International Criminal Court (ICC) yang berbasis di Den Haag merupakan lembaga peradilan independen yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan serius seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan agresi. Didirikan berdasarkan Statuta Roma, ICC bertujuan untuk mengadili pemimpin negara yang diduga melakukan kejahatan berat tetapi tidak tersentuh hukum di negaranya sendiri.
Meskipun ICC hanya mengikat negara yang menandatangani Statuta Roma, dalam praktiknya yurisdiksinya dapat meluas, sebagaimana yang terjadi dalam kasus mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Duterte menghadapi penyelidikan ICC atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kebijakan perang terhadap narkoba, meskipun Filipina telah menarik diri dari Statuta Roma.
Dugaan Pelanggaran HAM di Indonesia
Di Indonesia, berbagai peristiwa telah memicu perdebatan tentang akuntabilitas pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia. Beberapa insiden yang menjadi sorotan antara lain:
Pemilu 2019, di mana sekitar 890 petugas pemilu meninggal dunia tanpa penyelidikan yang tuntas.
Demonstrasi 21-22 Mei 2019, yang mengakibatkan sembilan orang tewas akibat tindakan aparat keamanan.
Tragedi Kanjuruhan 2022, yang menewaskan 185 orang dalam insiden stadion.
Penembakan enam anggota FPI pada 2020, yang masih menjadi kontroversi terkait dugaan pelanggaran HAM.
Kasus-kasus ini memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana pertanggungjawaban negara terhadap perlindungan HAM. Sejumlah pihak berpendapat bahwa ICC bisa menjadi alternatif dalam menuntut akuntabilitas terhadap dugaan pelanggaran ini, terutama jika proses hukum di dalam negeri dianggap tidak berjalan efektif.
Tantangan di Era Pemerintahan Baru
Dengan beralihnya kepemimpinan nasional, perhatian kini tertuju pada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Sejumlah kalangan berharap agar pemerintahan baru tidak melanggengkan impunitas dan tetap berkomitmen terhadap supremasi hukum.
Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah revisi UU TNI, yang dinilai berpotensi memperluas peran militer di ranah sipil. Jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang kuat, hal ini dikhawatirkan dapat meningkatkan potensi pelanggaran HAM di masa mendatang.
Selain itu, kekhawatiran mengenai meningkatnya pendekatan keamanan dalam mengatasi persoalan sosial-ekonomi juga menjadi sorotan. Jika pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif ketimbang kebijakan kesejahteraan, potensi konflik sosial bisa semakin besar.
Peran ICC dalam Menjaga Akuntabilitas
Dalam konteks global, ICC telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap beberapa pemimpin dunia, termasuk mantan Presiden Sudan Omar al-Bashir, mantan Pemimpin Libya Muammar Khaddafi, Presiden Rusia Vladimir Putin, serta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Kasus Duterte di Filipina bisa menjadi preseden bahwa pemimpin yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat tetap bisa diadili, meskipun negaranya bukan lagi anggota ICC. Jika ada cukup bukti dan laporan baru yang diajukan, bukan tidak mungkin ICC juga akan mempertimbangkan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Indonesia.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia diharapkan terus memperkuat mekanisme akuntabilitas dalam sistem hukumnya sendiri, sehingga masyarakat tidak perlu mencari keadilan di ranah internasional. Pemerintah yang baru pun diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap penegakan hukum yang transparan dan adil, agar tidak muncul kekhawatiran berulang mengenai impunitas atas pelanggaran HAM.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 16 Maret 2025