Rabu, 19 Februari 2025-Indonesia tak pernah punya kurikulum yang fantastis di bidang pidato, deklamasi, orasi, cerdas cermat, cepat tepat, atau bahkan dalam upacara bendera setiap Senin. Namun, kita tumbuh dalam budaya kekuasaan yang penuh dengan pidato. Dari desa sampai istana, dari ruang legislatif hingga eksekutif, podium menjadi simbol yang tak tergantikan.
Pidato adalah monumen kekuasaan. Di atas podium, seorang pejabat berdiri lebih tinggi, bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam hirarki sosial. Pidato bukan sekadar kata-kata yang mengalir, melainkan manifestasi dari relasi kekuasaan yang timpang: Anda berbicara, saya mendengar. Anda memberi, saya menerima. Anda langit, saya bumi. Anda dewa, saya manusia.
Saya ingin mengatakan: buang semua mimbar pidato dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pidato dalam politik kita lebih sering menjadi alat peneguhan status, bukan alat komunikasi. Kata-kata dipilih bukan untuk menyampaikan pesan, melainkan untuk membangun citra. Intonasi diatur untuk menciptakan wibawa, bukan untuk memastikan kejelasan.
Seorang pejabat yang berpidato panjang lebar seolah hendak menghipnotis pendengarnya. Semakin panjang pidato, semakin besar jarak yang ia ciptakan dengan rakyatnya. Kata-kata melayang di udara tanpa makna, tanpa arah, tanpa keharusan untuk dipertanggungjawabkan.
Perhatikan bagaimana pemimpin kita berbicara. Banyak yang lebih sibuk dengan gestur dan mimik wajah ketimbang substansi. Seolah-olah komunikasi itu soal ekspresi, bukan isi. Berpidato seperti aktor panggung, bukan sebagai pemimpin yang berbicara kepada rakyatnya.
Belajar dari Trump: Berbicara Tanpa Mimik Berlebihan
Coba perhatikan Donald Trump. Setuju atau tidak dengan politiknya, cara dia berbicara menunjukkan perbedaan mendasar dengan kebanyakan pemimpin kita. Nada datar, egaliter, berbasis logika. Ia tidak berorasi dengan nada tinggi seperti pemimpin populis pada umumnya.
Jika sesekali ia melihat catatan, itu bukan naskah pidato, melainkan data. Fakta keras. Tidak ada gestur berlebihan seperti beruk di tengah birahi. Tidak ada suara yang mendayu-dayu atau melengking-lengking hanya untuk menekankan sesuatu yang sebetulnya kosong.
Bandingkan ini dengan pemimpin kita yang masih sibuk membangun citra lewat pidato-pidato panjang, penuh metafora, tapi minim solusi.
Pidato atau Dialog?
Komunikasi politik yang sehat bukan soal siapa yang paling lama berbicara, melainkan siapa yang paling jelas dalam menyampaikan gagasan. Pemimpin yang baik tidak butuh podium yang tinggi, cukup keberanian untuk berbicara langsung dengan rakyatnya.
Saatnya kita ubah cara berkomunikasi:
1.â â Buang podium. Bicaralah langsung, jangan berdiri di atas mimbar yang menciptakan jarak psikologis dengan rakyat.
2.â â Kurangi seremoni. Pemerintahan bukan panggung teater. Kurangi sambutan panjang, perbanyak diskusi nyata.
3.â â Fokus pada data. Kata-kata tanpa angka dan fakta hanya omong kosong belaka.
4.â â Jadilah egaliter. Pemimpin bukan dewa. Jangan bicara seolah-olah rakyat harus memuja.
Indonesia butuh pemimpin yang berbicara, bukan berpidato. Yang mendengar, bukan sekadar didengar. Yang berdialog, bukan hanya memberi instruksi.
Jadi, berhentilah berpidato. Mulailah berbicara.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #