Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR-RI) pada hari Sabtu, 26 Sep 2015 - 13:07:22 WIB
Bagikan Berita ini :

Taper Tantrum On Menyelamatkan Rezim Jokowi

36images (5)_1442744346880.jpg
Djoko Edhi S Abdurrahman (Sumber foto : Istimewa)

Taper Off ditunda. Sampai kapan, tak ada yang tahu. Tanggal 19 september 2015, The Fed menyatakan tak jadi menaikkan suku bunga acuan, tetap 0,25%. Alasannya, menurut Kompas, ditunda karena inflasi AS rendah 0,2%, dan angka pengangguran masih tinggi, 5,1%. "Bukan karena kuatir pasar goyah".

Alasan terakhir itu, jelas The Fed separuh berdusta. Mengutip Richard Ebelling, The Fed sengaja menciptakan masalah. Sepanjang 2003-2008, The Fed terus menurunkan suku bunga jadi rendah dengan cara menambah uang beredar, lalu mendorong kredit murah itu ke investasi spekulatif di pasar modal - bukan untuk investasi yang meluaskan lapangan kerja.

Suku bunga rendah The Fed berlangsung sejak 2006. Sepanjang 2009 - 2015, The Fed memasok uang beredar ke perbankan dari 740 miliar USD pada 2007, menjadi 4 triliun USD pada 2015.

Jadi, spekulasi nilai tukar jalan terus. Namanya Taper Tantrum. Praktiknya memainkan issu pasar valuta asing di negara berkembang untuk profit taking menggunakan dana murah tadi. Kalau The Fed menaikkan suku bunga, namanya Taper Tantrum Off, biasa disebut Taper Off saja. Artinya, spekulasi berhenti karena dana murah terhenti. Dana murah ini, jatuh ke bank besar dan hedge fund, yang telah mendongkrak indeks saham Dow Jones pada Januari 2015, tapi tidak memberikan pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi AS.

Taper Off akan dilaksanakan jika pertumbuhan ekonomi AS terus membaik. Melalui rapat komite federal bank sentral AS (FOCM), Taper Off ditunda.

Kalau jadi Taper Off itu? Dana murah tadi, yang digunakan investor di negara berkembang untuk spekulasi di bursa, kabur ke The Fed lagi. Pulang kandang. Praktis nilai tukar rupiah akan lebih terjerembab ke tahap panik.

Spekulasi dana murah ini oleh Robert Shiller disebut manipulasi di "Fraud, Fools, and Financial Market", 17 September lalu. Untung tak jadi di Taper Off, sehingga rezim Presiden Jokowi punya kesempatan melakukan economic recovery di hari-hari mendatang.

Sebaliknya, karena Taper On, maka jalan terus, spekulasi juga jalan terus, nilai tukar rupiah akan terus melemah, namun secara perlahan-lahan. Analoginya, kalau pembunuhan, matinya itu pelan-pelan.

Faktor manipulasi dan volatilitas mempengaruhi dana murah ini, rawan terhadap kenaikan suku bunga. Jika The Fed menaikkan suku bunga, beban dana murah meningkat, sangat mudah membuat pasar panik, dan kenaikan suku bunga The Fed akan memicu kekacauan sektor keuangan secara keseluruhan.

Tapi kebijakan menunda kenaikan suku bunga The Fed, juga mengambil korban. Menurut Wakil Direktur Bank Pembangunan Asia, Edmon Ginting, mengutip USA Today, Bank of Amerika salah satu yang terjebak karena salah prediksi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan. Sejumlah bank juga mengalami nasib sama, saham mereka anjlog akibat salah prediksi.

Dari penundaan Taper Off itu, Shiller melihat The Fed lebih mementingkan ketakutannya terhadap gejolak Wallstreet daripada pentingnya pertumbuhan ekonomi AS. Di luar itu, The Fed masih menempatkan kondisi ekonomi Tiongkok yang memburuk sebagai kambing hitam penundaan Taper Off.

Tapi jika menggunakan analisis politik, krisis saat ini tak syak adalah by design, jelas telah menggagalkan ekonomi Tiongkok menjadi raja ekonomi dunia. Sebab, hanya 8 bulan sejak berdirinya AIIB yang dimotori Presiden Tiongkok Xi Jinping, 24 Oktober 2014. AIIB adalah bank kreditur ketiga setelah BRICK (Afrika) dan Broncho Del Sur (Amerika Latin) yang berdiri sebagai perlawanan terhadap dominasi keuangan Barat, World Bank, ADB, dan IMF.

Sampai awal tahun 2015, AIIB menggegerkan dunia, hingga IMF dan ADB masuk AIIB. Issunya, Yuan akan menggantikan mata uang dunia menggantikan USD karena ekonomi Tiongkok telah bersaing dengan AS.

Issu lainnya, pertumbuhan ekonomi dunia telah pindah dari Barat ke Timur, yaitu Tiongkok. Tak ada yang mengira bahwa Shanghai bakal diserang dengan hebat, sehingga Tiongkok harus merevaluasi Yuan dan gagal menjadi mata uang dunia. Sebanyak Rp 36.000 triliun menguap dari pasar modal Shanghai, dan kini masih belum pulih.

Padahal, tujuan dan kerja sama ekspor Indonesia terbesar adalah Tiongkok. Jelas saja Indonesia ikut teler. Di lain sisi, penundaan Taper Off itu, telah menyelamatkan kekuasaan rezim Jokowi, karena tak ada gejolak kurva patah pada kenaikan kurs USD berikutnya, melainkan naik perlahan yang tak mematikan seperti pada domino effect Juli 1997.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #jokowi  #the fed  #rupiah  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Digitalisasi Salah Satu Kunci Genjot Pertumbuhan Ekonomi

Oleh Uchok Sky Khadafi Aktivis 98, Direktur Eksekutif Center for Budget Analisys (CBA)
pada hari Selasa, 05 Nov 2024
Kondisi ekonomi global dalam beberapa tahun belakangan ini dihadapkan pada ketidakpastian. Selain dipicu perang Rusia-Ukraina, ketidakpastian ekonomi global juga terjadi imbas perang dagang antara ...
Opini

Blockchain Untuk Koperasi Indonesia

Sejak kemerdekaan, koperasi di Indonesia berkembang sebagai simbol ekonomi rakyat yang berbasis gotong royong, berperan penting dalam upaya mewujudkan kedaulatan ekonomi. Pada masa awal, koperasi ...