Suka saya Perma No 1/2020 ini karena mengubah system pemidanaan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Saya mengacungkan jempol salut untuk Tuan Muhammad Syarifudin, Ketua Mahkamah Agung atas kreativitasnya bikin Perma No 1/2020. Ciamik.
Selama ini pemidanaan diserahkan ke hati nurani hakim. Perma itu memindahnya, dari nurani menjadi ukuran jumlah kerugian negara. Itu baru benar, walau kontroversial.
Saya menduga, latar belakangnya, nurani hakim sudah berubah jadi nurani setan: wani piro? Akibatnya, vonis hakim kian kacau dan korup.
Komisi Judisial tak bisa mencampuri hati nurani, karena dibelenggu oleh UU Kekuasaan Kehakiman. Apalagi kekuasaan Komisi Judisial sudah dipangkas sekitar 15 tahun silam, sehingga ia tak berdaya untuk mengawasi vonis tak wajar dan korup. Masalahnya system pemidanaannya menggunakan system majelis yang mengandalkan hati nurani. Praktis loss control.
Beda dengan Anglo Saxon Law atau Common Law, system juri. Vonis bersalah atau tidak, tidak diserahkan kepada hakim. Melainkan kepada juri yang beranggotakan sekitar 20 orang.
Mereka, juri itu, hati nuraninya. Juri dikocok dari sebuah tabung yang berisi ribuan nama calon juri. Tidak bisa diatur. Jadi, hati nurani di system juri tidak penting.
Mestinya jauhari system juri itu sudah dicangkokkan ke system peradilan Indonesia untuk mencegah korupsi. Sebab, di Belanda, asal hukum pidana Indonesia sudah mencangkokkan sistem juri.
Artinya system nurani-nuranian itu tidak layak dipakai di Belanda walau ia adalah negara utama Civil Law, di samping Perancis dan Jerman.
Dalam UU Kekuasaan Kehakiman, standar pemidanaan juga merujuk KUHAP: 1. Bukti, 2. Saksi, dan 3. Keyakinan hakim alias nurani hakim. Keyakinan ini yang korup yang memunculkan banyak putusan aneh, salah, dan tak wajar, di sini saya merujuk hasil eksaminasi 67 kasus hukuman mati narkotika yang fatal dan sama sekali tidak layak untuk dasar melakukan eksekusi state murder (hukuman mati).
Maka pilihan terbaik yang mudah adalah membuat rambu seperti Perma No 1/2020: kerugian negara Rp 100 miliar ke atas, dipidana seumur hidup, dst.
Dengan begitu, terdakwa kasus korupsi asuransi yang kini sedang ditangani Kejakgung, misalnya, sudah pasti dihukum penjara seumur hidup. Dan terpidana yang melakukan herziening, dipastikan hukumannya bertambah.
Absurd
Menyerahkan vonis kepada nurani majelis hakim, adalah absurd, naif, dan sesat. Mana ada nurani-nuranian di situ saat ini. Kecuali utopia teoritika. Kalau ada, tunjukkan ke saya, saya persen Rp 5 juta. Yang ada duit dan duit, nurani duit. Money Talk. Tebal duitnya, lolos. Cekak duitnya, mampus kau. Maka memunculkan pemeo: berkorupsilah yang banyak, supaya bisa membayar hakim, jaksa, dan polisi ketika tertangkap.
Konsekwensi logis Perma No 1 itu, penyidik dan penuntut dipaksa menaikkan dakwaannya, sekurangnya sama dengan kategori Perma. Padahal, dakwaan dan tuntutan selama ini, adalah hasil nurani setan. Ada duitnya, tuntutan bisa nego. Berapa jaraknya?
Bayangkan saja, koruptor yang dihukum seumur hidup cuma semata wayang. Yaitu Akil Mochtar. Padahal korupsi di atas Rp 100 miliar ada ratusan kasus. Kemana ratusan kasus itu? Jadi kerusakan hati nurani itu sudah parah.
Ibnu Rusj
Hati nurani yang diyakini oleh Imam Ghozali "tak bisa salah" sudah jadi perdebatan sejak zaman awal Khilafah dalam rangka mencari kebenaran ketika ilmu filsafat muncul sebagai alat dari teori emanasi (kebenaran pikiran wahyu ilahi versus kebenaran filsafat).
Perlulah dirujuk tulisan Ibnu Rusj "Tahafut al Tahafut" (kesesatan hati nurani) untuk menyegarkan eksistensi hati nurani. Rusj (Averrous) adalah pemuka Mu"tazilah yang memuja akal (filsafat). Ia guru besarnya Thomas Aquinas yang membawa pikiran Mu"tazilah ke Eropa dan melahirkan gerakan Rennaisance. "Thafut al Tahafut" adalah sanggahan Ibnu Rusj terhadap bukunya Imam Ghozali "Tahafut al Falasifah" (kesesatan kaum filsuf). Sebaliknya Imam Ghozali adalah pemuka kaum Mutakallimun Ahlussunnah Wal Jamaah, antitesa Mu"tazilah. Yaitu, Imam Ghozali berpendapat akal dapat dikontrol oleh hati nurani, seperti adagium system majelis kita selama ini.
Tapi itu pada masanya tak benar, ketika hati nurani berubah nurani dajjal, seperti saat ini. Itu yang dimaksud Ibnu Rusdj sebagai tahafut al tahafut (kesesatan hati nurani).
Saya kira sudah masanya mengaktifkan hakim pengawas berangkat dari Perma itu. Sekalipun hanya untuk dua pasal Tipikor, tapi keniscayaannya, Perma segera mempengaruhi kinerja penyidik, penuntut, dan UU tentang korupsi. Saya berharap mempengaruhi UU KPK yang sudah mandul sejak dikebiri oleh DPR.
Di situ canggihnya Tuan Syarifudin: ketika beleid negara sudah condong mendorong korupsi merajalela sejak Jokowi memimpin, sejak UU KPK baru, sejak UU Corona kebal hukum, UU SDA yang hanya untuk memperkaya 8 Perusahaan Tambang, UU Omnibus Law yang melanggar fatsoen politik hukum, pikiran waras dalam meta yuris, ditengarai UU No 2 itu menyalahgunakan beleid. Etc. Perma No 1 ini muncul untuk memberi seberkas sinar di antara hukum yang sudah frustrasi.
UU Psikotropika
Saya ingat waktu diberlakukan UU Psikotropika No 5/1997. UU itu mewajibkan tuntutan penyidik dan penuntut minimal 4 tahun penjara. Sama persis halnya dengan Perma ini. Akibatnya, Restik (reserse narkotika) berhenti. Mereka serta merta pindah, dari menangkapi narkotika ke psikotropika yang viral di mana-mana. Yaitu: money talk.
Di narkotika tak ada empuk yang bisa dinego. Para junkies sedang rame-rame bertransformasi, pindah ke psikotropika. Narkotika ketinggalan zaman, aturannya masih memakai UU Narkotika 1973 saat itu. Baru sekitar 10 tahun belakangan digabung Narkotika dan Psikotropika menjadi UU No 35 agar kekayaan para bandar dapat disita. Terkini, para hakim kudu siap ultra petita demi Perma untuk melawan nurani dajjal.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #djoko-edhi #aktivis