(TEROPONGSENAYAN) - "Apakah engkau tahu orang yang mendustakan agama? Yaitu, orang yang menyia-nyiakan anak yatim. Dan, tidak menyeru manusia untuk memberi makan orang miskin. Celakalah orang-orang yang melaksanakan shalat. Yaitu mereka yang lalai dari shalatnya. Mereka yang ingin dilihat orang. Dan enggan memberi pertolongan". (QS Al-Mâ‘ûn [107]: 1-7)
Beberapa fenomena sosial menciutkan nyali kita. Kekerasan, korupsi, penyalahgunaan wewenang dan teror atas nama agama hadir di depan mata. Agama sebagai pembawa misi Tuhan ke jalan perubahan dan perdamaian berubah jadi alat yang menghancurkan nilai kemanusiaan. Seorang yang melakukan ibadah ritual seharusnya memiliki moralitas dan jiwa yang baik dan bersih. Di satu sisi, Ia akan menjauhi sifat-sifat tercela seperti korup, kikir dan zalim. Di sisi lain, kepedulian terhadap persoalan sosial dan kemanusiaan semakin terasah tajam. Ia tidak pasif. Ia aktif menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan, kerusakan lingkungan, narkoba, pornografi, kezaliman (kekuasaan), dan ketimpangan sosial-politik lainnya.
Para pendusta agama adalah orang yang ibadahnya tidak punya implikasi nyata bagi moralitas dan tindakan sosialnya. Mereka beragama hanya bersifat simbolik dan formalistik. Ibadahnya kering. Jangan heran kalau kita temukan seorang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji ternyata jadi tersangka korupsi dana haji. Agama hanya dijadikan kedok untuk menghaluskan, menyamarkan, dan menutupi keburukan dan kejahatan yang dilakukannya. Para koruptor yang tiba-tiba memakai baju kesalihan, kerudung kesucian dan bahkan mengadakan zikir untuk menutupi kezaliman politik dan penyalahgunaan jabatan yang dilakukannya. Ibadah yang khusyu', indah, dan berkah adalah ibadah yang menggerakkan spirit transformatif, perdamaian dan menghindarkan diri dari prilaku korup, zalim dan nista.
Menurut surah Al-Mâ‘ûn di atas, orang yang mendustakan agama adalah orang yang tidak punya kepedulian sosial (enggan memberi pertolongan kepada sesama manusia yang sengsara), serta melakukan ibadah ritual tetapi tidak berpengaruh bagi moralitas pribadi dan perilaku sosialnya. Orang-orang yang (seakan-akan) rajin melakukan ibadah, tetapi hanya untuk “pamer”, bahkan “mengelabui” orang lain. Abu Madyan al-Magribi mengatakan, " Berhati-hatilah pada orang yang mengaku dekat dengan Allah, tapi prilakunya tidak menunjukan bukti kesalihan yang nyata".
Anak yatim atau 'orphanage' adalah mereka yang kehilangan kasih sayang orang tua dan membutuhkan pertolongan orang lain. Merekalah kelompok masyarakat yang harus mendapat perhatian lebih. Eksploitasi mereka yang dilakukan oleh seseorang dan atau institusi berlabel agama adalah bentuk penistaan terhadap agama itu sendiri. Pendirian panti asuhan dengan tujuan memperkaya diri serta tindak kekerasan terhadap para pekerja anak merupakan kesewenang-wenangan yang dikecam al-Quran, " Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu melakukan sewenang-wenangnya” (QS Adh-Dhuha : Ayat 9). Bahkan Asy-Syafii mengatakan, " Si Yatim bukan sekedar anak yang dtinggal mati oleh ayahnya, Si Yatim itu mereka yang kehilangan kesempatan mengeyam pendidikan dan tidak mendapatkan contoh ketauladaan dalam kehidupannya".
Ciri yang lain dari seorang pendusta agama adalah ketidakpedulian pada fenomena kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya sebatas dimensi ekonomi. Ia bersifat multidimensi. Selain kekurangan pendapatan, kaum miskin juga menderita kekurangan atau ketiadaan pelayanan (transportasi, kesehatan, pendidikan dan kredit) dan kekurangan partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Karena itu, si miskin sering merasa terisolasi, dan tidak berdaya ketika hak-hak mereka dilanggar dan dimanfaatkan oleh mereka yang kaya dan berkuasa.
Di sinilah tugas utama keberagamaan kita. Mengentaskan kemiskinan, bukan menyuburkan praktik pemiskinan. Memberdayakan kaum miskin, memperbaiki kapasitas mereka melalui perbaikan pelayanan dasar, menyediakan kesempatan ekonomi dengan meningkatkan akses pasar dan menyediakan pelayanan perlindungan keselamatan dari shok eknomi dan dari korupsi, kejahatan, dan kekerasan adalah misi utama agama yang harus dilakukan umat beragama.
Terakhir, sholat yang merupakan tiang pancang keberagamaan kita harus menjadi sesuatu yang mendorong kita berbuat kebaikan pada sesama. Dalam konteks ini, orang yang mendirikan sholat harus mempunyai empati dan kepedulian sosial terhadap rakyat miskin, sengsara, dan tertindas, yang jumlahnya sangat banyak di negeri ini. Sangat mengherankan, di tengah banyaknya jumlah masyarakat miskin dan sengsara di negeri ini, ternyata masih sering kita temui "orang-orang shalih" yang pamer kekayaan dan keshalihan.
Daripada umrah berkali-kali atau membangun majelis-majelis yang megah, bukankah akan lebih fungisonal dan berkah jika kekayaan yang kita miliki digunakan untuk memberdayakan rakyat miskin?. Bukankah menolong orang yang sengsara merupakan ibadah yang nyata dan mulia?. Kepedulian sosial dan empati kemanusiaan dalam kehidupan ini merupakan pesan mulia dari surah Al-Mâ‘ûn di atas.(*)