Opini
Oleh Don Tino (Kader Muda Partai Gerindra) pada hari Sabtu, 28 Okt 2017 - 22:13:14 WIB
Bagikan Berita ini :

Kaum Muda, Kemiskinan dan Kolonialisme Baru

73IMG_20171028_221141.jpg
Don Tino (Kader Muda Partai Gerindra) (Sumber foto : Istimewa )

Sebanyak 400 ribu pemuda Indonesia yang bertitel sarjana menjadi pengangguran (BPS, Februari 2015). Kaum muda nir pekerjaan. Kombinasi yang mengerikan. Dikemudian hari tentu akan berpotensi menjadi masalah sosial.

ASEAN Economic Comunity (AEC) diprediksi akan menciptakan 1,9 juta lapangan kerja baru pada tahap awal pelaksanaannya di Indonesia. Prediksi yang keliru. Negara ini justru terancam krisis pengangguran kaum muda (youth unemployment crisis). Kolonialisme Baru semakin mengemuka seiring meningkatnya jumlah pengangguran. Tingkat literasi yang semakin memprihatinkan memberikan sumbangan signifikan bagi kekacauan sosial.

Terpapar data Februari 2016 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja tidak penuh (jumlah jam kerja kurang dari 35 jam per minggu) sebanyak 36,33 juta orang. Sementara jumlah penganggur penuh sebesar 7,02 juta orang. Pengangguran tersebut didominasi oleh kaum muda (usia 15-24 tahun) yakni sekitar 19,3 persen dari jumlah angkatan kerja Indonesia yang mencapai 127,6 juta orang atau sekira lebih dari 4 juta orang, dan cenderung terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Dari jumlah pengagguran kaum muda tersebut, hanya 9 persen saja yang memiliki gelar lulusan universitas. Sisanya berpendidikan SMA sederajat ke bawah.

Kontras dengan data tenaga kerja asing di Indonesia. Kepala Subdit Analisis dan Perizinan Tenaga Kerja Asing Kemenakertrans Yanti Nurhayati Ningsih mencatat bahwa pada tahun 2016, sebanyak 74.183 tenaga kerja asing bekerja di Indonesia. China menempatkan posisi pertama dengan jumlah tenaga kerja paling banyak yaitu 21.271. Disusul Jepang 12.490, Korea Selatan 8.424, India 5.059 dan Amerika Serikat sebanyak 2.812. Jumlah ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun seiring mengalirnya investasi dari negara bersangkutan.

Sekira 30 persen dari total penduduk Indonesia adalah anak-anak muda. Jumlah tenaga produktif yang tinggi. Tanah yang kaya dan subur. Keduanya mengandung berkah yang bermanfaat bagi banyak orang, tentu jika dikelola dengan bijaksana. Namun dibalik itu semua masih menyimpan banyak ancaman. Negara-negara dan perusahaan-perusahaan multinasional mana yang tak tertarik dengan kekayaan alam ditambah jumlah penduduk sedemikian besar seperti Indonesia?! Bermacam siasat akan dilakukan demi hektaran tanah dan berlimpahnya tenaga kaum muda.

Pada 2009, The Economist membuat sebuah laporan bahwa paska krisis 2008 terdapat sekitar 37-49 juta hektare yang telah berhasil diambil-alih sejak tahun 2006. Lund University, Swedia, pada 2014 menguatkan hal tersebut. Dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah di mana Cina (bertransaksi dengan 33 negara), Inggris (30 negara) dan AS (28 negara) muncul sebagai pemain utama yang rajin membeli tanah dengan negara-negara di Afrika dan Asia sebagai destinasi (Andre Barahamin, 'Perang Tanah: Wajah Baru Neoliberalisme di Sektor Pangan dan Energi', 22 Februari 2016).

Kepada seluruh Kaum Muda. Jangan pernah kehilangan harapan. Mari Bung rebut kembali.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Peran Intelijen Di Negeri Sendiri Sebagai Problem Solving Bukan Problem Taking

Oleh Sri Radjasa
pada hari Rabu, 02 Apr 2025
Era orde baru meninggalkan legacy intelijen, dengan stigma sebagai alat represif penguasa terhadap kelompok oposisi dan menyebar teror untuk menciptakan rasa takut publik. Kekuasaan orde baru, telah ...
Opini

Disabilitas Menteri atau Menteri Disabilitas

Indonesia masih sering memandang curriculum vitae sebagai simbol status sosial, bukan sebagai rekam jejak kompetensi. Banyak pejabat yang ingin menjabat kembali demi membangun citra sebagai tokoh ...