(TEROPONGSENAYAN) - Idul Fitri menebarkan pesan sosial yang kental bagi umat Islam, juga bagi umat manusia secara keseluruhan. Dalam momen Idul Fitri, umat Islam saling bersilaturahmi dan saling memaafkan satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang bisa terlepas dari khilaf dan dosa. Setiap individu sangat potensial untuk berbuat khilaf dan aniaya, baik kepada kehidupan maupun kepada sesama manusia. Khilaf, dosa, dan kesalahan, merupakan hal yang manusiawi bagi siapa pun.
Setiap individu punya sisi kelebihan dan kekurangan, juga kebaikan dan keburukan. Untuk itu, tidak ada orang yang benar-benar suci dan bisa terlepas dari dosa. Tidak ada seorang pun yang bisa terlepas dari kritik sejarah. Kita pun kadang berbuat jahat, buruk, dan aniaya. Keburukan kita kadang berakibat tidak baik bagi orang lain dan bagi kehidupan secara luas.
Dalam hidup ini kita sering “bertopeng”, kita mencoba selalu menampilkan sisi-sisi baik, dan menyembunyikan sisi-sisi buruk. Kita tampil seolah-olah sebagai sosok yang bersih tak berdosa, padahal sebenarnya kotor dan bergelimang dosa. Idul Fitri adalah momen di mana kita semua berikrar untuk saling memaafkan satu sama lain dan bertekad untuk menapaki kehidupan secara lebih baik dan bijak.
Dalam momen Idul Fitri, kita termotivasi untuk kembali ke fitrah manusia yang baik. Inilah pancaran cahaya malaikat dan Tuhan dalam diri kita. Sebaliknya, dalam momen idul fitri, kita harus mampu mengalahkan sisi-sisi buruk, jahat, dan destruktif dalam diri kita, yang acapkali kita istilahkan sebagai citra “setan” dalam diri kita. Karena setiap manusia pada hakikatnya punya sisi “baik” dan “buruk” atau sisi “terang” dan “gelap”, maka hidup merupakan pergulatan yang abadi dari sang manusia untuk mengatasi dan mengalahkan sisi-sisi buruk dan gelapnya. Inilah jalan untuk meraih iman dan takwa yang hakiki. Di sini, sisi-sisi baik dan terang kita memancar keluar: kita pun tergerak untuk melakukan hal-hal yang baik dan mulia dan menepiskan hal-hal yang buruk, jahat, dan destruktif. Pergulatan untuk meraih dan menuju iman dan takwa merupakan proses yang terus-menerus, bahkan abadi.
Sebelum memasuki Idul Fitri, kita telah menunaikan puasa dan zakat fitrah. Puasa dan zakat tentu saja bukan sekadar fenomena “ritual” belaka, tetapi juga merupakan ibadah dalam arti yang luas. Di sini, puasa dan zakat mengandung pesan sosial yang kental. Dengan puasa dan zakat, setiap individu mencoba berempati kepada individu-individu lainnya yang lemah, miskin, dan sengsara. Puasa dan zakat mengukuhkan solidaritas kita bagi sesama manusia yang tidak berdaya dan tertindas. Di sini, seseorang yang lebih kuat dan berpunya, harus menolong manusia lain yang lemah dan miskin.
Dengan berpuasa pada hakikatnya kita brgulat terus-menerus untuk mengendalikan dan melawan hawa nafsu yang cenderung mengajak kepada hal-hal yang buruk, jahat, dan destruktif, yang potensinya ada pada setiap manusia, termasuk diri kita semua. Nafsu-nafsu yang buruk ini misalnya terjelma dalam watak-watak manusia yang bersifat iri, dengki, sombong, kikir, serakah, egois, korup, jahat, zalim, dan sebagainya.
Momen Idul Fitri, puasa, dan zakat, mengajak kita semua untuk berlatih terus-menerus membersihkan jiwa, ruhani, dan psikis kita. Di sini, kita pantang menyerah untuk mensucikan batin menuju kehidupan yang lebih baik, bijak, dan mulia. Dari sinilah kita berharap mampu merengkuh kedamaian dan kebahagiaan yang hakiki, suatu hal yang menjadi salah tujuan (ke)hidup(an) kita, baik di dunia maupun akhirat.
Dengan puasa dan zakat, berarti kita memotivasi diri dan berkomitmen untuk menegakkan keadilan sosial atau dalam istilah Islam disebut kemaslahatan umat. Di sini, kita ditantang untuk menaburkan cinta kasih kepada sesama umat manusia dan kehidupan, atau secara luas disebut cinta kasih semesta. Dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman, “Aku tidak mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat bagi semesta.” Kata “engkau” di situ sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad semata, melainkan juga kepada kita semua sebagai umat Islam dan sebagai warga umat manusia.
Kita adalah bagian dari manusia lain dan kehidupan yang tak terpisahkan. Jika manusia dan kehidupan disakiti dan dilukai, maka sakit dan lukalah diri kita. Salah seorang penyair termasyhur Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, melantunkan puisi, “Tubuh kita satu, jiwa kita satu, yang tertusuk padamu, berdarah padaku…” Untuk itu, cinta kasih dan rahmat yang kita taburkan kepada sesama manusia sudah sepatutnya melampaui baju-baju “primordial” yang kita sandang, entah itu berupa jenis kelamin, suku, agama, ras, warna kulit, bahasa, ideologi, mazhab politik, dan sebagainya.
Dalam visi “rahmat bagi semesta” sebagaimana ditandaskan oleh Al-Quran, maka kita merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manusia lain dan kehidupan secara lebih luas. Dengan visi rahmat semesta inilah kita berusaha mengaplikasikan teologi sosial, yakni visi-visi sosial yang berangkat dari ajaran agama -khususnya agama Islam- baik dalam bentuk penegakan demokrasi dan keadilan sosial, memelihara alam dan lingkungan, dan sebagainya.
Cinta kasih, rahmat semesta, dan keadilan sosial ini, antara lain termanifestasi dalam bentuk penegakan perdamaian yang terjelma dalam perilaku melawan perang dan kekerasan, memperjuangkan pemerataan ekonomi, menegakkan kesetaraan dan emansipasi sosial, melawan ketidakadilan, korupsi, kezaliman, dan sebagainya. Salah satu problem utama yang melilit bangsa kita dan skalanya semakin mengkahwatirkan dari waktu ke waktu, antara lain adalah naiknya angka kriminalitas, kejahatan, dan dektruktifitas, misalnya dalam bentuk korupsi yang semakin merajalela, kekerasan yang semakin meningkat baik yang dilakukan oleh unsur negara (state) maupun oleh individu-individu warga negara.
Selain korupsi, ketimpangan sosial-ekonomi, dan kekerasan sosial, dua hal lain yang menjadi problem serius bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia adalah merajalelanya peredaran narkoba serta perusakan lingkungan.
Korupsi, narkoba, kekerasan sosial, pornografi, perusakan lingkungan, untuk menyebut sebagian di antaranya merupakan problem yang harus kita atasi dan menjadi perhatian kita karena ada di depan mata kita semua. Korupsi dan narkoba yang mengepung kita semua karena ada di semua lini kehidupan bangsa ini jelas bisa mengambrukkan sendi-sendi bangsa dan negara. Korupsi dan narkoba benar-benar merusak jiwa dan raga bangsa ini. Dalam soal korupsi, narkoba, kekerasan, otoriterisme politik, pornografi, seksisme, dan perusakan lingkungan yang jelas-jelas patologis, kita tampaknya telah tergolong bangsa yang “sakit”. Kalau kita semua tidak segera mencari obat dan terapinya, maka bukan tidak mungkin masa depan kita semua, bangsa Indonesia, akan semakin suram dan muram.
Ironisnya, hal-hal negatif sebagaimana dipaparkan di atas seperti pornografi, kekerasan, juga klenik dan mistikisme, merupakan tayangan favorit sebagian besar televisi di tanah air yang menyedot perhatian kita, juga anak-anak kita setiap hari. Tak pelak, dalam era modern dan kapitalisme mutakhir, televisi merupakan pendidik nomor wahid dan pengaruhnya sangat besar bagi warga masyarakat.
Di tanah air kita, masyarakat setiap hari menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi yang tak lain merupakan corong kapitalisme yang tak henti-hentinya menebarkan racun materialisme, konsumerisme, hedonisme, dan seksisme.
Selain itu, perusakan dan pencemaran lingkungan juga merupakan problem yang serius bagi kita semua karena menyangkut hari depan dan kelangsungan hidup umat manusia. Manusia Indonesia telah banyak merusak dan mencemari lingkungan. Hutan-hutan dan tetumbuhan di Indonesia telah ditebang secara membabi-buta oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Sebagian besar hutan-hutan Indonesia telah gundul dan meranggas. Untuk itu, sangat masuk akal, jika bencana alam dalam berbagai bentuknya terus melanda wilayah tanah air, dari sabang sampai merauke, bagai tiada habisnya.
Idul Fitri -sebagaimana juga hari-hari raya dan besar lainnya- tampaknya juga mulai terpengaruh semangat materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Sebagaimana Puasa Ramadhan, Idul Fitri pun lalu dijadikan komoditas yang empuk oleh aktor-aktor kapitalis, khususnya lewat media massa elektronik, baik radio maupun televisi. Dalam momen Puasa Ramadhan dan Idul Fitri, yang penting bukan ruh agamanya yang baik dan luhur, melainkan asumsi pragmatis di belakangnya: mampu mendatangkan keuntungan materi apa tidak.
Di situ, momen-momen agama yang seharusnya suci dan sakral, mulai terkalahkan oleh ideologi kapitalisme mutakhir yang terus-menerus memompakan semangat materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Sebagaimana menyambut hari-hari raya lainnya, semisal natal dan tahun baru, Idul Fitri pun harus ditandai dengan tampilan fisik yang wah, pesta, dan hura-hura. Padahal, sebagaimana fenomena sosial-keagamaan, Idul Fitri, puasa, dan zakat sebagai satu rangkaian dan kesatuan tak terpisahkan seharusnya meniupkan semangat bagi umat manusia -khususnya umat Islam- untuk melampaui dan mengatasi harta benda dan materi.
Mencari uang, materi, dan ekonomi, merupakan hal yang wajar dalam kehidupan manusia. Yang tidak wajar adalah jika kita mencari uang, materi, dan ekonomi dengan cara yang jahat, tidak wajar, dan menghalalkan segala cara. Atau kita dikendalikan dan diperbudak oleh uang, materi, dan ekonomi.(*)