DAHULU, di masa penjajahan, rakyat Indonesia diadu satu sama lain. Itu adalah politik devide at impera yang dipraktikkan pemerintahan kolonial Belanda. Antar-kerajaan dibuat saling bermusuhan. Di dalam satu kerajaan dibuat kubu-kubuan hingga menimbulkan perang saudara.
Dengan cara demikian, pihak penguasa akan dengan mudah mengendalikan pemerintahan dan memonopoli perdagangan. Contohnya, Perjanjian Giyanti pada 1755. Akibat ulah VOC, kongsi dagang Belanda, Kerajaan Mataram terbelah dua, Keraton Surakarta dengan rajanya Paku Buwono III dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan mengangkat Pangeran Mangkubumi menjadi raja Sultan Hamengku Buwono I.
Belakangan, Kerajaan Surakarta dan Ngayogyakarta masing-masing juga pecah menjadi dua. Di Surakarta, berdirilah Keraton Mangkunegaran. Di Yogyakarta, berdiri Keraton Pakualaman.
Dalam pemerintahan pasca kemerdekaan, politik adu domba juga masih dipraktikkan. Di pemerintahan maupun di sektor perekonomian atau perdagangan. Contohnya, di saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kaum imperialis dan kapitalis asing berhasil mengadu domba antar-anggota kabinetnya.
Ketika itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad berseteru menentang kebijakan Menteri Pedagangan Marie Pangestu yang getol impor garam, padahal produk garam lokal melimpah. Alhasil, Fadel yang dikenal sebagai penentang faham kapitalis dicopot oleh SBY. Sebab, SBY adalah pengikut faham kapitalis, walaupun sebenarnya Indonesia sudah memiliki faham ekonomi Pancasila.
Dan, politik adu domba kembali terjadi di saat pemerintahan Jokowi-JK berkuasa dengan Kabinet Kerja-nya. Agar kepentingan penguasa dan kaum kapitalis tak terganggu, DPR dan partai politik pun diacak-acak. Perseteruan partai pendukung Jokowi-JK, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berhadap-hadapan dengan Koalisi Merah Putih. Masih ingatkah kita dengan munculnya DPR tandingan yang dibuat oleh KIH?
Setelah konflik itu reda, kini praktik pecah belah kembali dilakukan pemerintahan Jokowi-JK melalui operatornya Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly terhadap dua partai 'oposisi' anggota KMP, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Yasonna pun melegitimasi kepengurusan PPP dan Partai Golkar buatan yang mendukung pemerintah.
Di tingkat Jakarta, masyarakat pun diadu-adu agar mendukung langkah DPRD. Satu lagi dimobilisasi untuk menyokong Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dukungan yang membabi buta dengan tendensi melawan korupsi itu. Kenapa dibilang membabi buta? Karena langkah Ahok memberantas korupsi dilakukan dengan melanggar hukum dan tanpa etika sopan santun.
Jika konflik seperti di PPP dan Golkar, juga perseteruan DPRD dengan Ahok tak segera diselesaikan, dikhawatirkan muncul konflik horisontal di tingkat akar rumput. Tawuran antarwarga, tindakan anarkhis terjadi di mana-mana akibat pemerintah dan aparat tak mampu menyelesaikan persoalan secara hukum.
Hukum dapat diperjualbelikan atau jadi alat pemerasan. Contohnya, tanpa perikemanusiaan, berbulan-bulan polisi dan jaksa menahan nenek Asyani. Sang nenek tak mampu membayar agar bebas dari tahanan atas tuduhan mencuri kayu.
Benarkah demokrasi itu boleh dibangun dengan tanpa sopan santun dan menurun kehendak politik sesaat, serta tak berperikemanusiaan, bukan berdasarkan kaedah hukum yang berlaku? (b)