Oleh Radhar Tribaskoro pada hari Senin, 20 Jan 2025 - 11:36:36 WIB
Bagikan Berita ini :

POLICY BASED NARRATIVES

tscom_news_photo_1737347796.jpeg
(Sumber foto : )

Kasus pembongkaran pagar laut di Tangerang menjadi ilustrasi nyata bagaimana instansi negara dapat terjebak dalam narasi publik tanpa memahami inti masalah. Dalam peristiwa ini, TNI AL dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi dua pihak yang saling berseberangan. TNI AL mengklaim tindakan mereka didasarkan pada perintah presiden untuk menegakkan hukum dan menjaga kedaulatan laut, sementara KKP berpendapat bahwa pagar laut tersebut seharusnya dipertahankan sebagai barang bukti dan pelindung lingkungan. Namun, keduanya tampak lebih sibuk memperdebatkan narasi masing-masing daripada menggali fakta yang sesungguhnya.

Di balik narasi yang dibangun, terdapat fakta yang menggelitik: pagar laut tersebut mengelilingi wilayah perairan yang ternyata sudah memiliki Hak Guna Bangunan (HGB). Pertanyaan yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah, bagaimana mungkin sebuah wilayah laut yang seharusnya menjadi milik publik bisa memiliki status HGB? Alih-alih mencari jawaban atas pertanyaan ini, TNI AL dan KKP justru lebih fokus pada upaya pembenaran masing-masing di hadapan opini publik.

Ketika instansi negara bekerja berdasarkan narasi publik, mereka sering kali mengambil langkah-langkah reaktif yang tidak didasarkan pada fakta. Dalam kasus ini, TNI AL bertindak dengan asumsi bahwa pagar laut tersebut melanggar hukum, sementara KKP mempertahankannya dengan alasan melindungi kepentingan nelayan. Padahal, yang dibutuhkan masyarakat bukanlah aksi tergesa-gesa, tetapi klarifikasi dan penyelesaian yang objektif. Akibatnya, energi publik terbuang untuk memperdebatkan hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan jika pemerintah bekerja lebih profesional.

Salah satu dampak dari pendekatan semacam ini adalah keputusan yang diambil sering kali hanya berdasarkan asumsi. Ketika TNI AL dan KKP saling bertentangan tanpa koordinasi yang baik, mereka gagal memberikan kepastian hukum dan solusi konkret. Dalam situasi seperti ini, masyarakat hanya bisa menonton pertunjukan birokrasi yang tidak efisien, sementara spekulasi dan opini liar terus berkembang. Keputusan yang diambil tanpa investigasi mendalam justru menciptakan lebih banyak ketidakpastian dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah.

Kasus pagar laut ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi pemerintah untuk memahami pentingnya investigasi yang menyeluruh sebelum mengambil tindakan. Misalnya, asal-usul HGB dari wilayah laut tersebut harus ditelusuri secara detail. Apakah penerbitan HGB tersebut sesuai dengan aturan hukum? Jika tidak, siapa yang harus bertanggung jawab? Di sisi lain, tujuan sebenarnya dari pagar laut tersebut juga perlu dijelaskan. Apakah benar pagar tersebut milik nelayan lokal yang berusaha mencegah abrasi, atau ada kepentingan lain yang tersembunyi?

Menggali fakta seperti ini membutuhkan koordinasi yang baik antara instansi-instansi terkait. Sayangnya, budaya birokrasi di Indonesia sering kali terfragmentasi, dengan masing-masing instansi bekerja sendiri-sendiri tanpa komunikasi yang efektif. Dalam kasus ini, TNI AL dan KKP terlihat seperti dua pihak yang berada di medan perang, padahal mereka seharusnya bekerja sama untuk mencari solusi. Ketidakharmonisan ini tidak hanya menghambat penyelesaian masalah, tetapi juga menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak kompeten.

Masalah lain yang memperburuk situasi adalah ketergesa-gesaan dalam merespons opini publik. Di era media sosial, tekanan untuk segera bertindak sering kali mengalahkan kebutuhan untuk bertindak hati-hati. Instansi pemerintah merasa perlu menunjukkan aksi cepat agar tidak terlihat lamban di mata masyarakat. Namun, tindakan yang terlalu cepat tanpa dasar fakta yang kuat justru sering kali memperkeruh keadaan. Dalam kasus pagar laut ini, misalnya, tindakan pembongkaran yang dilakukan TNI AL dan keberatan dari KKP seharusnya tidak terjadi jika sejak awal ada investigasi yang menyeluruh.

Selain itu, transparansi pemerintah juga menjadi masalah utama. Ketika pemerintah tidak memberikan informasi yang jelas kepada publik, spekulasi akan terus berkembang. Publik akhirnya hanya bisa menebak-nebak motif di balik tindakan pemerintah, yang sering kali menciptakan polarisasi. Dalam kasus pagar laut, misalnya, beberapa pihak mendukung tindakan TNI AL karena menganggap pagar tersebut ilegal, sementara yang lain mendukung KKP dengan alasan perlindungan lingkungan. Padahal, jika pemerintah membuka data tentang status hukum pagar tersebut, publik bisa memahami konteks sebenarnya dan tidak perlu berdebat tanpa arah.

Sayangnya, pendekatan berbasis fakta sering kali terganjal oleh kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Tidak jarang keputusan pemerintah lebih dipengaruhi oleh tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan daripada kebutuhan untuk menyelesaikan masalah secara objektif. Dalam kasus ini, ada kemungkinan bahwa pihak-pihak yang memperoleh HGB memiliki koneksi yang kuat, sehingga pemerintah enggan mengungkap fakta sebenarnya. Akibatnya, masyarakat hanya menjadi penonton dari drama birokrasi yang penuh kepentingan.

Kelemahan ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu mereformasi cara kerjanya dalam merespons isu-isu publik. Ketimbang bekerja berdasarkan narasi, instansi pemerintah harus lebih fokus pada pengumpulan data dan analisis yang mendalam. Dalam kasus seperti pagar laut ini, pemerintah seharusnya segera mengirim tim untuk meneliti dokumen-dokumen terkait HGB, berdialog dengan masyarakat lokal, dan melibatkan ahli di bidang hukum dan lingkungan. Dengan begitu, keputusan yang diambil tidak hanya berdasar pada opini, tetapi juga memiliki landasan hukum dan fakta yang kuat.

Selain itu, koordinasi antarinstansi harus ditingkatkan. Dalam menghadapi masalah yang melibatkan banyak pihak, seperti kasus pagar laut ini, instansi pemerintah harus memastikan bahwa mereka memiliki pemahaman yang sama dan bekerja secara sinergis. Hal ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan mekanisme koordinasi yang efektif. Tanpa itu, masalah kecil seperti pagar laut pun bisa berubah menjadi perdebatan yang tidak produktif.

Pada akhirnya, kasus pagar laut di Tangerang adalah pelajaran penting tentang betapa pentingnya tata kelola pemerintahan yang berbasis fakta dan transparansi. Pemerintah harus berhenti bekerja berdasarkan narasi publik yang sering kali tidak akurat dan malah memicu spekulasi. Sebaliknya, mereka harus mengambil langkah-langkah yang hati-hati dan berdasarkan data. Hanya dengan cara ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa dipulihkan, dan energi publik tidak lagi terbuang sia-sia untuk memperdebatkan isu-isu yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan mudah.

Cimahi,20Januari2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Pembongkaran pagar laut dan masalah utananya.

Oleh Tim TeropongSenayan
pada hari Senin, 20 Jan 2025
Analisis Masalah 1. Ketiadaan Fokus pada Fakta Utama Inti masalah (status HGB wilayah laut) diabaikan karena narasi publik yang mendominasi. TNI AL dan KKP sibuk mempertahankan posisi ...
Opini

MUDRICK SANGIDU : "AYO PEOPLE POWER !"

Ketika memenuhi undangan pernikahan putera wartawan senior Aendra Medita dari media Jakarta Satu, Pribumi News dan lainnya di Gedung BRIN Jl Gatot Subroto Jakarta Sabtu malam 18 Januari teman dari ...