Oleh Denny JA pada hari Rabu, 09 Apr 2025 - 13:54:40 WIB
Bagikan Berita ini :

DARI PUING-PUING PERANG MENUJU CAHAYA PERADABAN: Indonesia Belajar dari Korea Selatan

tscom_news_photo_1744181680.jpg
(Sumber foto : )

Di tahun 1953, ketika suara tembakan terakhir dalam Perang Korea akhirnya mereda, yang tertinggal di Korea Selatan bukanlah kemenangan, melainkan puing-puing.

Tanahnya koyak, kotanya hangus, rakyatnya tercerai-berai. Negara itu nyaris tak memiliki apa pun kecuali semangat bertahan.

Ia lebih miskin dari banyak negara Afrika. Produk domestik brutonya hampir nihil. Jalan-jalan rusak, industri belum terbangun, dan sebagian besar penduduk hidup dari bantuan luar negeri.

Dalam lanskap seperti itu, tak banyak bangsa yang masih menyimpan harapan.

Namun di bawah reruntuhan dan abu, sebuah benih kecil ditanam: mimpi akan negeri yang bangkit. Tegak bukan hanya dari perang, tetapi dari masa lalu yang berat menuju masa depan yang bermartabat.

Itu bukan mimpi dalam bentuk puisi, tapi visi dalam bentuk rencana.

Presiden Park Chung-hee, yang lahir dari latar militer dan pengalaman krisis, meletakkan fondasi pembangunan lewat Rencana Lima Tahun.

Tapi ia tak sekadar memerintah; ia merancang masa depan seperti seorang arsitek membayangkan kota dari kertas kosong.

Yang ia lihat bukan tanah yang tandus, melainkan negeri yang mungkin berdiri megah suatu hari nanti.

Korea Selatan pun memilih jalan yang jarang ditempuh: industrialisasi agresif, ekspor sebagai nadi ekonomi, dan pendidikan sebagai napas kolektif.

Mereka tahu, tak ada jalan pintas dari kehancuran menuju kemajuan. Tapi mereka juga tahu: stagnasi adalah pilihan yang lebih pahit.

Yang menarik dari perjalanan Korea Selatan bukan hanya keberhasilannya mengubah angka-angka ekonomi.

Tapi bagaimana mereka membangun peradaban baru yang menyatu antara etos kerja Timur, teknologi Barat, dan semangat kolektif yang tak mudah patah.

Mereka pernah nyaris kehilangan segalanya. Tapi dari kehilangan itu, lahir kehendak yang lebih kuat dari logam.

Krisis finansial Asia pada tahun 1997 menjadi ujian besar kedua. Saat mata uang won runtuh dan korporasi besar ambruk satu per satu, bangsa ini tak memilih saling menyalahkan.

Mereka menyingsingkan lengan baju. Emas-emas pernikahan disumbangkan. Ribuan keluarga menyerahkan tabungan mereka kepada negara.

Sebuah pemandangan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan teori ekonomi, tapi lebih dekat pada puisi pengorbanan.

Hari ini, Korea Selatan berdiri sebagai kekuatan global. Tapi yang lebih penting: ia menjadi simbol bahwa masa lalu tak pernah bisa memenjarakan masa depan.

Dari negeri yang porak-poranda, lahir pemimpin teknologi, musik, film, dan inovasi. Dari reruntuhan, muncul Samsung dan Hyundai.

Dari desa-desa miskin, lahir universitas kelas dunia dan kota cerdas yang bersinar di malam hari.

Bagi Indonesia, ini bukan sekadar kisah dari negeri jauh. Ini adalah cermin yang menatap wajah kita sendiri.

Indonesia tidak kalah dalam perang, tapi ia masih berjuang dalam pertempuran melawan ketimpangan, korupsi, dan birokrasi yang lamban.

Kekayaan alam kita melimpah, tapi daya saing kita rapuh. Kita punya bonus demografi, tapi belum berhasil menciptakan sistem pendidikan yang menyulut api kreativitas.

Dibandingkan Korea Selatan, kita justru memiliki lebih banyak keberuntungan: jumlah penduduk lebih besar, lahan lebih luas, sumber daya lebih kaya.

Namun sejarah tak pernah berpihak pada yang beruntung, melainkan pada yang bersungguh-sungguh.

Apa yang bisa kita pelajari dari Korea Selatan? Bukan hanya teknologinya, bukan hanya strategi ekonominya, tapi jiwanya.

Sebuah bangsa yang membangun bukan karena tak ada luka, tapi justru karena luka itu menjadi alasan untuk bangkit.

Indonesia perlu berani menyusun peta besar. Bukan hanya peta ekonomi, tetapi juga peta nilai: di mana martabat manusia menjadi pusat, pendidikan bukan sekadar soal ijazah.

Pembangunan bukan hanya gedung tinggi, tetapi juga kualitas hidup. Kita butuh mimpi baru, bukan sekadar target pertumbuhan.

Mimpi yang menyentuh jantung bangsa, yang menjadikan anak petani bisa bermimpi menjadi ilmuwan, dan seniman bisa percaya bahwa budayanya akan dijunjung, bukan dipinggirkan.

Jika Korea Selatan bisa memulai dari kehancuran dan membangun harapan yang kini dirayakan dunia, Indonesia pun bisa. Tapi hanya jika kita mulai hari ini.

Tidak dengan tergesa-gesa. Tapi dengan tekun. Tidak hanya dengan kebijakan, tapi juga dengan karakter.

Peradaban tak dibangun dalam lima tahun. Ia disulam perlahan, lewat generasi yang mencintai negerinya bukan dengan retorika, tapi dengan kerja yang tak terlihat.

Tapi kita punya modal yang tak terukur: Jiwa gotong royong yang pernah menyatukan 17.000 pulau. Juga semangat Bandung yang pernah
mengguncang kolonialisme.

Kita miliki pula DNA kreatif yang terpatri dalam batik, gamelan,
hingga algoritma start-up muda di SCBD.

Bukan saatnya meratapi apa yang tak kita miliki,
Tapi menata ulang apa yang sudah ada di bawah kaki.
Seperti Korea yang mengubah han (kesedihan kolektif)
menjadi hallyu (gelombang budaya).


Kita bisa menyulam Pancasila dari slogan menuju sistem nilai yang hidup dalam anggaran,
kurikulum, dan ruang rapat direksi.

Di sini, di Nusantara, teknologi Fourth Industrial Revolution
bisa bertemu dengan kearifan "Tri Hita Karana" di mana kemajuan tak mengorbankan
keseimbangan.

Mungkin kelak, di satu sore yang sunyi di tahun 2045, seseorang akan menulis:

Pernah ada bangsa yang belajar dari luka bangsa lain.
Dan dari sana, ia menemukan dirinya sendiri.

Bukan di masa lalu.
Tapi di masa depan yang ia tulis sendiri,
dengan tangan yang bersih dan hati yang jernih.

Ujian pertamanya adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi.***

Jeddah, 9 April 2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement
Lainnya
Opini

Presiden Trump dan Perang Tarif

Oleh Andi Rahmat, Anggota DPR RI 2004-2009/2009-2014
pada hari Kamis, 10 Apr 2025
Sebetulnya tidak ada yang aneh dari perilaku kebijakan ekonomi Presiden Trump. Penggunaan instrumen tarif sebagai alat proteksionisme perdagangan sudah sering dipergunakan oleh beberapa Presiden ...
Opini

Tarif 84 Persen, Dunia pun Tertawa

Di dunia politik internasional, ada momen-momen bersejarah yang membuat kita tertawa, seraya bertanya: "Ini nyata atau cuma episode tambahan dari acara komedi situasi?" Dan saat ini, ...