(TEROPONGSENAYAN) - Menghadapi pilpres yang kian dekat, polemik di kalangan masyarakat Indonesia makin terasa memanas. Kedua kubu saling melontarkan psy war untuk memenangkan pertempuran urat syaraf, sebelum betul-betul berlaga dalam pemilihan di 9 juli yang akan datang. Tak ada seharipun tanpa pembahasan soal capres. Baik di media cetak maupun elektronik, di dunia nyata maupun di dunia maya, bahkan dalam rutinitas kita, setiap hari kita disuguhi berita yang terkadang tak jelas asal-usulnya. Bahkan lebih kental nuansa politisnya ketimbang upaya untuk membuat masyarakat mendapatkan informasi terbaik dari masing-masing kandidat.
Begitu massifnya upaya untuk memenangkan pertempuran sehingga terkadang orang tega membuat kampanye yang tidak berimbang dan cenderung pada fitnah melalui black campaign. Etika dan sopan santun menjadi nilai yang dikesampingkan manakala orang sudah pada puncak keterlibatan yang mendalam terhadap segala hal yang diyakininya. Realitas politik seperti ini jauh dari yang diajarkan nabi dan para ulama salaf. Realitas politik terkini menjadikan perbedaan sebagai bulan-bulanan politik untuk menghantam rivalnya. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin justru dipakai sebagai alat untuk menjudgement nilai-nilai yang dianggap berbeda sebagai ‘the others’, dan menjadikan agama sebagai klaim kebenaran tunggal. Ironisnya, limbahnya dibuang di garasi lawan untuk memancing pertikaian. Kita seolah lupa bahwa perbedaan itu niscaya adanya.
Padahal Nabi memulai pembinaan masyarakat Madinah dengan mempertautkan eleman-elemen yang berbeda. Beliau memahami bahwa perbedaan punya potensi perpecahan yang kuat. Oleh karena itu, mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang) dan Anshar (Penolong), mendamaikan pertikaian suku-suku Yahudi di Madinah serta membentuk mereka dalam komunitas masyarakat Madinah merupakan prioritas utama yang dilakukan nabi, bukan memerangi mereka atau memaksa tunduk dalam satu keyakinan iman. Piagam Madinah adalah konstitusi yang harus dipatuhi oleh semua elemen yang berbeda itu melalui kesepakatan bersama. Dengan demikian, Nabi mengakhiri hukum rimba yang selama ini melekat dalam tradisi qabilah Arab, siapa yang kuat dia yang menang. Madinah pada masanya menampilkan kristalisasi sebagai sebuah keimaman dan sistem sosial-politik. Satu hal yang tidak pernah tercapai pada masa sebelumnya.
Para ulama salaf pun mengajarkan kita beberapa hal tentang etika atau adab bermasyarakat termasuk dalam politik. Imam Al Ghazali mengatakan bahwa hilangnya etika (loss adab) itu karena nilai-nilai (values) pandangan keislaman telah ditinggalkan dalam melakukan aktivitas politik. Al Ghazali mendasarkan pendapatnya dari realitas politik saat itu yang dipenuhi praktik-praktik politik banyak yang menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah gunaan kekuasaan, perpecahan umat dan krisis ulama’. Al-Ghazali melihat, problem itu bermuara dari krisis keilmuan. Oleh sebab itu, kritik Imam al-Ghazali ditujukan kepada para ulama’ sebagai pengemban ilmu.
Lebih jauh dalam kitab Ihya’ Ulumuddin Al Ghazali mengatakan “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal” (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin juz II ,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, hlm 381).
Oleh karena itu sikap hati-hati para ulama dengan menjunjung tinggi etika berpolitik patut diapresiasi. Karena masyarakat akan belajar dari figur yang dianggap memiliki representasi ilmu. Mumpung ini bulan Ramadhan ada baiknya kita endapkan segala sikap saling menyerang apalagi memfitnah. Hendaknya puasa ini kita jadikan sebagai media pengekangan diri. Mengekang segala bentuk provokasi dan mengedepankan sikap saling menghargai.
Wal akhir, selamat menjalankan ibadah Ramadhan dalam satu rekatan kebangsaan yang utuh.