Oleh Ariady Achmad Pengamat kebijakan publik pada hari Kamis, 23 Jan 2025 - 14:14:15 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengungkap Polemik Kebijakan Jokowi-Aguan: Antara Kepentingan Oligarki dan Dampak bagi Rakyat Kecil

tscom_news_photo_1737616455.jpg
(Sumber foto : )

Kebijakan publik yang menyangkut Proyek Strategis Nasional (PSN) kembali menjadi sorotan publik setelah muncul polemik terkait kasus pagar bambu laut di kawasan Pantai Indah Kapuk II (PIK II). Isu ini tidak hanya memunculkan tanda tanya besar soal keberpihakan pemerintah terhadap rakyat, tetapi juga membuka diskursus tentang dominasi oligarki dalam kebijakan negara.

Tulisan ini berupaya menggali fakta dan memeriksa berbagai sudut pandang sesuai prinsip jurnalisme, yakni verifikasi, akurasi, dan keberimbangan.

Awal Polemik: Tukar Guling Jokowi-Aguan

Kasus ini bermula dari dugaan bahwa kebijakan tukar guling antara pemerintah Presiden Joko Widodo dan pengusaha Aguan membuka jalan bagi pengembangan PIK II melalui PSN. PSN sejatinya dirancang untuk mempercepat pembangunan infrastruktur demi kepentingan publik, namun dalam implementasinya, muncul kritik bahwa kebijakan ini lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu.

Dugaan ini diperkuat dengan fakta bahwa pembangunan PIK II, termasuk Hotel Nusantara, menggunakan fasilitas kredit bank BUMN. Sebagai proyek yang mengandalkan dana publik, seharusnya ada transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya.

“Jika Said Didu tidak memviralkan isu ini, mungkin publik tidak akan mengetahui detail kesepakatan di balik layar antara Jokowi dan Aguan,” ujar seorang pengamat kebijakan publik.

Rakyat Kecil yang Terdampak

Salah satu pihak yang paling dirugikan dalam kasus ini adalah masyarakat di kawasan Kohod. Warga lokal harus menghadapi dampak penggusuran dan pembatasan akses yang disebut-sebut akibat dari perluasan PIK II. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah pembangunan PSN benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar memperkaya oligarki?

"Kami di sini hanya bisa menerima nasib. Bambu laut yang seharusnya melindungi pantai kami malah dibongkar tanpa solusi jelas," keluh seorang warga Kohod yang enggan disebutkan namanya.

Peran Menteri dan KSAL dalam Dinamika Kebijakan

Polemik ini juga menyeret nama Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Awalnya, Menteri KKP sempat menunda pembongkaran pagar laut, namun akhirnya bersepakat untuk melanjutkan setelah dipanggil oleh Presiden Jokowi. Sikap yang terlihat mendukung pihak pengembang ini menimbulkan spekulasi tentang adanya tekanan atau kepentingan tertentu.

"Terlihat sekali bahwa Menteri KKP berpihak pada Aguan. Ada apa di balik keputusan ini?" ungkap seorang aktivis lingkungan.

Sementara itu, keterlibatan TNI Angkatan Laut dalam pembongkaran pagar bambu laut juga menuai kritik. Sebagai institusi yang dilatih untuk menjaga pertahanan negara, pengerahan TNI dalam kasus ini dianggap sebagai bentuk penyimpangan tugas pokok mereka.

Publik yang Makin Berani Melawan Oligarki

Salah satu dampak positif dari kasus ini adalah meningkatnya keberanian publik untuk bersuara melawan dominasi oligarki. Polemik ini telah membuka “kotak Pandora” yang mengungkap berbagai praktik yang selama ini tertutup rapat.

Namun, keberanian ini juga perlu diimbangi dengan fakta dan bukti konkret agar tidak menjadi sekadar opini liar. Misalnya, pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka dasar hukum dan manfaat dari proyek PIK II, serta memberikan kompensasi yang adil bagi masyarakat terdampak.

Membangun Tata Kelola yang Berkeadilan

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Dalam era digital, informasi yang viral dapat menjadi alat kontrol sosial, tetapi juga harus diiringi dengan verifikasi agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi.

Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk mengatasi kesenjangan ini. Misalnya, memastikan proyek-proyek strategis nasional tidak hanya menguntungkan segelintir kelompok tetapi benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas.

Kesimpulan

Polemik pagar bambu laut di PIK II bukan sekadar persoalan proyek infrastruktur. Ini adalah gambaran tentang bagaimana kebijakan publik dapat menjadi arena pertarungan antara kepentingan rakyat dan kekuatan oligarki. Jika pemerintah serius membangun bangsa yang adil dan merata, transparansi dan keberpihakan pada masyarakat kecil harus menjadi prioritas utama.

Pada akhirnya, kasus ini bukan hanya soal Jokowi atau Aguan, tetapi tentang masa depan tata kelola bangsa. Apakah kita akan terus membiarkan oligarki mendominasi, atau bergerak menuju pemerintahan yang benar-benar demokratis danberkeadilan?

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Muhammad Said Didu dan Perlawanan terhadap Oligarki: Momentum Kebangkitan Rakyat

Oleh Ariady Achmad, Pengamat Sosial-Politik.
pada hari Kamis, 23 Jan 2025
Dalam sejarah perubahan peradaban, pergerakan pemuda sering kali menjadi penggerak utama. Namun, di penghujung tahun 2024 dan awal 2025, muncul fenomena baru: generasi tua mengambil peran signifikan ...
Opini

Pelemahan Nilai Tukar Rupiah perlu Jalan Tengah

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Memasuki Bulan Januari  2025, kondisi ekonomi nasional dihadapkan dengan tantangan berupa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Pergerakan nilai tukar hampir ...