Opini
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) pada hari Rabu, 26 Jul 2017 - 17:00:21 WIB
Bagikan Berita ini :

Pemerintah (dan MetroTV) Memburu HTI Seperti PKI

69IMG_20170201_194417.jpg
Asyari Usman (Wartawan Senior) (Sumber foto : Istimewa )

Setelah membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), pemerintah sekarang memburu para anggota dan aktivis gerakan dakwah ini, sebagaimana dulu orang-orang PKI diburu karena kejahatan mereka terhadap negara, bangsa, dan umat Islam. Kini, pemerintah mengancam akan memecat PNS yang bersimpati kepada HTI.

Pemerintah mengatakan, kalau mereka mau “dibina” dan menandatangani perjanjian, maka mereka boleh terus menjadi PNS. Pemerintah juga menggerebek kampus-kampus untuk mencari dosen-dosen yang terindikasi HTI. Mirip seperti perburuan orang PKI. Dulu masyarakat merasa PKI memang pantas dibuat seperti itu karena mereka membunuhi para ulama.

Tidak jelas gagasan siapa yang dipakai oleh pemerintah dalam melakukan pengejaran terhadap PNS simpatisan HTI. Tetapi, ada sejumlah pejabat yang menyatakan kegeramannya. Termasuklah Dajrot Saiful Hidayat, Plt Gubernur DKI, yang menyarankan agar kewarganegaraan orang HTI dicabut saja.

Langkah pemerintah memburur anggota HTI rupanya menaikkan libido (semangat) tak suka Islam di MetroTV. Mereka bagaikan mengerahkan segenap tenaga dan waktunya untuk “memburu” para aktivis HTI. Memburu di sini saya artikan sebagai upaya yang berlebihan untuk tetap membuat berita tentang HTI “floating” (tetap ada), setiap hari. Bisa tercium bahwa dewan redaksi MetroTV menjadikan HTI sebagai “a must item” (topik wajib).

Setiap hari sejak dikeluarkan Perppu 2/2017, MetroTV terus berusaha menghadirkan bahasan tentang HTI. Tampak juga alokasi “air time” (waktu siar) untuk isu HTI disediakan selalu panjang. Di acara Editorial Rabu pagi (26/7/17), stasiun televisi ini membahas ulang tentang “apa yang harus dilakukan terhadap para PNS yang bersimpati pada HTI”.

Di acara Editorial ini, Leonard Samosir (pembawa acara), mewawancarai jurubicara Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto. Samosir antara lain mengajukan pertanyaan, “bagaimana ujung dari penanganan PNS yang terlibat HTI”. Pertanyaan ini juga disodorkan kepada koleganya sesama MetroTV yang duduk di studio. Terkesan si pembawa acara ingin mendapatkan jawaban, “akan dipecat” atau “harus dipecat”. Sudah sangat ingin mereka melihat PNS dipecat karena HTI.

MetroTV tidak menyembunyikan kebenciannya yang menumpuk tingggi terhadap HTI. Mereka tidak menghiraukan bahwa keluarga besar HTI adalah umat Islam. Saya kurang tahu apakah stasiun TV ini tidak mengerti bahwa sikap seperti itu akan terukir di hati umat Islam.

Kalau Anda, MetroTV, mengambil garis parsial (bias) terhadap umat Islam, sah-sah saja. Silakan. Tetapi, parsialitas yang Anda tunjukkan itu bukan sekadar tak suka Islam. Anda sekaligus telah melakukan “demonizing” alias penjelekan umat Islam. Itu terlihat dari talk show current affairs (sajian berita) Anda. Bisa kok diamati dari cara Anda menyajikan berita atau pembahasan tentang HTI. Ketahuan dari “wording” wawancara Anda, begitu juga narasi naskah secara umum.

Kalau “kebijakan” itu Anda lanjutkan, konsekuensinya sangat berat. Bahwa Anda ikut membangun tembok polarisasi yang menghadapkan umat Islam di satu pihak, dan “orang lain” di pihak seberangnya. Sadar atau tidak, Anda memupuk pertentangan antara dua kubu. Terlihat sekali Anda ingin umat Islam tergiring ke satu pojok. Sangat serius. Deadly serious!

Ini terbukti dari opini yang meluas di kalangan umat Islam bahwa MetroTV sering dirasakan berat sebelah dan mengada-ada. Sampai-sampai populer julukan, maaf, Metrotivu untuk Anda.

Saya kurang tahu apakah Pak Surya Paloh memperhatikan sikap anak buahnya di MetroTV. Bisa jadi dia tak punya waktu untuk mengamati perilaku tak suka Islam yang telah berkembang lama di sana. Semoga saja murni tidak tahu. Tetapi, kalau Pak Surya Paloh tahu dan membiarkannya, kita semua sangat prihatin. Sulit dipercaya kalau beliau seperti itu.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...