Jumat lalu, Jerome Powell, Chair dari the Fed membuat pernyataan : the Fed akan ” bersabar“ dalam menaikkan tingkat bunga di AS. Dan seperti yang saya duga , dalam tulisan saya bulan Desember lalu, mata uang emerging economies termasuk rupiah terhadap US dollar menguat secara signifikan. Pasar keuangan menjadi positif. Saya tak akan terkejut bila arus modal akan kembali lagi mengalir ke EM economies termasuk Indonesia. Rupiah dan pasar keuangan akan mendapat dampak positif. Tentu ini menggembirakan buat kita. Pesta kembali dimulai.
Namun saya ingin mengingatkan sejak dini : krisis atau gejolak pasar keuangan umumny dimulai dari masuknya arus modal portfolio secara drastis akibat dari penurunan tingkat bunga the Fed di Amerika Serikat yang mencari imbal yang lebih tinggi di EM.
Arus modal yang masuk, dalam jangka pendek memang mendorong perekonomian EM, namun ia tak berkesinambungan. Ketika the Fed melakukan normalisasi
kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga, maka terjadi arus modal keluar. Pasar keuangan terguncang, nilai tukar jatuh, terutama di negara-negara yang defisit transaksi berjalannya dibiayai oleh portfolio.
Saya ingin mengatakan bahwa kita harus berhati-hati. Arus modal yg akan masuk ini satu hari akan berbalik meninggalkan Indonesia. Mengapa?
Pertama, masalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) kita belum terselesaikan. Defisitnya masih meningkat, dan yang paling menjadi masalah ia dibiayai oleh portfolio, yang setiap waktu dapat pergi jika Fed kembali lagi menaikkan bunga. Atau ia bisa pergi jika ada kejutan eksternal lain.
Kedua, tingkat pengangguran di AS sudah semakin rendah dan tingkat upah mulai naik. Implikasinya: satu waktu inflasi akan naik, dan Fed harus menaikkan bunga.
Ringkasnya: satu hari Fed harus menaikkan bunga lagi.
Artinya kita memiliki resiko bahwa rupiah dan pasar keungan akan terguncang lagi. Kita memang masih rentan.
Apa yang harus dilakukan? Pemerintah harus melakukan pendalaman pasar keuangan (financial deepening), agar
pasar obligasi dan modal kita tak tergantung kepada pembiayaan eksternal. Caranya mendorong lebih banyak investor lokal. Berikan insentif atau buat aturan
agar BUMN, Dana pensiun, asuransi, Dana Haji dan retail untuk menempatkan investasinya dalam obligasi pemerintah.
Pemerintah juga bisa menerapkan reverse Tobin Tax. Jika dalam Tobin Tax, arus modal masuk jangka pendek dikenakan pajak, maka dalam reverse Tobin Tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor
melakukan re-investasi keuntungannya untuk jangka panjang.
Selain itu ciptakan instrumen atau produk pasar keuangan agar orang Indonesia juga memiliki opsi untuk menempatkan investasi portfolio dalam mata uang asing nya di Indonesia (on shore). Lebih baik orang menempatkan investasi portfolionya dalam mata uang asing on shore ketimbang orang menempatkannya di luar negeri (of shore), karena tidak adanya produk atau instrument dipasar keuangan yang tersedia. Ketersediaan berbagai instrumen pasar keuangan ini akan meningkatkan pasokan dollar di dalam negeri. Selain itu tentu yang utama, kita harus memperbaiki iklim investasi.
Dan yang paling penting didalam jangka menengah panjang, kita harus kembali menggerakan ekspor manufaktur kita dan meragamkan produk dan tujuan ekspor kita. Studi saya dan Rahardja menunjukkan bahwa pendorong utama
ekspor kita adalah produk dan pasar lama. Penemuan baru? Kurang dari lima persen. Bahkan kontribusi produk baru untuk pasar yang baru dalam pertumbuhan ekspor kita
nyaris tak ada. Artinya kita memang tak berubah banyak. Disini dibutuhkan inovasi dan perbaikan kualitas sumber daya manusia.
Tanpa ini, situasi 2018 akan berulang. Saya ingat kelakar Prof Carmen Reinhart dari Harvard University dalam sebuah obrolan informal di Henrietta’s Table di kawasan Harvard Square beberapa tahun lalu: “Tiga kata paling berbahaya — dan paling sering di ucapkan oleh pembuat kebijakan — ketika melihat arus modal masuk adalah “this time is different”. Pembuat kebijakan akan berkata, “ Lihatlah investor percaya kepada kita! Pasar uang membaik! Kali ini akan berkesinambungan. Kali ini berbeda (this time is different). Namun sejarah berulang, arus modal jangka pendek yang masuk dengan deras adalah awal dari gejolak pasar keuangan.
Indonesia memang berhasil melalui gejolak keuangan tahun 2013 (taper tantrum) dan tahun 2018 lalu. Langkah pemerintah dan Bank Indonesia untuk memilih stabilitas diatas pertumbuhan ekonomi terbukti efektif. Saya kira kita harus memberikan apresiasi kepada pemerintah dan Bank Indonesia. Kebijakan yang hati-hati dari pemerintah dan Bank Indonesia telah membuat kita mampu mengatasi tahun 2018 yang sulit. Namun tentu kita tak bisa terus menerus defesive. Kita tak ingin mengulang cerita yang sama lagi. Kita tak ingin mengulangi kesalahan dengan menganggap bahwa arus modal yg masuk, rupiah yg menguat, pasar keuangan yg bergairah ini akan berbeda dengan yang fenomena yang sebelumnya. Di awal tahun ini, saya Ingin mengingatkan: This time is (not) different.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #dolar