SUASANA batin saat Presiden Joko Widodo menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan berlaku mulai 18 November 2014 lalu, tentu beda dengan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Presiden Megawati Soekarnoputri melakukan hal yang sama.
Keputusan Presiden Jokowi tentu tidak serta merta diamini oleh rakyat yang tak berdaya menghadapi kebijakan yang tak berpihak kepadanya. Kendati, pemerintah sudah menyiapkan lunsum buat mereka dalam bentuk layanan kesehatan dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS), layanan pendidikan murah dan gratis dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta santunan buat keluarga miskin dengan kemasan Kartu Keluarga Sehat (KKS).
Dengan asumsi bahwa jika Jokowi segera berkonsultasi ke DPR, maka penerbitan KIS, KIP, dan KKS akan mendapat dukungan dan terbebas dari unsur melanggar Undang-Undang APBN. Namun, belum tentu DPR menyetujui kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebab, akar persoalan dan implikasinya berbeda.
Jika di-voting secara jujur dan bebas dari pengaruh kebijakan fraksi, mayoritas anggota DPR, termasuk dari Fraksi PDIP dan fraksi pendukung Jokowi lainnya, diyakini pasti menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, di saat harga BBM dunia sedang menurun drastis, dari US$103 menjadi US$ 83,72 per barrel, harusnya harga BBM tetap, kalau tidak ingin menurunkannya. Yang tidak transparan adalah, pemerintah mengunci rapat-rapat infomasi tentang berapa potensi surplus anggaran saat harga minyak dunia turun.
Ironi kedua, adalah, kebijakan Jokowi jelas-jelas bertentangan dengan janjinya saat kampanye PIlpres dulu. Ketika itu, berbagai kalangan wong cilik antusias mendukung dia karena dijanjikan tidak akan menaikkan harga BBM, dan PDIP pun mengamininya.
Sebab, kenaikan harga BBM khususnya membawa dampak negatif. Saat masih wacana, harga-harga kebutuhan bahan pokok sudah lebih dulu naik. Kenaikan harga BBM jelas menimbulkan efek domino. Harga barang dan jasa yang bersinggungan dengan masalah transportasi dipastikan naik. Kebutuhan primer yang secara langsung dialami masyarakat adalah seperti angkutan umum, barang-barang kelontong, sayur-mayur dan bahan pokok keluaga lainnya.
KIS dan KIP tidak bisa diuangkan, sedangkan uang KKS dapat diambil di kantor pos setelah membuka rekening lebih dulu. Masalahnya, apakah uang KKS yang akan diterima secara bulanan dan untuk sekian tahun itu mampu menutupi seluruh kenaikan harga-harga kebutuhan primer masyarakat.
Bagi DPR, ada banyak hal yang harus dikonfirmasi dari pemerintah, termasuk bagaimana implikasinya secara formal yuridis. Penilaian terhadap Presiden Jokowi adalah sudah tidak transparan dalam melakukan eksekusi kebijakannya. Toh, untuk memberantas mafia migas yang selama ini 'mencuri' subsidi pemerintah, tentu tidak harus dengan menaikkan harga BBM.
Jika tidak berpihak ke wong cilik, sesungguhnya berpihak kepada siapakah Jokowi sekarang? Atas nama rakyat, DPR bakal mengajukan hak angket dan interpelasi. Saat mana bahkan DPR melakukan impeachment? Pertanyaannya, apakah rakyat juga mendukungnya? (b)