JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --KeputusanGubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atas penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) di Pulau C dan D Reklamasi terus disoal.
Pasalnya, Anies yang pada Pilkada DKI 2017 lalu berjanji akan "menyetop" reklamasi dan akan berpihak kepada nelayan, tetapi kenyataannya malah menerbitkan ribuan IMB kepadapengembang untuk bangunan yang terlanjur dibangun.
Sontak, keputusan Anies tersebut dianggap sama saja dengan memberikan lampu hijau kepada para pengembang untuk melanjutkan kembali megaproyek reklamasi di Teluk Jakarta.
Deputi Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA),April Perjuangan mengungkapkan, tak kurang dari 25 ribu nelayan yang tinggal di sepanjang pesisir Teluk Jakarta kini terancam digusur.
Karena, menurut April, penerbitan IMB membuat proyek reklamasi jalan terus. Itu artinya,kawasan pemukiman nelayan dipastikan juga akan ikut terdampak.
Dia mengatakan, setelah pengembang mengantongi IMB, nantinya Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI juga akan membuatRancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta.
Menurut April, Raperda RZWP3K DKI Jakarta akan mengalokasikan pemukiman non-nelayan seluas 70 Ha di wilayah Penjaringan, khususnya di kawasan elite Pantai Mutiara.
Begitu juga dengan Muara Angke yang merupakan kawasan pemukiman nelayan nantinya akan disulap menjadi kawasan pelabuhan. Lebih jauh lagi, nelayan di Kamal Muara dialokasikan untuk kawasan industri maritim.
"Jadi, IMB Anies dan Perda Zonasi DKI Jakarta nantinya akan menjadi alat legitimasi untuk proyek Reklamasi Teluk Jakarta," ujar April kepada TeropongSenayan, saat di temui di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2019).
April menuturkan, Perda RZWP3K Provinsi Banten nantinya juga akan menjadi cikal bakal untuk melegalkan proyek tambang di laut dan kawasan pesisir Kecamatan Tirtayasa yang mencakup Desa Lontar, Pulau Tunda dan Bayah. Perampasan ruang pun dialami oleh masyarakat di pesisir Kelurahan dan Pulau Sangiang.
"Perda RZWP3K semakin mempertajam konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan pengembang reklamasi," ucap April.
Dikatakan April, di tempat lain, penyusunan draft Perda RZWP3K Provinsi Kalimantan Timur juga menyimpan beragam persoalan. Sebab, pada proses perumusan draft Perda disusun tanpa partisipasi warga dan cacat prosedur.
Bahkan sejumlah analisis menunjukkan bahwa draft Perda RZWP3K Kalimantan Timur akan menjadi pintu masuk bagi industri ekstraktif seperti tambang semen. Sementara pada saat yang sama, kawasan mangrove akan dihilangkan alokasi ruangnya.
"Berdasarkan berbagai macam temuan itu, dapat disimpulkan bahwa, pengaturan tata ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia melalui Perda RZWP3K terbukti tidak berpihak pada masyarakat, bahkan merampas ruang hidup masyarakat pesisir," ungkapnya.
"Seharusnya, kehadiran Perda RZWP3K justru menjadi penguat posisi masyarakat pesisir dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan. Tapi kenyataannya, baik yang sudah disahkan maupun yang sedang dibahas ini justru melemahkan masyakat, dan melegalkan perampasan ruang hidup mereka," imbuh April.
Sebelumnya, Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono juga mempertanyakan langkah Gunernur DKI Anies Baswedan buru-buru menerbitkan ribuan IMB kepada pengembang.
Gembong menilai, keputusan tersebut keliru. Menurutnya, Anies mestinya merampungkan dulu dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebagai payung hukum pemanfaatan pulau reklamasi.
Bahkan, Gembong menyebut Anies sebagai Gubernur yang tidak mengerti skala prioritas dalam mengambil sebuah kebijakan di tanah Reklamasi Jakarta Utara.
"Jadi dua Raperda itu sebagai payung hukum Pemerintah Provinsi (Pemrov), dalam mengambil kebijakan dikemudian hari. Jadi alasan hukumnya kuat," kata Gembongkepada TeropongSenayan, Selasa (09/7/2019) lalu.
Tak hanya itu, Gembong pun mempertanyakan nasib dua Raperda yang sedang direvisi oleh Anies. Menurutnya, dua Raperda itu ditarik tak lama setelah Anies baru dilantik sebagai Gubernur DKI. Kini, sudah hampir dua tahun masa kepemimpinannya dua Raperda tersebut tak jelas nasibnya.
"Dulu bahasanya mau direvisi oleh pak Anies, tapi hasil revisinya sampai hari ini belum dikembalikan untuk dibahas kembali. Artinya, tidak ada skala prioritas yang dikejar oleh pak Anies dalam rangka kepastian hukm di area tanah di Reklamasi itu," jelas Gembong.
Gembong khawatir, jika Anies tak mengerti skala prioritas, justru akan membuat keraguan-raguan semua pihak. Utamanya pihak pengembang, dan juga pihak konsumen di tanah Reklamasi.
"Kasian juga mereka yang sudah membeli, karena tidak ada kepastian hukum timbulah keragu-raguan itu. Maka untuk menghapus keragu-raguan itu, alas hukumnya harus kita selesaikan terlebih dahulu," pesan Gembong. (Alf)