Pada hari Rabu, 20 Mei 2015, kita kembali memperingati salah satu momentum paling bersejarah dari perjuangan bangsa kita: Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Meski punya nilai sejarah yang penting, peringatan Harkitnas seringkali hanya sayup-sayup di tengah hingar-bingar perpolitikan kita akhir-akhir ini.
Padahal, bagi kami, peringatan peristiwa yang sudah memasuki tahun ke-107 ini perlu kita ambil sari pati-nya, yaitu nilai sejarah dan semangatnya, untuk melipatgandakan tekad dan semangat kita dalam memperjuangkan cita-cita nasional. Nilai sejarah yang terkandung dalam Harkitnas juga bisa menjadi suluh yang menerangi jalan perjuangan rakyat kita menuju kemenangannya.
20 Mei 1908, yang merupakan hari lahirnya Boedi Oetomo, bukan hanya penanda lahirnya organisasi pribumi modern pertama yang mengawali ledakan semangat berorganisasi di kalangan bumiputera. Peristiwa ini juga merupakan momen sejarah yang menandai berkecambahnya kesadaran di kalangan bumiputera akan proyek masa depan bersama, yang diikat oleh kesamaan kehendak untuk bersatu, kesamaan nasib, dan kesamaan cita-cita.
Dalam proses sejarah selanjutnya, organisasi pergerakan yang lahir kemudian dengan watak lebih maju dan radikal berhasil mempertajam kesadaran itu menjadi cita-cita Indonesia Merdeka, dengan tujuan nasionalnya: mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Inilah esensi dari Harkitnas.
Bung Karno, pada peringatan Harkitnas ke-50 tahun 1958, mempertegas esensi peringatan Harkitnas itu. Menurutnya, esensi dari peringatan Harkitnas adalah kemenangan beginsel (prinsip), yaitu tekad untuk menjadi bangsa yang bebas dan merdeka memerintah dirinya sendiri. Lalu, di peringatan Harkitnas tahun 1962, Bung Karno kembali mengulangi penegasannya, bahwa hanya bangsa yang percaya pada kekuatan sendiri (self reliance) yang bisa menjadi bangsa yang besar. Jadi, kata kuncinya adalah Trisakti.
Hari ini, 107 tahun sejak kebangkitan nasional dan jelang 70 tahun usia kemerdekaan kita, bangsa kita terhambat kemajuannya oleh sebuah persoalan besar, yakni penjajahan baru alias neokolonialisme. Ini nampak sangat nyata dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya bangsa kita.
Cita-cita bersama kita sebagai sebuah bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur, makin terkoyak oleh menguatnya kesenjangann ekonomi antara si kaya dan si miskin, ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, ketimpangan antar pusat dengan pinggiran, dan lain sebagainya.
Ketimpangan itulah yang menciptakan basis material bagi menguatnya etnosentrisme, semangat kedaerahan, fanatisme keagamaan, dan gerakan separatisme. Belum lagi, kehadiran partai politik di parlemen gagal mengartikulasikan suara rakyat, terutama mereka yang terpinggirkan. Semua itu telah mengakumulasi kekecewaan rakyat, terutama di akar rumput, terhadap negara, pemerintahan, dan institusi politik lainnya.
Secara politik kita tidak lagi berdaulat. Kita tidak lagi merupakan bangsa yang bebas dan merdeka memerintah dirinya sendiri. Kita punya pemerintahan nasional, tetapi produk kebijakannya lebih banyak yang merugikan kepentingan nasional dan menyengsarakan rakyat. Bukan rahasia lagi, ada ratusan UU yang lahir di Republik ini ternyata merupakan pesanan pihak asing. Ironis sekali!
Secara ekonomi pun kita tidak lagi mandiri. Sekarang ini, kita bukan hanya bergantung pada modal asing, tetapi telah diperas habis-habisan oleh modal asing. Hampir semua aset kekayaan nasional kita, dari perusahaan negara, kekayaan alam, hingga pelayanan publik, berpindah kepemilikan ke tangan pemodal asing. Lantas, rakyat kita diperas keringatnya, lalu dibayar dengan upah murah. Tak ada ubahnya dengan kuli-kuli kerja rodi di zaman kolonial.
Secara budaya pun demikian. Kepribadian nasional kita makin tergerus oleh arus deras liberalisasi yang membawa gaya hidup konsumeristik, hedonis, dan individualistik. Semangat gotong-royong nyaris sekarat di bawah relasi-produksi yang sangat kapitalistik.
Pemerintahan Jokowi-JK, setelah berkuasa lebih dari tujuh bulan, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengubah keadaan. Padahal, kampanye Trisakti yang diusung oleh Jokowi-JK semasa kampanye Pilpres sempat memercikkan harapan di sebagian besar rakyat Indonesia. Ironisnya, ketika sudah berkuasa, pemerintahan Jokowi-JK masih melanjutkan agenda neoliberal rezim sebelumnya. Lihat saja, pemerintahan Jokowi-JK sangat bergantung pada modal asing. Jokowi-JK juga mengalihkan tata-niaga sejumlah barang publik, seperti BBM, listrik, gas elpiji, tarif transportasi, dan lain-lain, kepada mekanisme pasar. Tidak Cuma itu, pemerintahan Jokowi-JK dengan khusuknya melanjutkan proyek MP3EI.
Sehubungan dengan peringatan Harkitnas ke-107, sudah saatnya bangsa ini mengingat kembali, bahwa salah satu perekat kita sebagai sebuah bangsa adalah cita-cita bersama: masyarakat adil dan makmur tanpa penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa.
Untuk itu, PRD memiliki pandangan sebagai berikut:
1. Bangsa ini perlu kembali pada filosofi bangsa yang sejati, yaitu Pancasila. Selain itu, praktek penyelenggaraan negara ini harus berpijak kembali pada dasar negara: Pancasila.
2. Agar perjuangan bangsa ini menemukan jurusan yang tepat, maka Trisakti adalah jalannya, yang bisa menghantarkan bangsa ini pada tujuannya. Karena itu, seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang suku, agama, golongan, dan partai politik, untuk bersatu padu memperjuangkan Trisakti hingga kemenangannya.
3. Cita-cita pendirikan Republik Indonesia, yakni masyarakat-adil dan makmur, harus menjadi cita-cita bersama. Republik Indonesia Pertama (era Bung Karno) telah menyiapkan landasannya, berupa Pancasila dan UUD 1945. Sayang, Republik Kedua (era Orde Baru) dan Republik Ketiga (era liberal pasca reformasi) menginterupsi cita-cita tersebut dengan mengundang kembali modal asing dan mengembalikan neokolonialisme. Karena itu, PRD mengajak seluruh komponen bangsa untuk memperjuangkan Republik Indonesia sila keempat atau masyarakat adil dan makmur.
Inilah solusi atas persoalan bangsa kita saat ini: Pancasila Dasarnya, Trisakti Jalannya, Dan Republik Indonesia Keempat: Masyarakat Adil Dan Makmur Tujuannya.
Jakarta, 19 Mei 2015
Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD)
Agus Jabo Priyono
Ketua Umum
Dominggus Octavianus
Sekertaris Jenderal
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #harkitnas #aksi 20 mei #prd