JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi PAN, Achmad Hafisz Tohir mengatakan bahwa Komisi VI belum mendapatkan laporan dari Rini Soemarno terkait kebijakannya berutang pada China Depelovment Bank.
"Kami akan minta keterangan dari dia terkait hal ini (urang sebesar Rp43,28 Triliun," kata dia via BBM di Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Kalau melihat pergerakan US dollar yang punya trend naik terus sejak dua tahun terakhir, maka dapat diprediksi pinjaman dalam bentuk USD suatu saat nanti pasti akan menjadi beban neraca pembayaran negara.
"Jadi sebaiknya saat ini kita tidak melakukan pinjaman luar negeri dalam bentuk US dolar," tandas dia.
Sebaiknya, kata dia, alternatif terbaik untuk kondisi ekonomi RI yang lemah saat ini adalah counter trade dengan negara-negara exportir Indonesia.
"Kalau pinjaman dalam USD ya terlalu beresiko. Sebaiknya pinjaman yang pergerakannya tidak progresif seperti USD, misalnya Yen yang cenderung stabil," ujarnya.
Selain itu, kata dia, pemerintah mencari pinjaman di luar negeri menunjukkan bahwa likuiditas di dalam negeri sedang sulit dan ini terjadi karena ada capital flight yang terus menerus di bursa saham.
"Memang kalau pemerintah tidak tutup dari hutang maka solusinya adalah pakai cadangan devisa. Tapi tampaknya pemerintah masih malu untuk gunakan cadangan devisa. Mereka coba dengan berhutang dengan tameng mesin BUMN kita yang sebagian masih kuat," tandasnya.
Saat ditanya apakah langkah Rini tersebut sudah tepat atau tidak, Hafisz mengatakan bahwa apa yang dilakukan Rini sudah tentu atas izin dari atasannya.
"Ini pasti perintah presiden, karena krisis likuiditas. Menjaga likuiditas, tetapi ini kurang tepat menurut saya. Kalau mau jaga likuiditas tetap itu harus kebijakan berpihak kepada pasar jika tidak maka pasar akan menolak. Jokowi sudah ditolak pasar. Maka apa saja kebijakan Jokowi saat ini pasar bereaksi negatif," tutup dia. (iy)