengan aturan sebelumnya, kali ini seluruh minuman beralkohol mulai dari golongan A sampai C ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.
Dengan demikian, minol golongan A yang semula dijual bebas kini turut dibatasi hanya di hotel, bar, restoran tertentu, toko bebas bea, dan tempat yang ditetapkan bupati/wali kota dan gubernur untuk DKI Jakarta.
Pasal 7 ayat 4 aturan ini pun memberikan kewenangan bagi wali kota/bupati dan gubernur DKI Jakarta untuk melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap minol berdasarkan karakteristik dan budaya lokal. Kepala daerah juga berwenang untuk mengendalikan produksi dan peredaran minuman beralkohol tradisional.
Syamsurizal menjelaskan RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari bahaya Minol seperti minuman keras atau miras oplosan, dimana sudah memakan korban jiwa di beberapa daerah.
"Untuk melindungi masyarakat dari miras oplosan, miras. Terutama melindungi generasi muda," ujar anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) di DPR.
Lebih lanjut anggota komisi II DPR ini mengungkapkan RUU ini kemungkinan hanya membolehkan Minol dijual ditempat-tempat tertentu saja. Misalnya, di hotel-hotel berbintang, acara adat istiadat, tempat-tempat wisata.
"Ditempat-tempat tertentu kita atur yang selama ini tidak diatur agar lebih baik. Detailnya kita belum tahu," ungkapnya.
Fraksinya menjadi salah satu pengusul RUU ini, selain Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN).
Dalam bagian penjelasan umum, pengusul RUU ini mengatakan bahwa minol berbahaya bagi kesehatan khususnya kemampuan otak. Minol juga dianggap mendorong kejahatan. Selain itu, pengusul menilai minol tidak sesuai dengan norma agama dan "jiwa bangsa Indonesia yang religius."
Atas dasar itu, pasal 5 rancangan beleid ini melarang tegas produksi minol semua golongan, termasuk minol tradisional dan minol campuran. Pada bab penjelasan dikatakan, yang dimaksud alkohol tradisional termasuk sopi, bobo, balo, tuak, arak, saguer, atau dengan nama lain.
Pasal 6 mengatur larangan untuk memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan atau menjual seluruh minol, sementara pasal 7 mengatur larangan konsumsi.
Meski begitu, pasal 8 memberi pengecualian mengonsumsi minol untuk kepentingan terbatas, antara lain kepentingan adat, ritual keagamaan, farmasi, serta wisatawan dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam bagian penjelasan, yang dimaksud "tempat-tempat yang diiizinkan" di antaranya adalah hotel bintang 5. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Perpres 74/2013 yang mengizinkan seluruh hotel menjual minol.
RUU ini pun membolehkan minol dijual di restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka--dua kelas tertinggi restoran. Restoran tanda talam kencana ditandai dengan piagam sendok garpu berwarna emas sementara restoran tanda selam selaka ditandai dengan piagam sendok garpu berwarna perak.
Ketentuan itu berbeda dengan Perpres 74/2013 yang mengizinkan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan bidang kepariwisataan.
Selain itu, lokasi lain yang dibolehkan menjual minol adalah bar, pub, klub malam, dan toko khusus penjualan minol. RUU ini juga melucuti kewenangan pemerintah daerah untuk mengendalikan peredaran minol sesuai karakteristik daerahnya, termasuk kewenangan menentukan lokasi lain yang diperkenankan untuk menjual minol.
Di dalam rancangan ini, pemda cuma berwenang melakukan pengawasan terhadap produksi, peredaran, dan konsumsi minol bersama pemerintah pusat.
Untuk fungsi ini, pengawasan oleh pemda dilakukan oleh tim terpadu yang paling sedikit terdiri dari perangkat daerah bidang perindustrian, perdagangan, BPOM, polri, kejaksaan, dan tokoh agama. "Agar masyarakat betul-betul terkawal dengan RUU ini," katanya.