JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai bahwa isu Presiden Joko Widodo memakai jasa konsultan asal Singapura untuk bertemu Presiden Amerika Barrack Obama tidak tepat.
Hal itu mencuat setelah artikel Michael Buehler yang berjudul 'Waiting in the White House Lobby' banyak beredar ke publik.
"Pada dokumen services agreement antara Pareira International Pte Ltd dan R&R banyak yang tidak tepat informasi yang disampaikan yang digabung dengan ilmu mencocokkan. Karena dalam dokumen itu tidak ada satu kata pun yang merujuk pada pemerintah Indonesia," kata Hikmahanto saat dihubungi, Jakarta, Senin (9/11/2015).
Lebih lanjut, Hikmahanto mengungkapkan kalau dokumen tersebut tidak menyebut bagaimana hubungan antara Pareira International Pte Ltd dengan pemerintah Indonesia. Namun Michael Buehler menyimpulkan bahwa dokumen ini seolah atas permintaan pemerintah Indonesia.
"Padahal bisa saja Pareira disewa oleh Pebisnis Indonesia. Lalu rujukan terkait ruang lingkup kerja dari lobbyist tidak merujuk pada pertemuan Presiden RI dengan Presiden AS," ujarnya.
Oleh karenanya, Hikma menduga Michael Buehler merangkai artikelnya antara services agreement dengan informasi yang didapat dari berbagai pihak dari Indonesia. Atas dasar ini argumentasi yang hendak disampaikan adalah Presiden Jokowi tidak memegang kendali terhadap pemerintahan.
"Apa yang disampaikan oleh Michael banyak spekulasinya dan bertentangan dengan norma diplomasi antar negara. Kunjungan antar kepala pemerintahan dan kepala negara tidak dikenal 'broker' untuk mempertemukan. Semua diatur melalui chanel-chanel diplomatik dan pemerintahan," paparnya. (iy)