Opini
Oleh Ochen pada hari Minggu, 28 Apr 2019 - 13:12:41 WIB
Bagikan Berita ini :

Menghakimi Politik Pasca Kebenaran

tscom_news_photo_1556431961.jpg
(Sumber foto : Ist)

Politik pasca-kebenaran ( _post-truth_) disebut juga politik pasca-fakta adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Selain itu, poin topik pidato ditegaskan berkali-kali tanpa mendengarkan balasan yang berbobot. Pascakebenaran berbeda dengan kebiasaan menantang dan mencari kelemahan kebenaran.

Pascakebenaran justru menempatkan kebenaran di posisi kedua. Meski pascakebenaran dianggap sebagai masalah modern, ada kemungkinan bahwa ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan politik, tetapi kurang terkenal sebelum kehadiran Internet.

Pada tahun 2016, "post-truth" terpilih sebagai Oxford Dictionaries" _Word of the Year,_ karena merebak semasa referendum Brexit dan liputan media mengenai Pilpres A.S.

Perkembangan politik pascakebenaran mulai di perpolitikan Amerika Serikat, Australia, Britania Raya, Cina, India, Jepang, Rusia, Katalunya, Spanyol, dan Turki, serta di berbagai bidang debat karena didorong oleh perpaduan siklus berita 24 jam, keseimbangan palsu dalam laporan berita, dan pemasyarakatan media sosial.

Para pengamat politik di Indonesia yang rata-rata memiliki lembaga survey yang direkomendasi KPU sedang menggunakan frasa "pasca-kebenaran" sebagai tombak penikam paling ampuh untuk menggeser pencapaian yang diperoleh kubu Paslon 02 pasca-Pilpres 17 April 2019 lalu.

Mereka terhenyak dengan hasil perolehan suara Pilpres bagi Paslon 02 yang hampir mencapai 64 persen. Hal ini tentu "menyakitkan" karena membantai habis prediksi _quick count_ mereka yang menempatkan paslon 01 sebesar sekitar 54 persen dan paslon 02 sekitar 45 persen.

Perspektif politik pasca-kebenaran yang dipakai para pengamat dan pemilik lembaga survey untuk menghajar kubu 02 lebih pada emosi dibanding rasio, kelihatannya berat sebelah. Mereka lupa bahwa di kubu 01, hal yang sama (pengarusutamaan emosi dan repetisi pidato) pun berlaku. Lalu pertanyaannya, apa yang salah dari mereka yang memilih emosi dibanding mereka yang memilih rasio? Lagi pula dengan memilih rasio, dimanakah prestasi petahana yang bisa dirasionalisasikan?

Dalam novel _Nineteen Eighty-Four,_ George Orwell membayangkan sebuah negara yang mengganti catatan sejarah setiap hari agar pas dengan tujuan propaganda saat itu. Hemat saya, penguasaan atas media _mainstream,_ lembaga survey dan semua kekuatan negara, mestinya kubu petahana tidak perlu risau. Penggunaan semua kelengkapan negara saja sudah merupakan bentuk propaganda yang sangat kuat untuk memenangkan pertandingan ini. Namun kenyataannya kubu petahana terkesan berkilah dan bermanuver dengan berbagai dalih, seolah tak percaya dengan hasil yang mereka peroleh. _Last but not least,_ emosionalisasi politik itu wajar dan harus. _So what_ gitu lho !

Ciputat, masih pagi banget 280419

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Pelemahan Nilai Tukar Rupiah perlu Jalan Tengah

Oleh Ajib Hamdani (Analis Kebijakan Ekonomi Apindo)
pada hari Rabu, 22 Jan 2025
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Memasuki Bulan Januari  2025, kondisi ekonomi nasional dihadapkan dengan tantangan berupa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Pergerakan nilai tukar hampir ...
Opini

Debt Switch Surat Utang Negara Melanggar Undang-Undang, Diancam Pidana Penjara 20 Tahun

Sepuluh tahun terakhir, kondisi keuangan negara semakin tidak sehat. Utang pemerintah membengkak dari Rp2.600 triliun (2014) menjadi Rp8.700 triliun lebih pada akhir 2024.  Yang lebih ...