Musim pendaftaran dan penerimaan siswa baru Tahun Ajaran 2018 sedikit terguncang oleh polemik pemalsuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) alias surat miskin. Polemik ini mencuat di Jawa Tengah.
Seperti diberitakan salah satu media massa nasional, Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Kota Semarang mengaku banyak menerima pengaduan tentang dugaan pemalsuan penerbitan SKTM. Mereka mengaku miskin, padahal memiliki rumah dan mobil. Surat miskin abal-abal itu digunakan untuk mendaftar sekolah favorit melalui kuota siswa miskin.
Entah, kata apa yang tepat untuk menyebut perangai para pemalsu surat miskin itu. Sesak dada ini saat mengetahui, mereka yang tidak miskin berpura-pura miskin untuk mengambil hak orang miskin.
Apakah fenomena SKTM palsu mencerminkan situasi kekinian? Situasi, dimana standar moral mulai membingungkan dan menjadi obrolan usang. Entahlah.
Namun, hati kecil saya selalu percaya bahwa standar moral tak pernah membingungkan. Jika tidak salah, maka benar. Jika tidak benar, maka salah. Itu lah silogisme standar moral yang hingga kini saya yakini.
Jika kuota siswa miskin hanya untuk orang miskin, maka yang tidak miskin jangan mengambil. Komitmen untuk tidak mengambil yang bukan haknya itulah yang saya sebut standar moral. Dan, menurut saya, itu tidak membingungkan, tidak pula seperti obrolan usang.
Sikap mengambil yang bukan haknya sudah banyak terjadi di masyarakat. Bahkan, kekeliruan ini semakin diterima sebagai keniscayaan. Hari demi hari dilakukan hingga tak terlihat lagi bahwa itu memang kekeliruan.
Kenapa itu terjadi? bisa jadi ini soal keteladanan. Para elite, politisi, dan pihak-pihak yang seharusnya menjadi teladan semakin alpa untuk menunjukkan keteladanan tentang standar moral.
Lihat saja, para elite yang terjerat korupsi, justru mampu tersenyum kendati telah berompi oranye KPK. Apakah ini teladan standar moral? Entahlah.
Anggaran negara yang seharusnya untuk kemaslahatan umat, malah jadi bancakan oknum pejabat. Apakah ini teladan standar moral? Sekali lagi, entahlah.
Aturan larangan eks koruptor ikut nyaleg yang seharusnya didukung, justru ramai-ramai ditentang. Apakah ini teladan standar moral ? Entahlah.
Pisau hukum yang seharusnya juga tajam ke atas, kerap kali sengaja ditumpulkan. Apakah ini teladan standar moral? Jawaban saya masih sama, entahlah.
Yang jelas, dalam logika saya, ketika para elite tak lagi mengindahkan standar moral, maka ketika itu pula masyarakat akan menirunya. Jika sudah begini, maka mana yang benar: masyarakat menjadi pelaku kekeliruan atau sebaliknya, mereka justru korban kekeliruan? Mohon maaf jika kembali saya katakan: entahlah
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #ariadyachmad