Opini
Oleh Effendi Ishak pada hari Senin, 02 Nov 2015 - 11:19:54 WIB
Bagikan Berita ini :

Fenomena Agama dan Kekerasan : Kegagalan Elementer dalam Memahami Sebuah Agama

96medium_36Tolikara1.jpg
Kekerasan Agama di Tolikara, Papua (Sumber foto : antaranews)

Memasuki abad ke XXI, terdapat gejala yang semakin menarik pada umat manusia di berbagai belahan dunia, yaitu meningkatnya kecenderungan untuk suatu tindak kekerasan yang sangat tidak menghormati nilai nilai kemanusiaan

dengan mengatasnamakan agama. Seakan agama adalah sumber kekerasan dan agama menganjurkan tindak kekerasan.

Berapa banyak manusia dibunuh, disiksa, diperkosa, dihina, dilucuti hak hak asasinya dan bahkan diperlakukan lebih biadab dari binatang sekalipun. Kekerasan mengatasnamakan keyakinan agama Islam, seperti Al Qaeda di Afghanistan dan Pakistan, Boko Haram di Somalia, ISIS di Irak dan Suriah.

Kekerasan mengatasnamakan agama Yahudi, misalnya penindasan dan penghancuran rakyat Palestina oleh Zionis Israel. Kekerasan mengatasnamakan agama Buddha, misalnya penindasan yang dialami minoritas muslim, rakyat Myanmar, suku Rohingnya.

Kekerasan mengatasnamakan agama Nasrani di Serbia untuk menindas dan mengeksploitasi masyarakat muslim, sebelum akhirnya terpisah menjadi dua negara Bosnia dan Serbia. Sedangkan di India, sebelumnya sering terjadi gerakan separatis Hindu yang menindas minoritas muslim di negara tersebut.

Ada apa dengan agama? Atau ada apa dengan cara pemahaman agama? Kenapa agama sering digunakan sebagai basis argumen untuk tindak kekerasan? Kenapa agama yang dipahami dan dimengerti sebagian orang, begitu kejam, begitu anti perikemanusiaan, begitu sadis dan menjijikkan.

Lalu apakah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang dengan kasih sayangNya menciptakan alam semesta ini, yang dengan CintaNya mengayomi semua makhluk ciptaanNya sendiri di bumi ini, telah merekomendasikan tindak kekerasan?

Atau justru manusia yang bodoh dan bebal dengan sekehendak nafsu binalnya, telah menyelewengkan ajaran suci yang penuh kedamaian dari agama itu, yang ditafsirkan dan dimaknai
untuk kepentingan ambisi pribadi dan kelompok demi pengejaran kekuasaan, baik kekuasaan atas wilayah, kekuasaan atas kedudukan sosial, kekuasaan atas akses ekonomi. Atau apapun namanya, semuanya demi libido kekuasaan, atau libido balas dendam yang tidak mengindahkan aturan kepatuhan dan kepatutan nilai nilai manusiawi.

Fenomena agama dan kekerasan apakah justru bukti konkret pengkhianatan manusia sendiri terhadap nilai nilai agama yang suci yang merekomendasikan kedamaian, saling menghormati dan menghargai perbedaan, menganjurkan Co-eksistensi antar yang berbeda keyakinan dan pandangan, ajaran cinta, kasih sayang dan berbelas kasihan atas sesama ciptaan Tuhan yang sama sama tinggal di planet yang sama.

Kenapa sebagian Yahudi, Kristen dan Islam yang para nabi dan rasulnya berasal dari kakek yang sama, sebagai anak dan cucu, Rasul Ibrahim AS, seringkali di dunia dalam posisi bentrok dan penuh kekerasan satu sama lain. Kenapa Hindu, Buddha yang mengajarkan welas asih dan bersahabat dengan alam, sebagian umatnya ada yang tega juga melakukan tindak kekerasan antar sesama manusia.

Lalu kenapa, Yahudi, Nasrani, Islam, Buddha, Hindu dan kemudian sekte sekte dalam Yahudi, Nasrani dan Islam serta Hindu dan Buddha oleh sebagian pemeluknya bisa menjadi sumber kekerasan.

Mengingat planet dunia yang terbatas ini, keterbatasan sumber bahan makanan untuk manusia penghuni bumi, keterbatasan energi untuk aktivitas produksi, keterbatasan daya dukung alam dan lahan, keterbatasan alam yang semakin tergerus dengan bencana.

Sementara jumlah penduduk semakin meningkat dan bertambah. Maka tidak ada pilihan lain, kalau ingin ada perbaikan untuk kelanjutan kehidupan yang berkualitas di planet bumi ini, maka satu-satunya yang paling mendasar adalah mengembalikan potensi dan fungsi Agama ke posisi yang aslinya dan orisinal.

Sebab Agama salah satunya berfungsi sebagai tumpuan akhir sumber rujukan moral bagi manusia dan kelompok manusia dalam bereksistensi di planet Bumi yang sudah nampak semakin gaduh saat ini.

Agama sejati adalah anti kekerasan, penuh toleransi, tidak memaksakan, penuh empati, menghargai dan sangat menghormati perbedaan, berimpit dengan semangat demokrasi esensial yang moralitas dan humanis, menyeru dan mendorong perbuatan kebajikan dan mencegah perbuatan munkar.

Agama yang sejati tidak pernah mengajarkan dan merekomendasikan kekerasan, kebencian tetapi mengajarkan kasih sayang dan cinta. Itulah Islam sejati, itulah Yahudi sejati , itulah Nasrani sejati, itulah Hindu dan Buddha sejati dan seluruh sekte sekte nya yang sejati. Sebab kata pepatah Cina klasik, "alat yang baik tetapi di tangan orang yang jahat, dapat menjadi alat yang jahat."

Bagaimanakah agama agar tidak menjadi radikal? Semua agama tidak mungkin dan tidak akan mengajarkan radikalisme, radikalisme agama adalah hanya terjadi akibat subyektifitas bebas penganut agama melihat dunia yang dirasakannya tidak adil.

Lalu mempengaruhi cara pikir dan interaksi bathin subjektifitasnya untuk menafsirkan dan memanfaatkan agama dalam cara dia merespon lingkungan hidup yang dia hadapi. Padahal agama sendiri tidak mengajarkan radikalisme.

agama mengajarkan ikhlas, sabar dan tawakkal dalam penderitaan karena kemiskinan dan penindasan, tetapi mengajarkan tawakkal dalam mencari jalan keluarnya yang beradab dan berkeadilan , proporsional, bukan dengan kekerasan.

Karena tingkat kesabaran, keikhlasan dan sikap tawakkal adalah sikap bathin yang dianjurkan dalam setiap ajaran agama. Hanya masalahnya setiap individu memiliki daya lentur yang beraneka ragam dalam daya adaptasi pada sikap ini ; ini adalah masalah individu dan masalah kelompok; bukan masalah doktrin agama.

Dari sini, asal usulnya munculnya radikalisme agama itu yakni ketidak adilan ekonomi, ketidak adilan politik, ketidak adilan informasi, ketidakadilan sosial. Pokoknya semua yang berbau ketidak adilan dalam bidang apapun selalu jadi lahan subur bagi radikalisme agama bagi mereka mereka yang terbatas dan tidak mampu melihat agama secara benar dan bertanggungjawab.

Hindari radikalisme agama dengan cara memahami dan mengamalkan agama yang benar. Semua agama mengajarkan perdamaian, kasih sayang, toleransi, empati, menghormati dan menghargai perbedaan, dan tidak memaksakan keyakinan dan keinginan pada orang lain.

Tetapi pada sisi eksternal harus diciptakan keadilan dalam semua lapangan kehidupan. Baik keadilan sosial, keadilan distribusi ekonomi, keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber sumber ekonomi, keadilan politik, keadilan hukum.

Kalau sudah tercipta situasi seperti ini, maka radikalisme agama akan mati dan lenyap. Selamat beraktivitas. Salam.(*)

TeropongKita adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #papua  #papua-tengah  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Digitalisasi Salah Satu Kunci Genjot Pertumbuhan Ekonomi

Oleh Uchok Sky Khadafi Aktivis 98, Direktur Eksekutif Center for Budget Analisys (CBA)
pada hari Selasa, 05 Nov 2024
Kondisi ekonomi global dalam beberapa tahun belakangan ini dihadapkan pada ketidakpastian. Selain dipicu perang Rusia-Ukraina, ketidakpastian ekonomi global juga terjadi imbas perang dagang antara ...
Opini

Blockchain Untuk Koperasi Indonesia

Sejak kemerdekaan, koperasi di Indonesia berkembang sebagai simbol ekonomi rakyat yang berbasis gotong royong, berperan penting dalam upaya mewujudkan kedaulatan ekonomi. Pada masa awal, koperasi ...