KITA meyakini Faisal Basri orangnya bersih, sederhana dan tidak mewah. Bahkan lebih suka naik KRL (kereta listrik) atau bus Transjakarta. Lebih cepat dan bebas macet, walaupun harus sedikit berkeringat karena harus ngantre dan berdiri bergelantungan. Artinya, kita yakini, rekomendasi yang dibuat Faisal dn timnya tak terpengaruh oleh para mafia migas.
Hari Minggu (21/12/2014) dia bersama anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas (TRTKM) mengumumkan sejumlah rekomendasi menyangkut kebijakan subsdi dan perhitungan harga patokan bahan bakar minyak (BM) di Indonesia.
Di antara rekomendasi itu adalah menghentikan impor premium (RON/research octane number 88) dan menggantinya dengan memproduksi pertamax (RON 92) secara bertahap. Artinya, impor premium dihentikan dan diganti impor prertamax selagi Pertamina belum siap memproduksi sendiri secara optimal. Subsdi yang dikucurkan untuk pertamax bersifat tetap misalnya hanya Rp 500 per liter berapapun harganya.
Namun, di balik rekomendasi tersebut, ada yang diuntungkan dan dirugikan. Yang untung, pasti pihak asing yang ingin membangun sebanyak-banyaknya stasun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dengan ongkos yang sangat murah, karena hanya di kota-kota besar, tidak menyasar ke kota-kota atau wilayah luas di luar Jawa.
Dengan harga yang tak berselisih jauh dengan Pertamax, tentu saja masyarakat akan dengan suka rela dan suka cita membeli BBM dari SPBU asing yang katanya, kualitasnya lebih baik dari pertamax. Sementara itu, dalam jangka pendek, utang Pertamina akan membengkak untuk mengimpor pertamax dan membangun kilang yang baru dan berkapasitas memadai.
Dari sisi bisnis, dalam jangka panjang atau pendek, ceruk bisnis Pertamina jelas akan tergerus signifikan. Saat SPBU asing seperti Shell, Petronas, dan Total bisa menjual dengan harga pasar, pemerintah masih harus mengucurkan subsidi buat pertamax agar bisa bersaing dengan BBM asing. Pertamina juga harus mengucurkan anggaran untuk membangun kilang-kilang hingga menjangkau seluruh wilayah Indonesia, di pelosok sekalipun.
Tingginya angka impor BBM, pengurangan subsidi, maupun leluasanya SPBU asing membanjiri kota-kota besar, serta membuat bagaimana Pertamina tidak lagi menguasai tata niaga migas dalam negeri adalah bagian dari skenario mafia migas.
Di negara lain, Pertamina tetap dipertahankan menguasai tata niaga migas dalam negerinya. Di Indonesia, dengan alasan bertentangan dengan UU Anti Monopoli, tugas negara yang diemban Pertamina sedikit demi sedikit dipreteli hingga tak lagi menguasai pasar domestik. Jika demikian, kapan Pertamina bakal terbebas dari lilitan utang karena pemerintah membiarkan pasarnya ditelan asing. Saat ini utang Pertamina sebanyak Rp 288,4 triliun, sedangkan asetnya sendiri hanya Rp 135,2 triliun. (b)