Persekusi itu terjadi lagi. Persekusi internasional itu menimpa Ustad Abdul Somad (UAS). Kejadiannya di Hongkong (HK) sepekan yang lalu. Tanpa dasar dan alasan yang jelas, mungkin karena dugaan yang berbau fitnah, Hongkong “menolak” kedatangan UAS. Ada banyak dugaan dan spekulasi tentang sebab penolakan HK kepada UAS. Dugaan yang paling kuat ialah, “Ahok Effect”.
Tampaknya HK “ikut-ikutan” menaruh dendam kepada orang-orang yang selama ini dianggap sebagai penyebab ‘kekakalan Ahok’ dalam Pilkada Jakarta setahun lalu. Dendam dan kemarahan itu masih begitu kuat, sampai harus ‘menolak’ kedatangan UAS tanpa alasan yang jelas. Hingga hari ini alasan penolakan itu masih nihil dan belum ada konfirmasinya.
Kejadian yang hampir sama (bahkan lebih parah), juga menimpa Jenderal Gatot Nurmantyo, pada saat ditolak masuk Amerika Serikat (AS), padahal kunjungan itu atas dasar undangan dari pejabat AS kepada Panglima TNI (ketika masih dijabat Gatot). Dua (2) peristiwa di atas terjadi dalam rentang waktu yang sangat berdekatan, dan sama-sama tak ada konfirmasi maupun klarifikasi yang jelas tentang sebab penolakan tersebut, setidaknya belum ada penjelasan resmi dari pemerintah.
UAS dan Gatot, menurut saya adalah tokoh yang sangat dekat dengan umat Muslim di Indonesia, terutama UAS. Ustad asal Riau ini bukan hanya dekat, bahkan salah satu ikon dari Aksi 212. Ustad ini memegang spirit Aksi 212. Aksi damai ummat Muslim Indonesia, sedangkan Jenderal Gatot terkesan parallel dengan aksi tersebut. Masalahnya adalah, Aksi 212 dan aksi-aksi ummat Muslim inilah yang menyebabkan kekalahan Ahok pada Pilkada Jakarta itu, sementara HK sudah berharap banyak dan menaruh harapan besar (mungkin sudah sangat yakin) dengan kemenangan Ahok. Akibatnya, HK kecewa berat, dendam dan marah luar biasa kepada tokoh-tokoh muslim di Indonesia. HK yang selama ini dianggap modern dan demokratis, ternyata belum mampu memahami demokrasi itu sendiri. Tampak dengan nyata, HK belum bisa menerima kekalahan itu.
Persekusi lain yang sebelumnya menimpa UAS ialah, persekusi di Bali. Jarak persekusi domestik dan internasional itu tidak begitu jauh, hanya berjarak paling lama satu bulan sebelumnya. Persekusi di Bali ini tentu saja lebih “kampungan” jika dibanding persekusi HK. Di Bali, ada teriak-teriak, ada segerombolan orang beringas, bahkan bawa golok (khabarnya). Yang paling “aneh” ada tuntutan dari para persekutor agar UAS baca Pancasila, nyanyi lagu kebangsaan, cium bendera kebangsaan.
Tuntutan para persekutor ini jelas aneh dan ngawur, sebab UAS itu bukan orang asing di Indonesia. Ia bukan berasal dari China daratan atau China HK. UAS itu orang Indonesia asli. Ia lahir dari orang Indonesia asli, lahir, bersekolah, remaja dan tumbuh besar di Indonesia, punya KTP dan Pasport Indonesia. Warna kulitnya yang sedikit gelap itu bahkan sama gelapnya dengan kulit orang-orang yang melakukan persekusi itu.
Bahkan wajah, warna kulit dan kurus-kurusnya mirip dengan Presiden Jokowi. Lho jadi kok para persekutor ini nuntut yang aneh-aneh. Para persekutor ini rupa-rupanya masih terobsesi dengan “masa kanak-kanak dulu”, masih terobsesi dengan jaman old. Romantika saat di SD atau SMP dulu ternyata masih jadi obsesi. Tuntutan yang bersumber dari obsesi seperti ini jelas saja ngawur-ngawuran, apalagi nuntutnya kepada UAS yang nota bene adalah pribumi (indigenous). Ah, dasar norak, kampungan...!
Kejadian aneh-aneh dan ngawur sebagaimana di atas inilah yang saya maksudkan sebagai “Ahok Effect”. Bukan tidak mungkin akan terulang lagi pada masa mendatang, terutama menimpa para ulama atau tokoh-tokoh muslim di Indonesia. Bahwa ternyata, demokrasi yang hari ini diterapkan di Indonesia masih menunjukkan anomalinya dan kecenderungan rusak. Demokrasi yang dipraktekan dalam pemilu dan pemilukada di Indonesia itu ternyata masih galau.
Sekelompok orang yang kalah dalam pemilukada akhirnya membuat jargon-jargon dan secara munafik seakan-akan mencintai jargon tersebut, padahal sebaliknya. Orang-orang yang terkena “Ahok Effect” ini terlihat aneh perilakunya dan dengan mudah pula menuduh yang aneh-aneh. Perilaku yang paling aneh itu, dapat terlihat seperti orang yang lagi mabuk inek. Seperti orang lagi tripping.
Orang yang lagi tripping ini kan banyak berhalusinasi. Orang ini sedang merasa berjalan “sendirian”, dan dia merasa hanya perjalanannya yang paling indah. Dia tidak menyadari bahwa sesungguhnya dia cuma “geleng-geleng kepala sambil dengar musik dalam diskotik”. Esok hari setelah dia sadar dengan dunia nyata, halusinasinya muncul lagi. Apa itu…? Takut ketangkap Restik.
Halusinasi akibat dari “Ahok Effect” yang menimpa kalangan domestik itu bermacam ragamnya. Namun yang paling mencolok adalah munculnya perilaku sosial sebagian kecil orang yang merasa paling nasionalisme dan tanpa rasa malu menuduh orang lain tidak nasionalis. Merasa paling Pancasilais, paling Indonesianis, paling toleran, dan pada saat yang sama (tanpa rasa malu) menuduh ulama/tokoh muslim dengan tuduhan-tuduhan keji. Tuduhan yang paling keji sering dilontarkan pasa saat ini : ‘intoleran’, ‘anti Pancasila’, ‘anti kebhinekaan”, dan lain sebagainya. Seenaknya dewe nuduh. Dasar latteung….! Pargabus…!.
Terakhir saya mau sampaikan saran kepada Otoritas HK (lokal) maupun RRC, bahwa sebaiknya anda segera sadar dari halusinasi “Ahok Effect” tersebut, sebelumnya semuanya jadi terlambat. Anda perlu pahami bahwa kami umat Muslim Indonesia, tidak hanya menghormati Ustad Abdul Somad, tapi lebih dari itu, kami juga “menyayanginya” sebagaimana saudara kami. Ini keyakinan dalam keagamaan kami, dan baiknya anda menghormati hal itu. Kami juga tau, tokoh-tokoh Agama (Biksu) yang datang ke negara kami dari berbagai negara, tidak pernah kami larang dan kami ganggu sedikitpun, karena pengajaran agama/dakwah bagi kami adalah kemuliaan.
Kami dengan mudah juga mengetahui berapa banyak imigran gelap asal China daratan yang bekerja disini, berapa orang China daratan yang bekerja di proyek Meikarta, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, bekerja di tambang Nikel Morowali Sulawesi, bekerja membangun Pembangkit Listrik. Tiap malam dapat kami saksikan bagaimana ratusan penduduk asal RRC hilir mudik dari bandara Cengkareng menuju Morowali.
Kami juga dengan mudah dapat mengetahui berapa keuntungan yang anda peroleh dari “hutang” negara kami. Dengan mudah kami dapat mengetahui berapa banyak investasi dan modal yang anda tanamkan di negara kami, dan akhirnya nanti kami juga tau berapa banyak uang hasil korupsi di negara kami yang mengalir ke bank-bank di negara anda. Setelah tahun 2019, semua urusan yang kami sebutkan di atas akan kami tinjau ulang bahkan mungkin kami hentikan, jika halusinasi yang kami sebutkan di atas masih terus Anda pelihara.
Pekerjaan evaluasi, tinjau ulang atau mungkin penghentian proyek-proyek di atas dengan mudah dapat kami lakukan. Tergantung hasil Pemilu 2019. Dan saya mampu untuk melakukannya, tidak perlu menunggu saya jadi Presiden. Cukup hanya jika saya jadi “pembisik Presiden”.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #