(TEROPONGSENAYAN) - Setiap Hari Raya Idul Fitri tiba, sebagian besar masyarakat Indonesia melakukan tradisi mudik. Di dalam mudik, seseorang mencoba meluangkan waktu beberapa saat untuk kembali ke kampung halaman atau kampung kelahiran di mana sebagian besar famili dan handai tolan -khususnya orangtua- tinggal. Arus mudik biasanya dilakukan oleh seseorang yang telah lama tinggal di kota menuju sebuah desa dimana dia dulu pernah tinggal, dilahirkan, dan dibesarkan.
Dengan mudik, seseorang mencoba mencari “jeda” dan mengambil jarak (meskipun cuma sejenak) dari budaya kota yang materialis, konsumeris, dan hedonis, menuju kultur desa yang bertolak belakang dengan budaya kota tersebut. Desa adalah simbol kesederhanaan, sementara kota penuh dengan hura-hura dan kegemerlapan. Desa adalah simbol kesunyian, kebeningan, dan ketenteraman, sementara kota adalah pusat keramaian, kejahatan, dan kerusuhan.
Dengan mudik, seseorang mencoba mencari ruang yang “hening” dan “bening” di tengah carut-marut kehidupan kota besar. Kota identik dengan kekejaman dan kebuasan, sementara desa simbol dari kedamaian dan persaudaraan. Di kota, hubungan antarmanusia sering kali bersifat fungsional dan pragmatis, sementara di desa hubungan antarmanusia masih bersifat emosional dan penuh empati. Pola pergaulan orang-orang desa masih bersifat jujur dan tulus, sementara pola interaksi orang-orang kota sering diwarnai siasat, kelicikan, dan tipu muslihat.
Berbeda dengan budaya desa yang penuh dengan kerjasama, kegotongroyongan, dan semangat sukses bersama, maka sebaliknya, kehidupan kota diwarnai dengan individualisme, egoisme, dan hukum rimba yang kejam. Dalam hukum rimba, komunitas yang kuat selalu eksis dan menang, sementara yang lemah akan lenyap dan binasa. Di kota, pola interaksi dan pergaulan antarmanusia selalu diganduli dengan kepentingan untuk mendapatkan uang dan materi. Akibatnya, di kota sulit sekali ditemukan pergaulan dan komunikasi antarmanusia yang jujur dan tulus.
Di kota, orang hanya mau ramah dan tersenyum kepada para “majikan” yang punya uang, jabatan, dan kekuasaan. Jika di desa masih banyak kita temui orang-orang yang jujur, sederhana, dan bersih, maka di kota banyak kita temui manusia-manusia yang rakus dan korup. Di kota, budaya korupsi telah tumbuh subur dan berkecambah di mana-mana sehingga telah menjadi hal yang biasa dan lazim. Pendek kata, ketika mudik, seseorang mencoba “hijrah” sementara dari lingkaran keburukan dan destruktifitas kota besar menuju kebaikan dan kebeningan hati nurani desa-desa kecil.
Masyarakat Indonesia sangat menikmati budaya mudik yang hanya terjadi setahun sekali. Mereka rela antri dan berdesak-desakan untuk mendapatkan tiket dan transportasi. Mereka mau bertumpuk-tumpuk dan bersesak-sesakan dalam gerobong kereta api ekonomi yang kondisinya sangat memprihatinkan. Di dalam mudik, seseorang dilatih untuk bersabar dan mengendalikan emosi di tengah kemacetan dan padatnya arus lalu lintas jalan. Mereka harus saling bekerjasama, menenggang, dan tolong-menolong.
Para pemudik sangat bersemangat dan rindu untuk segera bertemu dengan orangtua, sanak saudara, handai tolan, teman-teman lama, juga kampung halaman. Dalam momen mudiklah, persaudaraan dan silaturahmi yang tulus antarsesama manusia terbangun kembali setelah sekian lama tercabik-cabik oleh kultur kota yang kering, sombong, kejam, dan tidak berperi kemanusiaan.
Berbeda dengan di desa di mana hati nurani memperoleh tempat yang istimewa, maka sebaliknya di kota banyak manusia yang tumpul hati nuraninya. Di kota, manusia tega “memangsa” sesamanya. Di kota, para pejabat, elit politik dan elit ekonomi tega “menggusur” rakyat miskin dari gubug-gubug mereka. Bukan hanya itu, para pedagang kecil juga dihancurkan mata pencahariannya. Kios-kios mereka dibuldoser secara paksa.
Di antara para pemudik juga terdapat banyak anak muda yang terpaksa pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan, nafkah, dan penghidupan. Jika kita cermati fenomena kehidupan yang terjadi di desa-desa pulau Jawa, betapa banyak sekali anak mudanya yang tersedot ke kota karena di desa tidak ada kehidupan dan penghidupan. Perlahan tapi pasti, anak-anak desa yang semula sederhana dan lugu -setelah sekian lama tinggal di kota besar- pandangan hidupnya lalu berubah menjadi materialis, konsumeris, hedonis, bahkan seksis. Mereka pun kadang berubah menjadi sombong dan kejam.
Sebagaimana kebanyakan warga kota -khususnya yang kaya dan punya jabatan- warga desa yang telah lama tinggal di kota pun menjadi tumpul hati nuraninya. Mereka kehilangan empati kepada sesamanya, bahkan tetangga dekat sekali pun. Masyarakat kota bersaing berebut angkutan di jalan, menyetop kendaraan, tanpa saling bertegur sapa. Bagi mereka, kehidupan di kota adalah arena persaingan yang kejam, saling menggilas, dan membinasakan. Siapa yang kuat, cekatan, dan licik, maka dialah yang akan menjadi pemenang. Hasil dari kemenangan ini bisa berupa harta, uang, dan jabatan.
Warga desa yang telah lama tinggal di kota sadar betul bahwa di kota hanya berlaku hukum rimba: siapa yang kuat, dialah yang menang dan berjaya! Para pemudik yang berduyun-duyun dari kota merupakan cermin manusia yang sangat beragam: ada yang ekonominya tinggi, sedang, dan pas-pasan. Mungkin akibat pengaruh dari media informasi dan komunikasi yang bertiup cukup deras dari kota ke desa -khususnya via televisi- maka orang-orang desa kini melihat simbol kesuksesan dan kebahagiaan seseorang dari gebyar materi, keuangan, dan ekonominya. Orang-orang desa yang tetap tinggal di kampungnya lalu mengukur kesuksesan dan kebahagiaan seseorang dari harta benda yang dipunyainya. Kesuksesan dan kebahagiaan identik dengan harta yang melimpah.
Tetapi, ironisnya, di era modern dan kapitalisme mutakhir, cukup banyak desa yang tidak “perawan” lagi. Lewat jaringan media massa, khususnya televisi, desa-desa di pelbagai pelosok tanah air telah “digempur” dan “dijajah” budaya kota-kota besar metropolit yang kapitalistik. Warga desa tiap hari menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar televisi. Mereka dididik oleh televisi. Basis nilai, kesadaran, dan selera mereka dibentuk dan diubah oleh televisi. Kita tahu, televisi adalah corong kapitalisme mutakhir dan modernitas yang paling heroik. Lewat televisilah, gaya hidup materialistik, konsumeristik, dan hedonistik didesakkan setiap saat.
Masyarakat desa pun sering menonton gosip-gosip para selebriti di layar kaca.
Masyarakat desa -khususnya para remaja dan anak-anak mudanya- menjadikan para selebriti yang sering tampil gebyar di televisi sebagai tokoh panutan dan impian. Perlahan tapi pasti, akibat serbuan media massa -khususnya televisi- masyarakat desa lalu tercerabut dari budayanya sendiri dan mencoba menoleh kepada kebudayaan kota-kota besar metropolit yang dicitrakan lewat layar kaca.
Masyarakat desa lalu menganggap dirinya sendiri sebagai sosok yang “tradisional”, “konservatif”, dan “primitif”, serta menganggap masyarakat kota sebagai sosok yang “maju”, “modern”, “progresif”, dan “beradab”. Filosofi kehidupan masyarakat desa yang diliputi kesderhanaan dan menikmati hidup apa adanya, kini berubah menjadi materialistik dan silau terhadap gebyar duniawi dan harta benda. Di era globalisasi, informasi, kemodernan, dan kapitalisme mutakhir, batas kultural antara desa dan kota tampaknya semakin kabur, menipis, dan mencair.
Meskipun keberadaan desa-desa di pelbagai pelosok tanah air secara fisik tak segemerlap kota-kotanya, tetapi orientasi nilai, gaya hidup, dan selera masyarakat desa telah berkiblat dan meniru masyarakat kota. Dalam kondisi seperti ini, bisa jadi budaya mudik di zaman sekarang telah mengalami pergeseran makna dan suasana. Masyarakat kota yang bermudik-ria mungkin saja bisa bertemu dengan orangtua, handai tolan, para famili, dan teman-teman lama.
Mereka bergembira, bercengkerama, dan saling bermaafan; tetapi, mereka tampaknya tidak menemui lagi suasana desa yang tenang, damai, sejuk, dan natural, sebagaimana puluhan tahun silam. Desa-desa, dalam pelbagai hal, kini telah berorientasi dan berkiblat ke kota. Masyarakat desa kini semakin terpesona dengan selera dan gairah kota-kota besar. Perlahan tetapi pasti, desa-desa pun akan menjadi kota-kota yang materialistik, konsumeristik, dan hedonistik.(*)