JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Penggusuran warga Kampung Pulo masih terus mengundang beragam pendapat. Bukan hanya karena bentrokan yang brutal namun juga sorotan tentang hak warga menempati tanah negara.
Anggota DPD RI, Gde Pasek Suardika menyindir Ahok yang baru tiga tahun jadi Gubernur namun sering tegas menggusur warga miskin yang di klaim menempati tanah negara. Pasek menilai Gubernur sebagai aparat bukan pemilih tanah negara.
Untuk lebih jelasnya berikut pandangan senator asal Bali melalui cuitannya yang dia sebarkan menggunakan akun twitter @G_paseksuardika, Sabtu pagi (22/8/2015).
Perlahan tapi pasti kawasan Kampung Pulo Jatinegara sudah mulai berhasil digusur, sehingga program normalisasi Kali Ciliwung sudah ada kemajuan.
Memang ada bentrokan di hari pertama, tapi di hari berikutnya lancar. Sebuah kesan umum, rakyat kecil selalu kalah jika melawan kekuasaan.
Diskusi ini bukan utk bicara sekedar gusur menggusur, tapi mencoba memahami perspektif lain atau sisi lain dari keriuhan tsb.
Sebab Jakarta untuk tidak banjir adalah dambaan semuanya. Rakyat juga dapat lokasi yang lebih baik juga harapan semua. Dan itu sebenarnya terjadi.
Kita diskusi soal hubungan negara dengan rakyatnya. Siapa negara dan siapa rakyat. Apa benar Pemerintah itu sama dengan negara?
Pertanyaan itu menggelitik karena Pemprov DKI menegaskan warga Kampung Pulo adalah penghuni liar dan menduduki tanah negara tanpa ijin.
Bahkan Ahok selaku Gubernur DKI mengatakan tak pantas mendapat ganti rugi karena sudah tinggal tidak bayar di tanah negara. Jadi Rusun itu sudah manusiawi.
Benarkah Pemprov itu negara? Menurut saya, Pemprov posisinya aparatur negara. Bukan negara. Sehingga sebagai aparatur dia harus hadir bukan sebagai owner.
Meski bukan semua, mayoritas warga di Kampung Pulo sudah tinggal sebelum kemerdekaan. Jika tahu "negara" akan gusur, mereka menyesal pilih NKRI.
Kakek dan nenek mereka pilih NKRI untuk hidup lebih baik. Kalau sekarang Gubernur yang baru tiga tahun lalu usir2, mereka seperti ngekost di Jakarta, ironis.
Kini mereka pindah ke Rusunawa dengan status sewa bukan memiliki. Sehingga negara hadir bukan memperbaiki masa depan mereka. Pemprov membantu dengan beban.
Sebenarnya untuk tanah negara, sudah ada aturannya. Warga negara itu punya hak atas tanah tersebut dengan asal waktu menempati memenuhi syarat.
Janganlah aparatur negara / Pemprov seakan menjadi pemilik. Karena mereka hanya aparat mewakili negara. Negara itu milik rakyat, bukan aparat.
Anomali didepan warga negara, khususnya Kampung Pulo sebagai tersangka utama penyebab banjir Ibukota sehingga layak disakiti. Sementara beda yang lain.
Betapa banyak situ-situ, rawa-rawa, hutan bakau dll diambil alih pengembang dan dilayani sertifikat. Mereka dilindungi, walau baru menempati.
Bukankah lokasi2 itu juga bisa penyangga banjir? Lalu kalau jadi perumahan elit maka penyangga banjir berkurang. Galakkah aparat negara?
Pertanyaan sederhana, kalau mereka liar, tersangka utama penyebab banjir, apakah mereka punya KTP ? Mereka bayar PBB? Bila iya mereka layak dilayani.
Silakan direlokasi, tapi aparat negara harus membantu untuk kehidupan yang lebih baik. Kalau ganti rugi katanya tidak layak, ya bantuan sosial diberikan.
Kalau membantu dana untuk Polri dan TNI, Pemprov DKI ikhlas keluarkan APBD nya, kenapa utk warga negaranya pelit dan galak?
Jangan berdalih kalau ganti rugi itu melanggar aturan sehingga tdk bisa diberikan. Warga disana tidak memasalahkan nomenklaturnya. Mereka perlu uangnya.
(ris)