Opini
Oleh Batara R. Hutagalung pada hari Kamis, 09 Nov 2017 - 22:18:51 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengenang Pertempuran Heroik di Surabaya 28 Oktober 1945

82IMG_20171109_221618.jpg
Batara R Hutagalung (Sumber foto : Istimewa )

Di era perang asimetris, sejarah menjadi senjata yang sangat ampuh untuk menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan budaya sesuatu bangsa yang terjajah. Penulisan sejarah dikaburkan, diputar-balik dan bahkan dipalsukan, yang di kemudian hari mengakibatkan timbulnya kontroversi dan perdebatan sengit mengenai kebenaran akan sejarah bangsa tersebut.

Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini, sebagai akibat dari pengaburan dan pemalsuan sejarah yang dilakukan oleh mantan penjajah dan antek-anteknya. Pengaburan dan pemalsuan penulisan sejarah dilakukan melalui beberapa tahapan:

Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.

Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek moyangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain.

Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang dalam kolonialisasi.”
(Lihat: http://politik.kompasiana.com/2013/10/03/apa-dan-bagaimana-asymmetric-warfare-berlangsung-598100.html)

Untuk membalikkan peran pelanggar HAM dan pengawal HAM, maka: Keempat, semua Negara bekas penjajah, kecuali Amerika Serikat, telah menghapus hukuman mati, dan kini menyatakan bahwa hukuman mati adalah pelanggaran HAM. Kemudian Negara-negara bekas penjajah, dibantu antek-anteknya di Negara-negara bekas jajahan, memoles citra mantan penjajah sebagai Negara-negara yang “mengajarkan HAM”, bahkan sebagai pengawal/pengawas HAM.

Kelima, secara - terstruktur , sistematis dan massif-, bekas Negara-negara jajahan yang adalah korban dari genosida (pembantaian etnis) kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi, selalu dipojokkan dengan isu pelanggaran HAM, walaupun “master mind” dari berbagai konflik kekerasan di Negara-negara bekas jajahan, adalah para mantan penjajah.

Adagium ‘sejarah ditulis oleh pemenang’ ternyata tidak selalu benar. Ini terjadi dalam penulisan sejarah Nusantara (sampai 16.8.1945) dan sejarah Indonesia (mulai 17.8.1945). Bangsa Indonesia adalah bangsa pemenang yang berhasil mempertahankan kemerdekaan dalam perang melawan agresi militer yang dilancarkan oleh mantan penjajah, Belanda, bersama sekutunya di Perang Dunia II.

Namun kemudian dibuat menjadi pecundang oleh bangsa sendiri yang menjadi kakitangan mantan penjajah dan kekuatan asing.

Sejak berkuasanya Orde Baru tahun 1965, tampak kecenderungan penulisan sejarah di buku-buku sekolah didikte kembali oleh mantan penjajah, yang pelaksanaannya dilakukan oleh kakitangan dan antek-anteknya di Indonesia. Terjadi penyimpangan penulisan sejarah.
(Lihat artikel saya: 'Pembodohan Sejarah Nasional Berkelanjutan Harus Segera Dihentikan’ di: http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2016/05/hentikan-pembodohan-sejarah-nasional.html)

Sejak berakhirnya orde baru, timbul pemalsuan-pemalsuan peristiwa sejarah, yang sangat marak di berbagai media sosial, termasuk di youtube dan Wikipedia. Pemalsuan sejarah artinya, mengarang peristiwa yang tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi.

Generasi yang buta sejarah kini berada di pucuk pimpinan pemerintahan dan militer. Ketidak-tahuan mengenai sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia dapat berakibat fatal untuk kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terutama apabila Presiden, para menteri dan para penyelenggara negara serta para perwira tinggi (Pati) TNI tidak mengetahui sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia yang sebenarnya, akan berdampak pada pengambilan keputusan dan kebijakan yang tidak sesuai dengan tujuan mendirikan NKRI.

Latar belakang sejarah Nusantara menjadi dasar untuk para pendiri Republik Indonesia dalam merumuskan UUD ’45 yang disahkan pada 18.8.1945, namun sejak tahun 2002 telah dirubah menjadi UUD ’45 PALSU.

Hal ini diperparah dengan anasir-anasir di Indonesia yang sejak ratusan tahun telah bekerjasama dengan penjajah, dan mereka yang hingga tahun 1949 masih berperang di pihak penjajah untuk menghancurkan NKRI.
(Lihat Catatan Akhir Tahun 2015: ’MEREKA YANG TIDAK PERNAH PUNYA NASIONALISME’ di http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2015/12/mereka-yang-tidak-pernah-punya.html)

Generasi Buta Sejarah tidak mengetahui, bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari negara manapun, melainkan melalui perjuangan panjang, dan dalam mempertahankan Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sekitar Satu Juta Rakyat Indonesia Tewas, sebagian besar adalah pemuda Pribumi.

Leluhur bangsa Indonesia di berbagai Kerajaan dan Kesultanan di Nusantara selama lebih dari 250 tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Setelah UU Perbudakan dihapus, para leluhur naik tingkat menjadi warga kelas tiga, alias hanya sebagai jongos di Negeri sendiri.

Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan agar menjadi Tuan di Negeri Sendiri, antara tahun 1945 – 1949 para pemuda/pelajar Pribumi rela meninggalkan bangku sekolah untuk maju ke medan perang dan bahkan rela mengorbankan nyawa dengan semboyan Merdeka atau Mati.

Tanggal 28 Oktober setiap tahun, bangsa Indonesia memeringati hari yang bersejarah, yang merupakan tonggak terpenting dalam pembentukan Negara Bangsa (Nation State).

Di akhir Kongres Pemuda ke II tanggal 28 Oktober 1928 tersebut, para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda), mengeluarkan satu keputusan yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Pada hari tersebut para Pemuda PRIBUMI dari berbagai wilayah di jajahan Belanda menyatakan kehendak untuk mendirikan suatu Negara Bangsa, (Nation State) dan meninggalkan kerajaan dan kesultanan yang berdasarkan etnisitas/kesukuan.

Untuk mewujudkan cita-cita hidup di Tanah Air Indonesia, masih memerlukan waktu 17 tahun.

Pada tanggal 28 Oktober juga ada satu peristiwa yang “terlupakan” dalam catatan sejarah, yaitu peristiwa yang sangat heroikyang dilakukan oleh para Pemuda Pribumi di Surabaya, yang telah menjadi rakyat dari Negara Republik Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat.

Sangat disayangkan peristiwa heroik ini yang seharusnya menjadi kebanggaan seluruh bangsa Indonesia, terutama kebanggaan para pemuda pribumiIndonesia, tidak ditulis di buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah di Indonesia.

Mengenai peristiwa ini hanya ada di beberapa buku yang ditulis oleh pelaku sejarah dan di buku yang ditulis oleh beberapa purnawirawan perwira Inggris, a.l. Kolonel Laurens van der Post dan Kolonel A.J.F. Doulton, yang menulis mengenai Brigade 49 di bawah komando Brigjen AWS Mallaby yang tewas di Surabaya tanggal 30 Oktober 1945.

Perlu diketahui, bahwa pemerintah Belanda, yang hingga kini 2017 tidak mau mengakui de jure kemerdkaan RI 17.8.1945, awal tahun 2017 mennyatakan, menyiapkan dana sebesar 4,1 juta Euro (sekitar Rp. 64 milyar, katanya untuk melakukan penelitian mengenai semua yang terjadi selama masa dekolonisasi” di Nederlands Indie antara tahun 1945 – 27 Desember 1949.

Kata “dekolonisasi” ini sangat menghina bangsa Indonesia, karena dari sudut pandang belanda, Indonesia baru diberi “hadiah kemerdekaan” pada 27 Desember 1949.

Pemerintah Belanda sangat peduli terhadap generasi muda Belanda. Hingga sekarang, di buku-buku sekolah di Belanda tidak ada informasi mengenai kekejaman Be;landa selama masa penjajahan, perbudakan dan selama agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Sejak kami mulai tahun 2002 sangat gencar menggugat dan menuntut pemerintah belanda atas berbagai kejahatan, a.l. pembantaian di desa Rawagede, pemerintah Belanda mulai gerah, dan sekarang berusaha memanipulasi penulisan sejarah, untuk pembenaran agresi militer mereka di Republik Indonesia.

Dari sudut pandang belanda, yang terjadi antara tahun 1945 – 1949 adalah kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan oleh para perusuh, perampok dan ekstrmis yang dipersenjatai oleh Jepang. Oleh karena itu, agresi militer yang mereka lakukan disebut sebagai “aksi polisional.”

Pemerintah Belanda sangat memikirkan penulisan sejarah untuk generasi mjuda Belanda, dan mempersiapkan tulisan sejarah yang sesuai dengan selera dan kepentingan Belanda.

Apabila pemerintah Indonesia juga memikirkan penulisan sejarah untuk generasi muda Indonesia, maka Pemerintah Indonesia harus menolak rencana Belanda mengarang cerita sejarah untuk generasi muda Belanda.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Badai Kecil Golkar dan Bahlil yang Jumawa

Oleh Ariady Achmad (Politisi Senior Partai Golkar, Mantan Anggota DPR RI dan Sahabat Dekat Gus Dur
pada hari Kamis, 14 Nov 2024
Golkar adalah partai politik yang memiliki jejak panjang dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Jatuh bangun, pahit getir telah dilalui sehingga menjadi salah satu partai politik yang matang dan ...
Opini

Prabowo dan Dilema yang Tidak Mudah Diselesaikan

Prabowo Subianto berada di persimpangan jalan yang kompleks dalam hubungannya dengan Joko Widodo (Jokowi) dan Gibran Rakabuming. Kedua figur ini, terutama Gibran yang dikenal dengan julukan Fufufafa, ...