Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha) pada hari Minggu, 16 Mar 2025 - 17:52:32 WIB
Bagikan Berita ini :

Gaya yang Tak Bergaya

tscom_news_photo_1742122352.jpg
(Sumber foto : )

Dunia arsitektur tampaknya sedang melakukan introspeksi spiritual ketika Pritzker Prize 2025, yang sering dijuluki sebagai “Nobel Arsitektur,” jatuh ke tangan Liu Jiakun. Di tengah era pencakar langit berlomba-lomba menggapai stratosfer, para juri justru memilih seorang pria yang terkenal karena… tidak memiliki gaya khas.

Ya, Anda tidak salah baca. Liu Jiakun bukanlah arsitek dengan ikon-ikon megah yang mendominasi skyline kota-kota besar. Jika dunia arsitektur diibaratkan sebagai industri fashion, Liu bukanlah rumah mode haute couture yang meluncurkan tren setiap musim, melainkan seorang penjahit tua di sudut kota yang tetap teguh menjahit pakaian berkualitas tinggi dengan teknik klasik.

Keputusan juri Pritzker Prize ini terasa seperti tamparan halus bagi arsitektur kontemporer yang kerap terobsesi dengan bentuk hingga melupakan fungsi. Liu Jiakun, dengan pendekatan “low-tech” dan desain yang mengutamakan konteks lokal, seolah berkata: "Sudah cukup dengan bangunan yang hanya bagus di Instagram!"

Pritzker Prize adalah penghargaan tertinggi dalam dunia arsitektur, sering disebut sebagai Hadiah Nobel Arsitektur. Diberikan sejak 1979 oleh The Hyatt Foundation, penghargaan ini mencari lebih dari sekadar "wow factor." Ia menghargai arsitek yang mampu mengubah cara manusia berinteraksi dengan ruang—bukan sekadar mereka yang membangun gedung Instagrammable.

Dibentuk oleh Jay A. Pritzker dan Cindy Pritzker, keluarga pengusaha perhotelan (Hyatt Hotels), pemenangnya menerima medali perunggu dan hadiah uang US$100.000 —jumlah yang cukup untuk merancang beberapa taman bambu ala Liu, atau mungkin hanya cukup untuk mengganti satu jendela kaca di gedung mewah karya arsitek lain.

Pemenang sebelumnya termasuk Frank Gehry, Zaha Hadid, Tadao Ando, dan Renzo Piano —nama-nama besar yang mendefinisikan arsitektur modern dengan gaya mereka yang khas. Tapi Liu Jiakun? Dia datang tanpa jargon arsitektur yang rumit, tanpa desain yang ingin tampil sebagai pusat perhatian. Ia lebih suka bangunan yang memahami manusia, bukan sebaliknya.

Alih-alih menciptakan bangunan raksasa yang membuat manusia merasa kecil, Liu justru merancang ruang yang membiarkan manusia, sejarah, dan alam hidup berdampingan. Baginya, atap melengkung bukan sekadar elemen estetika tradisional, melainkan jawaban atas bagaimana masyarakat dahulu menyiasati iklim.

Gaya ini telah melahirkan berbagai bangunan yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga memiliki filosofi mendalam. Ambil contoh Museum Imperial Kiln Brick di Suzhou —bukan sekadar museum, tapi juga rekam jejak sejarah yang hidup dan ruang publik yang bernapas.

Lalu ada West Village di Chengdu, sebuah kompleks multifungsi yang membuktikan bahwa ruang hijau dan kehidupan urban tak harus selalu bertentangan. Kompleks ini, juga dikenal sebagai Basis Yard, membentang 237 meter dari timur ke barat dan 178 meter dari utara ke selatan —hampir seperti satu kota kecil di dalam kota besar.

Tidak seperti mal atau kompleks komersial konvensional, West Village tidak mendikte pengunjungnya dengan jalur ritel yang ketat. Sebaliknya, desainnya membiarkan ruang hijau dan fasilitas komunitas tumbuh alami. Halaman-halaman bambu kecil di dalamnya terbuka untuk umum, memungkinkan orang berjalan santai di bawah naungan pepohonan —sebuah penghormatan terhadap memori kolektif masyarakat lokal.

Fasilitas yang tersedia di ibukota provinsi Sichuan, China, ini mencakup ruang kantor, ritel, serta lapangan olahraga luas yang tidak hanya menjadi tempat rekreasi, tetapi juga simbol bagaimana arsitektur bisa membangun hubungan sosial, bukan sekadar membangun tembok.

West Village mencerminkan pendekatan Liu Jiakun yang menolak menciptakan bangunan hanya demi ikonografi semata. Ia lebih memilih menggunakan material lokal, teknik tradisional, dan merancang sesuatu yang menyatu dengan lingkungannya —sebuah pendekatan yang jauh lebih abadi daripada sekadar mengejar tren desain sesaat.

Liu Jiakun adalah bukti bahwa arsitektur tidak harus berteriak agar didengar. Di saat banyak arsitek berlomba menciptakan landmark instan, Liu justru menciptakan bangunan yang pelan-pelan menyatu dengan lanskap sekitarnya. Jika kebanyakan arsitek lain mendesain gedung layaknya lagu pop dengan beat keras, maka karya Liu lebih seperti simfoni klasik yang butuh waktu untuk benar-benar dihargai.

Pritzker Prize tahun ini pun terasa seperti peringatan bagi dunia arsitektur: bahwa esensi desain bukanlah tentang “siapa yang paling spektakuler”, melainkan “siapa yang paling memahami tempat dan penghuninya.”

Dalam konteks China, penghargaan ini juga bisa dibaca sebagai pengakuan bahwa kota-kota yang sudah terlalu lama dipenuhi bangunan bombastis mulai butuh sentuhan yang lebih manusiawi.

Bukan berarti Liu Jiakun akan langsung menjadi “bapak reformasi arsitektur” yang mengubah arah dunia desain. Tapi setidaknya, kemenangannya memberi sinyal bahwa arsitektur yang tenang, sederhana, dan penuh pemahaman terhadap lingkungan mulai mendapatkan tempat.

Dan bagi para arsitek muda yang selama ini ragu-ragu untuk memilih jalur “sepi dan sunyi” seperti Liu Jiakun, kemenangan ini adalah pesan optimis: Terkadang, tidak memiliki gaya justru adalah gaya terbaik.

Cak AT - Ahmadie Thaha
Ma"had Tadabbur al-Qur"an,16/3/2025

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
RAMADHAN 2025 H ABDUL WACHID
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
RAMADHAN 2025 M HAEKAL
advertisement
RAMADHAN 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Jakarta

Peran ICC dalam Menegakkan Keadilan atas Dugaan Pelanggaran HAM

Oleh M. Rizal Fadillah
pada hari Minggu, 16 Mar 2025
International Criminal Court (ICC) yang berbasis di Den Haag merupakan lembaga peradilan independen yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan serius seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap ...
Jakarta

Prabu MulGenjik Murka

Singosari adalah kerajaan besar di Nusantara yang ada di abad XI. Puncaknya, ketika Singosari diperintah oleh Prabu Kertanegara. Kuatnya Kerajaan Singosari, bukan semata karena Prabu ...