Opini
Oleh Yap Hong Gie pada hari Sabtu, 03 Mar 2018 - 13:53:48 WIB
Bagikan Berita ini :

Introspeksi Diri Nasional

98IMG-20180303-WA0014.jpg
Yap Hong Gie (Sumber foto : Istimewa )

Handoko: "Saya Akan Terus Berjuang Melawan Rasisme Tanah"

Ia menilai Instruksi Kepala Daerah DIY No. K 898/I/A/1975 rasis karena menghilangkan kesempatan kepada kelompok etnis tertentu untuk memiliki tanah dengan status hak milik.
¤ Warga Keturunan di DIY Minta Diskriminasi Kepemilikan Tanah Dihapus.

Berdasarkan Surat Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY tertanggal 5 Maret 1975, nomor K.898/I/A/1975 pemerintah DIY mengatur proses pelepasan hak atas tanah bagi warga non pribumi.

Adapun alasan WN etnis Tionghoa tidak boleh memiliki tanah karena hal-hal sbb:

1. Sejarah politik Tionghoa.
Semua itu tak lepas dari benang sejarah di masa revolusi fisik kemerdekaan, tepatnya pada 1948. Saat masih panas-panasnya Agresi Militer II Belanda (19 Desember 1948), mayoritas warga Tionghoa justru berpihak pada Belanda.
Ini pula yang kemudian jadi pertimbangan Sri Sultan HB IX, ayah dari Sultan HB X.
Pada 1950 setelah Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia secara umum dan Yogyakarta pada khususnya, terdengar akan adanya isu eksodus warga Tionghoa keluar Yogya. Mereka takut terjadi “pembalasan” dari masyarakat pribumi, lantaran saat Belanda masih menduduki Yogya, golongan Tionghoa cenderung pro-Belanda dengan memberikan berbagai bentuk sokongan. Namun dengan bijak, Sultan HB IX coba merangkul dan berpesan agar mereka tidak perlu takut.
“Tinggallah di Yogya. Tapi maaf, saya cabut satu hak Anda. Yaitu hak untuk memiliki tanah,” tegas Sultan HB IX.

https://amp.tirto.id/mengapa-nonpribumi-tak-boleh-punya-tanah-di-yogya-bQZl

2. Penguasaan Lahan oleh WNI Keturunan.
Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk, disampaikan Hafid Abbas, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta menolak gugatan atas Surat Instruksi Wakil Gubernur (Wagub) DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Putusan ini dibacakan majelis hakim dalam sidang di PN Yogyakarta pada Selasa (20/2/2018).

http://www.suratkabar.id/79830/news/gugatan-ditolak-nonpribumi-dilarang-punya-tanah-di-jogja/amp

Affirmative Policy atau Kebijakan Afirmatif yang dianut oleh Pemda DIY, bisa saja dianggap sebagai suatu kebijakan yang bersifat diskriminatif ataupun rasis bilamana negara dalam kondisi normal.

Namun begitu negara atau bangsa dalam keadaan krisis atau sedang mengalami kesejangan sosial ekstrim dan terancam oleh para predator ekonomi, dimana kebijakan afirmatif tersebut diterapkan untuk melindungi kepentingan umum yang lebih besar, seperti melindungi masyarakat ekonomi lemah, melindungi keistimewaan DIY, menjaga kebudayaan dan keberadaan Kasultanan Yogyakarta, keseimbangan pembangunan dsb, yang merupakan bentuk tanggung jawab Pemda DIY kepada warga masyarakat DIY dan kepada Kesultanan Jogjakarta, maka
norma2 seperti diskriminasi dan HAM bagi masyarakat dan pemerintah setempat menjadi tidak relevan atau bukan prinsip lagi dan kebijakan/tindakan itu adalah sah dan bisa dibenarkan!
Dinegara manapun juga "National Security" menjadi prioritas paling atas.

Dalam hal ini Affirmative Policy adalah kebijakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari aksi pengaruh Liberalisasi; proteksi terhadap segala bentuk kemarukan dan pelanggaran yang difasilitasi dengan uang.
Apalagi kalau ditinjau dari segi "track record" (jejak rekam) mainstream etnis Tionghoa yang pro-Belanda, pada waktu perjuangan menghadapi Agresi Militer II Belanda 1948 maupun kurangnya peran etnis dalam sejarah perjuangan bangsa, ini yang sering "dilupakan" oleh saudara-saudara etnis Tionghoa.

Sebaliknya, pihak-pihak yang selalu meraung-raung didiskriminasi justru tidak pernah mempersoalkan perilaku sesama etnis predator ekonomi yang membobol keuangan proyek/bank dan melarikan hasil jarahannya ke luar negeri, mereka yang melakukan penggusuran dan penguasaan berjuta-juta hektar lahan, yang menciptakan kesenjangan sosial - ekonomi yang semakin lebar dan tajam.

Seandainya, ulangi, seandainya warga etnis Tionghoa Yogya berhasil memenangkan perkara tuntutan kepemilikan tanah di DIY, apakah yakin mereka akan aman dan nyaman tinggal dan akan diterima oleh masyarakat Yogyakarta?
"Wishfull Thingking" ... berkhayal aja ...

Oleh karena itu, alangkah baiknya bila saudara-saudara etnis belajar dari sejarah sosial politik Tionghoa di Indonesia, melakukan konsolidasi dalam rangka INTROSPEKSI DIRI NASIONAL.
Tidak cuma menuntut hak saja, tetapi juga melaksanakan kewajiban sebagai WN yang berintegritas, rutin menjalankan tanggung jawab sosial yang berkesinambungan.

Hal ini penting dalam mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap generasi penerus etnis Tionghoa dalam proses menjadi jati diri bangsa Indonesia.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Badai Kecil Golkar dan Bahlil yang Jumawa

Oleh Ariady Achmad (Politisi Senior Partai Golkar, Mantan Anggota DPR RI dan Sahabat Dekat Gus Dur
pada hari Kamis, 14 Nov 2024
Golkar adalah partai politik yang memiliki jejak panjang dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Jatuh bangun, pahit getir telah dilalui sehingga menjadi salah satu partai politik yang matang dan ...
Opini

Prabowo dan Dilema yang Tidak Mudah Diselesaikan

Prabowo Subianto berada di persimpangan jalan yang kompleks dalam hubungannya dengan Joko Widodo (Jokowi) dan Gibran Rakabuming. Kedua figur ini, terutama Gibran yang dikenal dengan julukan Fufufafa, ...