Kemarin saya menemani 2 anak saya dan keluarganya ke sebuah destinasi wisata terkenal di Prigen, Jawa Timur. Kami dibuat takjub oleh dua hal : kemajuan infrastruktur jalan tol yang dikebut penyelesaiannya menjelang Natal dan Tahun Baru 2019, dan keramaian kawasan-kawasan wisata di masa liburan akhir tahun ini.
Soal infrastruktur jalan tol. Pengguna jalan tol boleh dikatakan adalah mobil pribadi, sementara bus umum hampir tidak saya lihat, kecuali bus-bus wisata. Jadi penikmat jalan toll adalah warga negara pemilik mobil pribadi dan wisatawan, namun kurang bermanfaat bagi warga negara umumnya. Bahkan kota-kota kecil seperti Porong yang dulu cukup hidup ekonominya -seperti warung-warung makan-, kini relatif terkucil karena tidak dilewati oleh arus warga negara penikmat jalan tol.
Antrean panjang juga terjadi di ruas _toll exit and entrance_ karena pengguna toll harus membayar melalui kartu e-toll. Kelancaran yg dinikmati pengguna tol harus di kompensasi oleh antrian panjang di gerbang tol.
Saat layanan angkutan umum bagi wongcilik terpuruk hidup segan mati takmau selama 20 tahun terakhir ini, pembangunan infrastruktur jalan toll justru mendorong ketimpangan atau ketidakadilan konsumsi energi perkapita masyarakat. Mobilitas wong cilik justru makin terpuruk jika tidak mandeg. Ini menjelaskan angka kemiskinan yang relatif stagnan atau turun perlahan, sementara warga pemilik mobil pribadi justru makin kaya karena mobilitasnya makin tinggi.
Tingkat konsumsi energi perkapita nasional kita sekitar 700 liter setara minyak pertahun. Ini hanya sekitar 15% dibanding Jepang dan Eropa, atau cuma 10% dibanding AS. Namun di Indonesia, konsumsi energi perkapita yang rendah ini diperburuk oleh sebaran yang buruk. Warga pemilik mobil (dan tinggal di apartemen kota-kota besar di Jawa) boleh jadi telah mencapai tingkat konsumsi energi seperti orang Jepang (5 ribu liter setara minyak pertahun), tapi warga wong cilik yg tidak mampu memiliki mobil pribadi di Jawa (apalagi di desa dan pulau-pulau kecil di luar Jawa) mungkin hanya mengkonsumsi energi sekitar 200 liter setara minyak pertahun. Daerah-daerah terbelakang ini bukan daerah tertinggal, tapi daerah yang ditinggalkan.
Pada saat pemerintah terobsesi oleh infrastruktur angkutan darat melalui pembangunan jalan tol, kurang memperhatikan infrastruktur perhubungan laut seperti kapal, maka sistem logistik nasional di negara kepulauan ini juga semakin tidak efisien. Kita makin terperosok kedalam angkutan moda jalan (pribadi) tunggal ( _single mode trap_ ) yang tidak efisien, polutif, tidak berkelanjutan serta tidak adil.
Jalan sejatinya adalah ruang publik. Seharusnya tidak diprivatisasi. Jadi harus dibangun dengan dana APBN. Jika dibangun melalui hutang lalu diswastakan, maka manfaatnya bagi publik makin tidak signifikan, mungkin hanya _trickling down_ seperti mantra neolib itu.
Sebagai catatan penutup, perlu disadari bahwa pertama, untuk negara kepulauan, kapal harus dipandang sebagai infrastruktur, bukan hanya pelabuhan. Membangun kapal sama dengan membangun jalan. Kedua, setiap investasi publik hanya akan _value for money_ bagi masyarakat luas jika memenuhi 2 syarat : pertama, birokrasi yang bertanggungjawab atas investasi publik tersebut bersih tidak koruptif. Kedua, operatornya kompeten dan profesional. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka investasi publik ini hanya _value for monkey_ saja.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #proyek-infrastruktur