JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Belum lama ini, Wakil Ketua DPD RI GKR Hemas membenarkan ada laporan dari para kepala daerah yang takut melaksanakan proyek daerah karena khawatir akan dikriminalisasi oleh para aparat hukum.
Yang menjadi sasaran kriminalisasi di daerah tidak hanya para kepala daerah. Saya kira bukan hanya kepala daerah, tapi juga pegusaha. Contohnya, perlakuan terhadap Tan Budiono, bos PT Benua Indah Group (BIG). Pengusaha yang pasang badan atas permasalahan yang timbul akibat tidak dikonversinya kebun plasma oleh bank pemberi kredit, justru harus menjalani proses pidana dengan tuduhan menggelapkan dana milik perusahaannya sendiri.
Dugaan kriminalisasi terhadap Budiono Tan berawal tahun 1991 ketika BIG (yang membawahi PT Antar Mustika Segara , PT Subur Ladang Andalan, PT Bangun Maya Indah, dan PT Duta Sumber Nabati) membangun Perkebunan Inti Rakyat – Transmigrasi (PIR-Trans) terhadap lahan perkebunan kelapa sawit seluas 21.954 Ha untuk 10.977 kepala keluarga yang menjadi petani plasma.
Dalam membuka lahan PIR-Trans tersebut PT. BIG menjadi penjamin (avails) atas kredit Investasi dari Bapindo sebagai bank yang ditunjuk oleh Pemerintah RI saat itu, dengan skema pendanaan 65% dari Bapindo dan 35% ditanggung oleh PT BIG.
Akibat terjadinya krisis moneter 1998, Bapindo dan beberapa bank lainnya merger menjadi Bank Mandiri. Hal ini berdampak terhadap skema pendanaan, yang berbalik menjadi 35% dari Bank Mandiri dan 65% ditanggung oleh PT. BIG, sehingga pada tahun 2000 kredit 4 anak perusahaan PT BIG mulai bermasalah. Bank Mandiri lalu menerapkan konsep bunga berbunga yang tidak wajar terhadap kredit BIG yang macet tersebut. Atas tindakan Bank Mandiri itu, BIG mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat.
Perkara tersebut berlanjut hingga keluarnya PK Mahkamah Agung Nomor 285.PK/Pdt/2010tanggal 27 September 2010, yang pada intinya Mahkamah Agung mengabulkan sebagian gugatan BIG dan menghukum BIG untuk membayar bunga dan hutang (inti dan plasma) kepada Bank Mandiri (eks Bapindo) dengan jumlah yang sudah direvisi dan tidak sebesar klaim Bank Mandiri sebelumnya.
Walaupun demikian sampai dengan tahun 2000, 4 anak perusahaan PT. BIG telah berhasil melakukan konversi lahan seluas 14.628 Ha kepada para petani plasma sebanyak 7.314 kepala keluarga.
Hingga tahun 2000, masih terdapat 3.663 petani plasma yang belum berhasil melakukan konversi lahan seluas 7.326 Ha yang dikarenakan penghentian kucuran dana dari bank akibat krisis moneter. Di sisi lain PT BIG tetap harus mengeluaran biaya yang tidak dapat ditunda dalam hal perawatan, pupuk, operasional dan lain-lain.
Sejak tahun 2000 hingga 2005, 4 anak perusahaan PT. BIG telah melakukan upaya restrukturisasi kredit untuk 3.663 petani plasma, tetapi tidak ditanggapi dan dikabulkan oleh Bank Mandiri, padahal jelas dalam Kepres 56 Tahun 2002 pada Pasal 6 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa “Dalam hal kreditur tidak dapat membayar tunai, debitur dalam memberikan perjanjian waktu pelunasan dengan pembebasan bunga dan denda. Jadi seharusnya Bank Mandiri menanggapi permohonan restrukturisasi yang diajukan oleh 4 anak perusahaan PT. BIG untuk 3.663 KK.
Dari 3.663 KK tersebut, terdapat 1.535 KK program PIR-TRANS yang sudah siap melaukan Konversi, dimana semua syaratnya sudah lengkap, termasuk PT BIG telah mengurus 1.534 sertifikat yang sudah jadi atas nama masing-masih kepala keluarga dari petani plasma.
Karena pertimbangan untuk mensukseskan program pemerintah sekaligus membantu para petani plasma, maka desakan dari 1.535 kepala keluarga tersebut ditanggapi secara baik oleh PT BIG dengan membuat Perjanjian Pra Kepemilikan pada tahun 2006.
Di dalam Perjanjian Pra Kepemilikan tersebut di dalamnya terkandung semacam pola kredit intern antara masing-masing petani plasma dengan 4 anak perusahaan PT. BIG, sebab dalam hal ini pihak Bank Mandiri tidak bersedia merestrukturisasi dan mengucurkan kredit untuk 4 anak perusahaan PT BIG.
Di dalam Perjanjian Pra Kepemilikan tersebut juga disertai dengan rembukaan rekening Escrow Account antara 4 anak perusahaan PT BIG dengan masing-masing petani plasma yang berjumlah 1.535 KK. Dana tersebut disimpan dalam rekening Escrow Account di Bank Danamon Cabang Ketapang.
Sejak adanya putusan PK tanggal 27 September 2010 tersebut, maka selama periode 1 Oktober 2010 – 31 Desember 2011, PT BIG menggunakan dana yang ada di rekening Escrow Account di Bank Danamon atas nama PT. Duta Sumber Nabati untuk kepentingan perawatan, pupuk dan operasional lain serta kewajiban untuk kepentingan perusahaan. Penggunaan dana ini dilakukan karena menurut putusan PK Mahkamah Agung 27 September 2010, BIG-lah yang bertanggung jawab membayar hutang inti dan plasma.
Pada saat itu saldo awal per 31 September 2010 yang ada di rekening Escrow Account Bank Danamon No 57883795 atas nama PT DSN adalah Rp 16.762.400.558,78, kemudian digunakan oleh PT BIG sebesar Rp 9.709.348.682,84. Dengan demikian saldo akhir per tanggal 1 Januari 2012 adalah Rp 7.053.051.875,94.
Kebijakan untuk menggunakan dana yang ada di dalam Rekening Escrow Account Bank Danamon No 57883795 atas nama PT. DSN tersebut, diperkuat oleh putusan Pengadilan Negeri Pontianak No : 329/Pdt.P/2012/PN.PTK tanggal 20 Juni 2012 yang pada pokoknya menyatakan dana tersebut merupakan milik BIG dan merupakan dana cadangan yang dapat digunakan untuk membayar kewajiban hutang yang timbul atas kredit untuk membiayai pemeliharaan kebun kelapa sawit PIR-Trans.
Namun anehnya justru penggunaan dana cadangan tersebut oleh Tan Boediono selaku direktur utama PT BIG dianggap sebagai tindakan melawan hukum yang melanggar pasal 372 jo pasal 378 KUHAP, sehingga yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka.Pada hari Sabtu, 10 Januari 2015 jam 4.00 WIB dinihari Tan Budiono ditangkap petugas dari Polda Kalbar dan langsung dibawa ke Pontianak.Sangkaan Penyidik Polda Kalimantan terhadap Tan Boediono yang menggelapkan dana rekening Escrow Account di Bank Danamon sangat tidak mendasar.
Tindakan Tan Boediono selaku Dirut PT. BIK sudah sesuai dengan ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No: 19/4/KEPDIR tanggal 4 Juni 1986 terutama pada angka 3.3.3. yang berbunyi : “Dana dari escrow account dapat ditarik oleh perusahaan inti yang penggunaannya untuk membiayai pembiayaan kebun dan membayar kewajiban-kewajiban kredit yang timbul atas kredit yang dialihkan kepada petani peserta yang bersangkutan.
Selain itu penggunaan dana tersebut juga dibenarkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No : 6/12/PBI/2004 terutama Pasal 2 ayat (2) huruf c, yang menyebutkan : “Perusahaan inti dapat menarik dan escrow untuk membiayai pemeliharaan kebun plasma dan membayar kewajiban KI Kebun Plasma yang timbul atas dasar KI Kebun Plasma yang akan dialihkan kepada petani bersangkutan.” (b)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #kriminalisais pengusaha oleh aparat hukum