INDONESIA adalah contoh sukses program liberalisme ekonomi, sekarang banyak disebut neo-liberalisme (neolib)yang diajukan oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Sebentar lagi, Indonesia bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) akan mendeklarasikan Masyarakat EkonomiASEAN (MEA) tahun ini.
Negara dunia ketiga lainnya seperti Malaysia, Thailand, juga Korea Selatan, dan Brazil juga menjadi sasaran empuk untuk menancapkan tonggak neolib. Namun, mereka cepat sadar, enggan hanya dijadikan pasar bagi produk-produk negara besar. Sedangkan, produk dalam negeri diamputasi agar tak mampu bersaing dengan produk asing yang masuk.
Melalui paket bantuan yang tertuang dalam letter of intens (LoI), IMF berhasil mengambil alih kedaulatan ekonomi Indonesia. LoI dijabarkan dalam 50 paket yang disusun dalam empat paket kebijakan ekonomi. Yaitu, kebijakan moneter meliputi 10 poin, kebijakan anggaran pemerintah (14 poin), restrukturisasi sektor finansial (17 poin), dan reformasi struktural (21 poin).
Profesor Didiek J Rachbini mengibaratkan, paket LoI yang harus ditandatandangani Presiden Soeharto di akhir masa jabatannya ketika itu adalah produk GBHN yang dibuat MPR. IMF ibarat MPR-nya. MPR Republik Indonesia sendiri dalam keadaan mandul karena tak lagi punya kekuasaan menyusun GBHN setelah diadakannya amandemen UUD 1945 hingga empat kali.
Dampak dari kebijakan ekonomi itu antara lain ditandai bangkrutnya Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) sebagai perusahaan negara, karena pemerintah dipaksa memutuskan bantuannya, padahal, memasuki tahun ke-22, IPTN akan menuai untung besar lewat pesanan pembelian pesawat domestik maupun untuk luar negeri.
Pemerintah dipaksa untuk membuat krangka swastanisasi BUMN dengan klasifikasi mana yang akan dijual, direstrukturisasi, dan mana yang akan ditutup. Sebanyak 12 BUMN sehat dipaksa untuk go public hingga saham mayoritasnya tak di tangan pemerintah. Saat era Presiden BJ Habibie, Menteri BUMN Tanri Abeng menolak permintaan IMF tersebut.
Tanri bahkan bertekad merestrukturisasi BUMN yang ada, namun tidak akan dijualnya. Alasannya sangat logis. Saat BUMN sudah sehat setelah direstrukturisasi, jika dijual, asinglah yang akan menikmati hasilnya dan pemerinah akan gigit jari. Yang dilakukan Tani adalah justru akan memprovitisasinya agar bisa menghasilkan keuntungan bagi negara, bukan bagi asing.
Ironisnya, begitu rezim Presiden BJ Habibie lengser dan digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri arus tuntutan IMF agar pemerintah menjuali BUMN makin kencang. Padahal, di negara lain, memiliki BUMN yang besar, sehat dan untung adalah berkah. Di era Megawati, penjualan BUMN terkenal dengan program privatisasi. Ketika itu, BUMN yang lepas adalah Indosat dan Telkomsel. BCA yang terkena rush, berhasil disehatkan dengan uang rakyat, seterusnya dijual murah ke asing.
Cerita tentang BUMN, lebih dulu ditulis Ishak Rafick dalam bukunya yang berjudul BUMN Expose: Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilai 2.000 Triliun Lebih (April 2010). Buku itu membeberkan berapa modal yang dibutuhkan agar negeri ini dan BUMN yang ada mampu menjadi negara yang maju dan besar, seperti Tiongkok. (b)