Opini
Oleh Haris Rusly (Aktivis Petisi 28, Eksponen Gerakan Mahasiswa Tahun 1998, UGM Yogyakarta) pada hari Rabu, 20 Mei 2015 - 13:46:05 WIB
Bagikan Berita ini :

Perubahan Yang Kita Kehendaki, Lanjutannya Yang Kita Rasakan

72medium_7HarisRusly-indra-tscom.jpg
Haris Rusly, Aktivis Petisi 28 (Sumber foto : Indra Kesuma/TeropongSenayan)

“Berlanjutnya Kekacauan Sistem Negara, Krisis Kepemimpinan Nasional dan Ketidakpastian Kebijakan di Era Presiden Joko Widodo”

Tentu, kita semua menyadari dan sangat memahami keadaan krisis multidimensi yang tak gampang diatasi oleh siapapun Presiden yang terpilih melalui Pileg dan Pipres yang sarat dengan koalisi untuk transaksi jabatan dan jual beli suara.

Tak hanya krisis ekonomi dan kemerosotan kesejahteraan rakyat, tak hanya krisis konsolidasi organisasi kekuasaan, tapi juga krisis paling mendasar yang telah menghujam jantung kehidupan berbangsa, yaitu krisis nilai yang menjadi perekat dan pondasi dalam menggerakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden adalah pihak yang harus bertanggungjawab untuk mengatasi situasi yang abnormal tersebut.

Dalam sistem negara yang dianut oleh konstitusi kita (UUD 1945), Presiden RI mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi selaku Kepala Negara sekaligus fungsi sebagai Kepala Pemerintahan.

Sebagai Kepala Negara, Presiden berfungsi dan bertanggungjawab melampaui yang diatur dan ditentukan di dalam konstitusi, yaitu memimpin lahir dan batin, jasmani dan rohani, jiwa dan raga, fisik dan phsikis, memimpin secara ideologi dan politik (arah dan haluan) seluruh manusia dan seluruh alam semesta, tanah air dan seluruh kandungannya, yang ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk mencapai terwujudnya tujuan bernegara serta melindungi kepentingan nasional yang tertuang di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta GBHN hasil keputusan MPR RI.

Sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden bertanggungjawab dan berfungsi memimpin secara administrasi dan operasional seluruh institusi dan aparat eksekutif untuk menggerakan pembangunan (infrstruktur dan industri) serta menyelenggarakan pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, dll.) yang makin terjamin, memadai dan terjangkau yang tertuang di dalam Repelita atau RPJM.

Permasalahannya

Permasalahannya adalah; Pertama, Presiden Joko Widodo belum menunjukan perubahan kapasitas maupun pemahaman tentang fungsi dan tanggungjawabnya selaku Kepala Negara. Presiden Joko Widodo hingga semester satu pemerintahannya masih memahami dan menempatkan dirinya tidak sebagai Kepala Negara, tetapi semata selaku Kepala Pemerintahan.

Hingga saat ini, Presiden Joko Widodo masih terlihat memahami dan menempatkan dirinya ibarat Wali Kota dan Gubernur di tingkat nasional, yang hanya bertanggungjawab dan berfungsi sebagai Kepala Pemerintahan yang semata mengurus masalah pelayanan publik (kartu sehat, kartu pintar, dll.), serta pembangunan infrastruktur.

Presiden Joko Widodo kelihatannya masih belum sadar dan tidak paham jika dirinya adalah seorang yang juga berfungsi sebagai Kepala Negara yang bertanggungjawab memimpin arah dan haluan bernegara. Tugas-tugas selaku Kepala Negara yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo baru semata fungsi administratif, seperti memberhentikan dan mengangkat Kepala Polri dan menolak memberikan grasi kepada terpidana Narkoba.

Sebagaimana yang dilakukan oleh SBY, Presiden Joko Widodo juga melanjutkan melupakan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai Kepala Negara untuk melakukan revolusi nilai atau revolusi mindset untuk kembali kepada nilai-nilai Pancasila melalui penataan ulang sistem negara berdasarkan konstitusi UUD 1945.

Kedua, Presiden Joko Widodo juga melanjutkan kesalahan yang pernah dilakukan di era Presiden SBY, yaitu tidak berkehendak untuk menyelesaikan masalah negara berdasarkan akar masalahnya, yaitu masalah kekacauan sistem negara era reformasi, yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia selama 17 tahun terakhir.

Kekacauan sistem negara akibat amandemen terhadap UUD 1945 telah melemahkan atau bahkan mempreteli fungsi, tanggungjawab dan diskresi Presiden sebagai Kepala Negara, menciptakan disintegrasi bangsa, terjadinya tumpang tindih aturan dan fungsi institusi negara, melahirkan benturan kelembagaan antar berbagai institusi negara, dan yang paling parah adalah menggelar karpet merah bagi penjajah asing, dari barat hingga timur, untuk menjarah kekayaan bangsa kita.

“Selama 10 tahun SBY menjadi Presiden, berbagai kritik, kecaman, bahkan hujatan, dengan lisan maupun tulisan, diarahkan kepada SBY, karena sebagai Kepala Negara, SBY tidak berani bertindak tegas untuk menata ulang negara kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 untuk mengakhiri keadaan kekacauan, krisis atau darurat multi dimensi yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia. Saat itu, orientasi SBY hanya untuk mempertahankan kekuasaan melalui sogokan jabatan dan projek kepada mitra koalisinya, dengan tidak peduli pada hancurnya sistem dan tatanan bernegara”.

Ketiga, sistem Pemilu langsung, baik Pileg dan Pilpres, yang melahirkan Joko Widodo sebagai Presiden tak berbeda dengan sistem Pemilu yang melahirkan SBY sebagai Presiden selama dua periode. Pemilu langsung yang sarat politik uang, pencitraan dan koalisi politik yang dimotifasi oleh transaksi jabatan dan iming-iming projek adalah sistem dan keadaan yang melahirkan baik Joko Widodo maupun SBY sebagai Presiden RI. Akibatnya, Presiden hasil Pilpres pasti tersandera oleh berbagai kepentingan jahat yang turut menopang, baik politik maupun modal, bagi kemenangan sang Presiden.

Yang berbeda antara SBY dengan Presiden Joko Widodo adalah ketika menjabat sebagai Presiden selama 10 tahun, SBY memegang kendali penuh atas Partai Demokrat, memimpin sendiri koalisi Parpol yang menopang pemerintahannya, SBY juga mengatur langsung pembagian jabatan dan projek (power sharing) sebagai sogokan dalam mengatasi keadaan multi partai yang membahayakan kekuasaannya.

Sementara Joko Widodo, saat terpilih menjadi Presiden dapat dikatakan sebagai sebuah musibah politik, lantaran Joko Widodo sendiri tidak menjadi pemimpin yang berpengaruh di dalam Parpol yang mengusungnya, tidak memimpin langsung koalisi Parpol yang menopangnya. Bahkan, otoritas Presiden Joko Widodo yang sangat lemah dalam mengatur pembagian jabatan dan projek kepada para pendukungnya.

Terlalu banyak pusat kekuasaan, baik kekuasaan Politik, kekuasaan Pemodal dan kekuasaan intelijen, yang berada di lingakaran teras Joko Widodo, yang telah menciptakan keadaan krisis kepemimpinan nasional dan melahirkan ketidakpastian kebijakan.

Bagaimana mungkin Presiden Joko Widodo dapat melakukan sebuah lompatan yang jauh ke depan untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh dan mendasar, jika Presiden Joko Widodo sendiri tidak punya kekuatan politik untuk menggerakan ambisi dan cita cita tersebut. Presiden Joko Widodo bukan Pimpinan Parpol yang berpengaruh di dalam tubuh PDIP, padahal perubahan prosedural membutuhkan kekuatan di parlemen, Joko Widodo bahkan menjadi orang yang terusir dari PDIP.

Keempat, sistem negara yang dipakai oleh Presiden Joko Widodo untuk mengoperasikan jalannya pemerintahan juga tak berbeda dengan sistem negara yang dipakai oleh SBY selama 10 tahun menjadi Presiden. Sistem negara yang berdiri di atas UUD amandemen yang saat ini dipakai oleh Presiden Joko Widodo adalah sistem multi partai ultra liberal yang telah membunuh kedaulatan rakyat, mematikan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sistem yang politik yang beroperasi saat ini telah dikuasai oleh mafia dan oligarki tua korup, yang mengubah haluan demokrasi menjadi dari Parpol, oleh Parpol untuk kesejahteraan Parpol dan keluarganya. Demikian juga, sistem otonomi daerah ugal-ugalan yang telah mematikan beroperasi pembangunan secara efektif dan efisien karena dibajak oleh para Kepala Daerah yang korup dan khianat, sistem Pilkada langsung yang sarat politik uang konflik kepentingan juga telah memecah belah seluruh potensi bangsa untuk membangun memangung kemakmuran bersama.

Kelima, kebijakan pemerintah era Presiden Joko Widodo dalam membangun kesejahteraan rakyat juga tidak berbeda dan merupakan kelanjutan dari praktik kebijakan era Presiden SBY, yaitu kebijakan karitatif dan sogokan bentuk baru, hanya berubah sampul, dari model BLT berganti dengan cara dan sampul baru berbentuk Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dll.

Demikian juga kebijakan di bidang ekonomi dan energi juga masih merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemerintahan SBY yang menyerahkan harga BBM sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Di era Presiden Joko Widodo malah lebih ekstrem, karena negara justru berperan dalam menciptakan ketidakpastin ekonomi dengan membuat regulasi menaikan atau menurunkan harga BBM setiap bulan.

Keenam, kebijakan dalam pemberantasan korupsi juga masih merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintahan era Presiden SBY, yaitu terjadinya serangkaian pelemahan, serangan dan kriminalisasi terhadap institusi dan aparatur pemberantasan korupsi yang menjadi komisioner dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden Joko Widodo bahkan terlihat membiarkan upaya pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis.

Ketujuh, kekacauan dan ketidakpastian kebijakan perundang undangan di era Presiden Joko Widodo juga melanjutkan kekacauan dan ketidakpastian kebijakan di era Presiden SBY. Sebagai contoh :

(1). RUU Pilkada yang diajukan di era Presiden SBY yang telah dibahas dan disahkan oleh DPR menjadi UU Pilkada melalui paripurna DPR, namun SBY mengacaukan pranata dan tatanan perundang-undangan yang berlaku dengan mem-veto UU Pilkada dan mengajukan Perpu Pilkada langsung, padahal tidak ada kewenanangan Presiden untuk mebatalakkan UU yang disahkan oleh DPR melalui Perpu.

(2). Kekacauan pranata dan tatanan per undang-undangan makin diperparah oleh DPR dengan membuat keputusan untuk merevisi Perpu Pilkada, padahal DPR hanya berwenang menolak atau menerima Perpu yang diajukan oleh Pemerintah, tidak ada kewenangan DPR untuk merevisi Perpu yang diajukan oleh Pemerintah.

(3). Dibatalkannya status tersangka Budi Gunawan oleh pengadilan pra peradilan telah melumpuhkan diskresi KPK dan Polri dalam menegakan hukum. KPK sebagai lembaga yang memberantas korupsi yang ditempatkan sebagai kejahatan luar biasa, yang perkaranya tidak bisa di SP3 kan, telah tercabutnya nyawanya melalui keputusan hakim pra peradilan tersebut.

(4). MoU antara Kementerian ESDM dengan Freeport dan Newmont justru mengalahkan UU Minerba yang telah disahkan oleh DPR. Bahkan MoU yang tidak ada nomenklaturnya dalam per undangan-undangan kita, tapi dipakai oleh Kemeterian ESDM era Presiden Joko Widodo sebagai landasan kebijakan.

(5). Melalui Kementerian Hukum dan HAM, Laoly, mengajukan RUU Pemerintah Indonesia dengan Papua Nugini tentang Ekstradisi Joko Tjandra, dan telah disahkan oleh DPR menjadi UU. Baru kali ini ada sebuah UU yang khusus menangani satu kasus. Hebatnya lagi, walaupun UU ekstradisi telah disahkan oleh DPR, namun Djoko Tjandra masih bebas merdeka tidak tersentuh.

(6). Pengajuan Calon Kepala Polri Budi Gunawan yang telah disahkan oleh DPR, tapi Prsiden Joko Widodo justru membatalkan keputusannya sendiri.

(7). Mekanisme lelang jabatan yang tidak jelas aturannya menyebabkan terjadi kekacauan dalam mengangkat pejabat eselon satu, bahkan anehnya masih ada proses melalui Tim Penilai Akhir (TPA) yang dapat mem-veto hasil lelang jabatan.

(8). Rancangan nomenklatur sepuluh kementerian hingga semester satu berakhir masih belum tuntas, yang menyebabkan macet berbagai agenda pembangunan.

(9). Pembatalan keputusan Presiden tentang tunjangan mobil dinas pejabat yang ditandatangani oleh Presiden, namun dibatalkan sendiri oleh Presiden Joko Widodo karena adanya tekanan publik.

(10). Pembatalan kenaikan harga BBM non subsidi kementerian ESDM setelah surat edaran Pertamina untuk menaikan harga BBM non subsidi disebarluaskan.

(11). Beredarnya Kepres bodong terkait pengangkatan Dirjen Imigrasi Kemenkumham.

Kedelepan, tidak jauh berbeda dengan situasi, lingkungan dan medan mental para politisi dan pejabat negara era Presiden SBY, di era Presiden Joko Widodo adalah era yang merupakan kelanjutan, bahkan puncak dari kerusakan nilai dan mental dari para politisi, pejabat dan birokrat.

Para politisi dan pejabat negara di lingkaran teras Presiden Joko Widodo saat ini katanya sedang berjuang untuk membangun infrastruktur, membangun jalan tol, membangun irigasi dan bendungan, membangun pembangkit listrik 35.000 MW, dll.

Sebetulnya mereka tidak sedang membangun bangsa dan negara melalui pembangunan infrstruktur, tapi mereka sedang menjadikan institusi pemerintah sebagai alat dan memanfaat seorang Presiden yang lemah secara politik, lemah kapasitas serta tidak punya visi dan konsepsi, untuk tujuan mengeruk dan membesarkan perusahaan pribadi, memperkaya keluarga dan kelompoknya sendiri.

Bagaimana mungkin menjalankan mega proyek pembangunan infrastruktur, sementara di saat yang sama, lingkaran teras Presiden Joko Widodo dikuasai oleh mayoritas politisi, birokrat dan pejabat yang bermental maling, semata punya hasrat untuk mengeruk projek, mencari celah untuk bisa merampok dan memperkaya diri.

Demikian juga para Gubernur dan Bupati/Wali Kota sebagai unjung tombak dalam menggerakan pembangunan di daerah, justru sibuk merampok untuk bisa menyogok pimpinan Parpol dan membeli suara rakyat agar terpilih kembali sebagai Kepala Daerah.

Kesembilan, dengan terpilih kembalinya SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat telah menyempurnakan kelanjutan era jahiliyah zaman reformasi yang tidak mampu diatasi oleh Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, berturut-turut Kongres atau Munas Parpol telah melahirkan kekuatan oligarki tua dan politisi korup dan nepotisme yang memimpin Parpol.

Pada semester pertama saat berkuasa, Presiden Joko Widodo tidak menunjukan konsepsi politik dalam melakukan rekayasa sosial politik untuk mengubah tatanan bernegara ke arah perbaikan secara menyeluruh dan mendasar, termasuk menata ulang sistem kepartaian yang telah dibajak oleh oligarki tua yang korup dan khianat.

Sikap Kami

Sebelum Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014diselenggarakan, pada tanggal 11 Desember 2013, bertempat di Gedung Joang 45, kami beserta berbagai kelompok yang bernaung di dalam Koalisi Nasional Penyelamat Kedaulatan Rakyat (KN-PKR) telah menyampaikan sebuah pernyataan dan peringatan politik tentang ancaman berlanjutnya keadaan darurat negara jika Pemilu 2014 dijalankan sebelum diadakannya Sidang Istimewa MPR RI untuk menata ulang negara kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 untuk disempurnakan. Keadaan darurat negara yang kami perkirakan berpotensi memecah belah bangsa dan negara.

Keadaan negara pada semester pertama Pemerintahan Joko Widodo mulai menunjukan tanda tanda seperti yang kami perkirakan di atas, yaitu berlanjutnya keadaan darurat sebagaimana yang terjadi di era Presiden SBY.

Kekacauan sistem negara yang ditandai oleh gejala benturan antar institusi negara dan tumpang tindih aturan, telah melahirkan krisis kepemimpinan nasional dan ketidakpastian kebijakan kembali berlanjut di era Presiden Joko Widodo.

Melemahnya diskresi negara menyebabkan mafia dan oligarki tua, korup dan nepotis, yang menguasai Parpol dan parlemen, menjadi makin kuat, penjajahan asing dari barat hingga timur makin menemukan kesempatan untuk menjarah kekayaan alam kita. Penjajahan model baru tersebut bahkan difasilitasi secara sadar oleh baik Presiden SBY maupun pelanjutnya Presiden Joko Widodo, dalam modus dan kemasan investasi di bidang infrastruktur, dll.

Sementara gagasan revolusi mental yang menjadi salah satu visi dan misi Presiden Joko Widodo tampaknya akan terpental oleh daya rusak sistem negara yang berdiri di atas UUD amandemen, Pilkada langsung ugal-ugalan, serta otonomi daerah yang makin tidak terkendali, telah merusak mentalitas dan karakter bangsa.

Hingga kini kita memang belum membaca konsepsi utuh tentang gagasan revolusi mental yang didengungkan oleh Presiden Joko Widodo, seperti apa praktek dan operasional untuk mengubah mental para politisi, pejabat negara dan birokrat di sekitar Presiden Joko Widodo.

Bagaimana konsep revolusi mental dalam menghadapi ancaman Pilkada langsung yang sarat politik uang dan transaksi projek, demikian juga bagaiman konsep revolusi mental dalam menghadapi tantang dan ancaman pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan melebur seluruh negara ASEAN dalam sebuah kawasan perdagangan bebas.

Dalam mengatasi keadaan negara yang makin kacau, terjadinya krisis kepemimpinan nasional dan ketidakpastian kebijakan, serta untuk mewujudkan gagasan revolusi mental, yaitu hanya dengan menata ulang sistem negara kembali kepada nilai-nilai Pancasila dan filosofi negara yang terkandung di dalam UUD 1945.

Hanya dengan sistem negara yang kuat dan sesuai dengan sejarah dan nilai-nilai yang hidup di dalam mayarakat kita yang mampu menjadi benteng, pondasi dan penunjuk arah dalam membangun Indonesia yang beradab, berdaulat, mandiri dan berkepribadian.

Kembali kepada konstitus UUD 1945, tidak dimaksudkan untuk kembali ke era Orde Baru. Menata ulang sistem negara yang sesuai filosofi negara yang terkandung di dalam UUD 1945 adalah untuk menciptakan keseimbangan politik antara etatisme negara dengan partispasi masyarakat yang diakomodir ke dalam lembaga negara, yaitu MPR.

Pengalaman di era Orde Lama, ketika nuansa buttom up dalam politik yang ditandai oleh kuatnya partisipasi masyarakat telah mengalahkan peranan negara dalam memimpin untuk mengubah keadaan bangsa. Sementara pengalaman di era Orde Baru ketika nuansa top down sistem politik sangat kuat yang ditandai oleh terlalu kuatnya peran negara justru telah mematikan partisipasi politik dari masyarakat, mematikan kemerdekaan berpendapat dan beserikat yang dijamin oleh UUD 1945.

Di era reformasi, kita kembali mengulangi kesalahan di era Orde Lama yaitu sistem politik multi partai yang terlalu kuat buttom up-nya, ekstrim liberal, telah mengalahkan top down yang memperkuat diskresi dan peran negara dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Sikap kami, hanya ada dua jalan untuk menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia keluar dari keadaan darurat multidimensi, krisis kepemimpinan nasional yang melahirkan ketidakpastian kebijakan, yaitu dengan menata ulang negara kembali kepada nilai-nilai dasar berbangsa yaitu Pancasila dan filosofi negara UUD 1945.

Langkah untuk mewujudkan agenda tersebut adalah: Pertama, Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara dapat mengambil inisiatif untuk mengeluarkan dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945 yang disertai langkah politik untuk menata ulang negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Atau, kedua, rakyat, pemuda, mahasiswa dan akademisi yang didukung oleh tentara melakukan gerakan people power untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR RI, untuk mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan dalam menyelenggarakan negara, yang dilanjutkan dengan menata ulang negara untuk mengakhir kekacauan sistem negara, serta melakukan regenerasi kepemimpinan nasional untuk mengakhiri kekuasaan oligarki tua korup dan khianat.

Untuk itu, kami menyerukan kepada seluruh elemen rakyat, pemuda, mahasiswa, akademisi, rohaniawan dan tentara untuk bersatu padu, mengakhiri upaya adu domba politik dengan menciptakan isu dikotomi antar sipil dengan militer, Jawa dengan luar Jawa, Islam dengan non Islam, untuk berjuang dan berkorban menata ulang negara mengakhiri politik tribalisme (sukuisme dan golonganisme) serta kanibalisme (saling memangsa sesama anak bangsa).

Dengan senantiasa memohon ridho dan rahmat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #haris  #uud 45  #pancasila  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Doa di Kotak Suara

Oleh Ahmadie Thaha (Pengaruh Pesantren Tadabbur al-Qur'an)
pada hari Rabu, 27 Nov 2024
Sebuah video dari seorang kyai mencuri perhatian di TikTok @ngaji.ngabdii. Duduk tenang di kursi, di hadapan jamaah, sang kyai memberikan life hack sederhana untuk memilih di Pemilihan Kepala Daerah ...
Opini

Populisme Jokowi dan Runtuhnya Demokrasi

Demokrasi runtuh bukan karena munculnya orang kuat dan kharismatik, melainkan karena keroposnya struktur etika-masyarakat, spesifik aparat pemerintahan, yang menopangnya.  Miskonsepsi ...