JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Plt Ketua DPR, Fadli Zon, menginginkan Indonesia mengambil peran lebih besar di dalam ASEAN guna menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya di Myanmar.
"Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dan juga pemimpin di ASEAN, saya kira harus betul-betul serius menanggapi persoalan ini," kata dia, dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Sabtu (23/12/2017).
Menurut dia, ASEAN masih belum berfungsi dengan baik dalam menangani kasus Rohingya, bahkan organisasi Asia Tenggara itu cenderung menutup mata karena adanya sistem konsensus.
Untuk itu, politisi Gerindra itu menegaskan, Indonesia sebagai pemimpin di ASEAN harus mampu memainkan perannya dalam melakukan diplomasi terkait penyelesaian konflik Rohingya secara permanen.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak ASEAN segera membahas secara spesifik mengenai penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh etnis Rohingya.
Siaran pers Kontras, Sabtu, menyatakan pihaknya meminta ASEAN untuk membuat satu buah Pertemuan Istimewa untuk membahas secara spesifik penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya.
Hal tersebut, lanjutnya, termasuk mengenai pertolongan humaniter, akses keadilan dan kekuatan alternatif untuk meredam konflik yang terjadi di daerah tersebut selain kekuatan militer yang represif.
Kemudian, pemerintah Indonesia dinilai harus mengambil inisiatif untuk menyusun beberapa rekomendasi dalam penyelesaian konflik yang terjadi kepada etnis Rohingya, termasuk penanganan kelompok minoritas Rohingya yang menjadi "internally-displaced persons" atau terbengkalai di beberapa pos transit pengungsi di beberapa Negara anggota ASEAN dan Australia.
Ketiga, Kontras mendesak pemerintah Indonesia harus segera meminta Negara Myanmar untuk menarik pasukan keamanan di Rakhine yang pada akhirnya menimbulkan ancaman dan rasa takut lebih lanjut terhadap etnis tersebut.
Menurut LSM tersebut, hal itu penting guna meminimalkan potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Rohingya.
Kontras mengeritik hasil KTT ASEAN ke-31 Filipina pada November 2017 menyesalkan pertemuan yang dihadiri oleh seluruh pemimpin pemimpin ASEAN dan beberapa pemimpin negara lain tersebut tidak membahas secara menyeluruh mengenai peran dan resolusi ASEAN mengeni krisis Rohingya.
Pertemuan pemimpin negara-negara kawasan Asia Tenggara itu dinilai lebih mengedepankan isu yang berkenaan dengan code of conduct Laut Cina Selatan, terbukanya kerja sama ekonomi baru dengan Rusia, ancaman terorisme, tekanan ancaman nuklir dari Korea Utara, dan juga kunjungan pertama dari para pemimpin baru di Uni Eropa dan PBB. (icl)