Opini
Oleh Pierre Suteki pada hari Minggu, 13 Des 2020 - 13:47:41 WIB
Bagikan Berita ini :
Penahanan IB Harisy Terkait Penghasutan

Pemerintah Tidak Patuh pada Putusan MK?

tscom_news_photo_1607842061.jpg
Pierre Suteki (Sumber foto : Ist)

Sebagaimana kita ketahui, IB Harisy ditahan mulai tanggal 12 12 2020 karena dituduh melakukan delik penghasutan seperti diatur dalam Pasal 160 KUHP. Banyak para ahli hukum yang sudah menyampaikan pendapatnya bahwa delik itu merupakan delik materiil, artinya hanya bisa dituduhkan ketika akibat penghasutan berupa tindak pidana yang dilakukan oleh terhasut memang telah terjadi. Hal ini dikukuhkan dalam Putusan MK terhadap Uji Materiill atas Pasal 160 KUHP. Putusan itu tertuang dalam Putusan No. 7/PUU-VII/2009.

Persoalan yang diangkat dalam artikel singkat ini adalah, ketika MK sudah mengubah jenis delik Pasal 160 KUHP dari delik formil ke delik materiil, mengapa dalam menangani kasus IB Harisy Pemerintah, c.q. Kepolisian tidak mematuhi Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 tersebut?

Melalui UU No. 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003, ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.

(2) Dihapus.

Padahal, ketentuan dalam ayat 2 (UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU MK) itu berbunyi sbb:

"Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan."

Apa artinya? Sebenarnya, ayat itu ada atau tidak seharusnya tidak mempengaruhi pelaksanaan Putusan MK karena ayat itu hanya menyatakan soal "perubahan UU" bukan soal "pelaksanaan putusan MK". Hanya, sebagian orang menangkap kesan bahwa percuma mengajukan JR ke MK karena ketika menang pun tidak ada kewajiban Presiden atau DPR untuk segera menindaklanjuti putusan MK dalam melakukan perubahan atas UU yang diuji. Ataukah ada makna lain dari niat penghapusan ayat itu? Apa hidden agenda atas perubahan masif dari segala macam UU kita sekarang ini? Hanya Pemerintah dan DPR yang bisa menjawabnya.

Saya pun jadi agak pesimis, karena ada fakta bahwa telah terungkap dari penelitian tiga dosen Fakultas Hukum Trisakti terkait kepatuhan konstitusional atas pengujian undang-undang oleh MK pada 2019. Dari hasil penelitian tersebut, terdapat 24 dari 109 putusan MK pada 2013-2018 atau 22,01% yang tidak dipatuhi oleh pemerintah. Sementara itu, 59 putusan atau 54,12% dipatuhi seluruhnya, 6 putusan atau 5,50% dipatuhi sebagian, dan 20 putusan lainnya atau 18,34% belum dapat diidentifikasi (katadata.co.id 28 Januari 2020). Jadi, terlalu berharap atas hasil JR MK mungkin terlalu berlebihan. Karena ternyata, semua tergantung dari political will Pemerintah.

Penahanan IB Harisy dengan tuduhan melakukan tindakan pidana terkait penghasutan yang merupakan delik materiil patut diduga bahwa pemerintah c.q. kepolisian bertindak tidak patuh terhadap putusan MK No. 7/PUU-VII/2009. Dan sayangnya hingga saat ini, tidak ada sanksi yuridis yang dapat diberikan ketika lembaga adresat putusan MK membangkang amar putusan tersebut.

Akhirnya perlu ditekankan bahwa ketidakpatuhan pemerintah atas Putusan MK telah sangat jelas menunjukkan bahwa keberadaan MK hingga saat ini belum mempunyai daya tawar yang kuat sebagai satu-satunya lembaga tinggi negara yang mempunyai otoritas mengawal sekaligus menafsirkan konstitusi. Apalagi keberadaan MK memang tidak mempunyai ranah dan wewenang untuk ikut andil dalam proses implementasi atau eksekusi putusannya sendiri. Tidak salah apabila dikatakan bahwa MK merupakan cabang kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan yang paling lemah di antara cabang-cabang kekuasaan negara lainnya (the least dangerous power, with no purse nor sword) sebagaimana dikatakan oleh Alexander Hamilton. Jadi, memang semuanya kembali pada political Pemerintah. Kalau pemerintah mau, pihak lawan mau apa? Apalagi ketika kekuasaan legislatif dan yudikatif telah melebur ke dalam hegemoni eksekutif. Ambyarlah mantra-mantra agung demokrasi, khususnya tentang trias politica. Anda bisa apa selain meratapi nasib yang belum berpihak pada keadilan dan kebenaran (justice and truth).

Jalan keluarnya hanya satu, kembali kepada etika kehidupan berbangsa sebagaimana ditegaskan dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001 dan jika pejabat politik pemerintahan negara tidak mampu dan tidak lagi dipercaya rakyat, maka mereka harus siap mundur. Oleh karena itulah, revolusi akhlak adalah tuntutan impian besar yang sesunggunya tidak dapat ditawar (imperative cathegories).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #mahkamah-konstitusi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...