TRAGEDI jatuhnya pesawat AirAsia QZ 8501 pada 28 Desember 2014 lalu ada hikmahnya. Terkuak sudah banyak persoalan atau misteri yang ada di lingkungan penerbangan sipil di Indonesia. Mulai dari jarangnya report cuaca yang dibuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) diambil oleh AirAsia sebagai panduan diizinkan tidaknya satu pesawat tinggal landas mengantarkan penumpang dari satu kota ke kota lain.
Persoalan lainnya adalah Kementerian Perhubungan menilai maskapai AirAsia melanggar izin terbang pada suatu rute, sementara itu, pihak maskapai menyatakan telah mengantungi izin terbang bagi pesawatnya secara rutin sesuai dengan jadwal yang diizinkan. Hal itu sudah berlangsung sejak Oktober 2014, hingga saat jatuhnya pesawat yang membawa 162 orang, termasuk penumpang dan awaknya.
Pada gilirannya, Kementerian Perhubungan menjatuhkan putusan mencabut izin terbang AirAsia di rute tersebut. Bahkan, buntutnya, perusahaan asuransi Alianz yang selama ini menjadi mitra AirAsia mengancam tidak akan membayarkan klaim asuransi kepada para penumpang pesawat dengan nomor penerbangan QZ 8501. Ditaksir sekitar Rp 1,2 miliar per orang. Dasarnya adalah UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Alasannya, pesawat itu sebetulnya tidak mengantungi izin terbang, setidaknya pada hari naas itu, karena cuaca sedang buruk.
Boleh jadi, kasus jatuhnya AirAsia di perairan Laut Jawa, tepatnya di perairan dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Selatan, menunjukkan adanya ketidakberesan atau compang-campingnya regulasi atau tata niaga penerbangan sipil kita. Mengapa baru sekarang 'pelanggaran' yang dilakukan AirAsia terkuak. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan di sektor penerbangan sipil kita.
Dengan terbongkarnya kasus di balik musibah jatuhnya QZ 8501 itu, diharapkan, sistem pengawasan terhadap bisnis di sektor itu akan kembali normal. Dengan demikian hal itu bakal mengurangi risiko musibah. kalaupun ada musibah, itu lebih disebabkan bukan oleh karena kelalaian mausia, tapi lebih pada adanya bencana alam yang disebabkan cuaca buruk.
Yang penting adalah bagaimana masyarakat masih percaya bahwa bisnis penerbangan ini masih menjanjikan mengingat begitu luasnya wilayah perairan Nusantara. Sarana transportasi udara merupakan pilihan yang tepat dan cepat untuk dijangkau berbagai wilayah dari Sabang hingga Merauke dari barat ke timur atau dari Rote Ndau di bagian selatan dan Talaud dari selatan ke utara.Itu sebabnya pula BJ Habibie menciptakan pesawat berpenumpang kecil CN 235, CN 295, N 219, maupun yang sekarang sedang dalam proses pembuatan pesawat jenis R-80 dan R-100. Persoalan penting dan mendesak lainnya adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan udara Indonesia dari tangan Singapura.(b)