Untuk semua sejawatku activis yg tengah berjuang di Parlemen Jalanan, maupun sedang mendekam di Balik Terali Besi. Sejarah mencatat tragedi demokrasi di era Presiden Joko Widodo kembali terulang dg penangkapan sejumlah activis; Dr. Syahganda Nainggolan, Moh Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana dan Gus Nur, kini dikandangkan dibalik terali besi, mabes Polri. Mereka berempat activis senior yg giat mengingatkan rezim penguasa untuk focus pada pengelolaan pemerintahan yg berorientasi pada penguatan kedaulatan rakyat.
POTRET BURAM WAJAH DEMOKRASI
Potret demokrasi di era milenial, bisa dikatakan dmokrasi tanpa bentuk ideologi, alias demokrasi abu abu. Demokrasi yg hanya bisa ditafsirkan oleh yg punya otoritas kekuasaan. Bisa demokrasi liberalistik, kapitalitistik, pancasilaistik, dan bisa otoriterianism. Terserah apa maunya penguasa.
Demokrasi, sesungguhnya untuk membatasi ruang kekuasaan untuk tidak semena nena. Tetapi secara empiris demokrasipun tak berdaya menghalau tindak kesewenangan penguasa dlm penyelenggaraan pemeritahan. Pemerintah sebagai penguasa justeru semena mena dan anti kritik bahkan. Bila rakyat menyampaikan pendapat di ruang public, memberikan koreksi dituding sebagai tindakan tanpa otak dan sampah demokrasi. Pernyataan yg demikian ini sungguh tidak etis, bahkan dirasakan sebsgai bentuk penghinaan terhadap kedaulatan rakyat.
Belum lagi aparat kepolisian bertindak brutal di Lapangan. Mereka melakukan kekerasan fisik dg senjata dan benda keras (besi) melukai penggiat demokrasi saat aksi berlangsung. Kekerasan itu bukan sekali dukali, melainkan berulang kali seakan telah menjadi Stadard Operasional Prosedural. Kekerasan yg mencederai yg mendarahi fisik activis adalah tindakan krimknal, premanisme yg sungguh biadab. Di sini negara hadir dg wajah kekerasan. Para pejuang aspirasi rakyatpun diposisikan seperti musuh bagi negara.
Demokrasi yg membiarkan kelompok islam phobiya bergantayangan menyebarkan virus menakutkan bagi ummat. Sebagaimana mereka kerap menuding kelompok umat islam dg berbagai stigmatisasi negatif, anti pancasila, anti NKRI, teroris, fundamentali, radikalis dll. Demokrasi membiarkan kelompok islam phobiya bertindak bagai preman atau orang orang liar yg leluasa mempresikusi atau melakukan tindakan kekerasan pada ulama, habaib, kiyai dan ustadz di tempat terbuka. Demokrasi seakan mengadudomba sesama umat islam, memecah bolah umat dlm berbagai faksi.
Demokrasi yg membiarkan sekelompok kecil menguasai wilayah strategis Indonesia. Menguasai tanah, kebun, pabrik, pulau, laut, perusahaan raksasa, estimasi sekitar 70 % aset ekonomi nasional dikuasai oleh 1 % penduduk. Demokrasi yg memeras keringat rakyat anak negeri menjadi miskin, terlantar dan terhinakan. Di sini kemiskinan tumbuh subur menjadi watak dan cultur anak negeri. Negara hadir menciptakan kemiskinan bagi rakyat.
Demokrasi yg membiarkan oligharcy tumbuh subur menguasai dan mengatur medan politik dan birokrasi di berbagai level instansi pemerintahan.
Demokrasi hanya memberikan orang orang punya uang untuk berkontestasi merebut kursi kekuasaan politik. Sebaliknya demokrasi menutup ruang politik bagi ilmuwan, kaum cerdika pandai, ahli hikmah untuk ikut serta dlm pertarungan kekuasaan elit untuk bisa menafasi spirit demokrasi dlm kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demokrasi yg melumpuhkan suara kritis anggota parlemen. Memisahkan peran anggota parlemen yg sejatinya menjadi wakil rakyat, dan menjadikan anggota parlemen sebatas juru bicara partai yg tunduk pada kuasa partai.
AKTIVIS, PEWRIS TERAH IDEOLOGIS PENDIRI BANGSA
Activis yg sedang bergerak di jalanan maupun mereka yg sedang mendekam dibalik terali, adalah pewaris terah ideologis para pejuang pendiri bangsa. Dasar pergerakan kaum activis berasas pada paradigma etik dan politik para pendiri bangsa. Para activis meneladani moral, spirit, etos dan pandangan politik pendiri bangsa. Olehnya mereka rela dikurung ataupun nanti dipenjarakan nanti, lebih mulia ketimbang bersekutu dg penguasa yg anti demokrasi.
Berjuta juta kuping yg mendengar dan mata yg melihat activitas kaum pergerakan bertarung merubah kiblat bernegara. Menggeser bandul kesebangsaan dan kebernegaraan kita kembali pada Pancasila dan UUD 1945. Jutaan warga bangsa mengharap sebuah perubahan yg pasti, bhw kita sanggup menarik garis ke Indonesiaan kita menuju kiblat peradaban kebangsaan yg telah gariskan oleh para pendiri bangsa. Yaitu INDONESIA MERDEKA DAN BERDAULAT.
Tugas peradaban mulia ini dinanti nanti oleh jutaan anak bangsa untuk dapat hidup mulia dan bermartabat. Negara punya tugas konstitusional untuk memenuhi janji janji dan cita cita kemerdekaan. Bagaimana negara bisa hadir memberikan tempat pekerjaan, membuka lapangan usaha yg menjamin terciptanya kemakmuran melalui kemandirian ekonomi. Sektor swasta yg kuat dan mandiri, adalah menjadi simbul dan tonggak kebangkitan kebanggaan sebagai anak bangsa. Tetapi di sisi lain perasaan kecemasan itu terus mendera menghinggapi pada kebanyakan anak anak usia kerja, karena kurang ketersediaan lapangan kerja dan rendahnya jaminan akan kemandirian usaha.
Memang terasa janggal bagi anak anak bangsa yg usia kerja, karena tidak disediakan lapangan kerja yg memadai dan menghasilkan keuntungan. Sebaliknya pemerintah justeru memberikan kartu untuk antri mendapatkan sembako. Di sisi lain lapangan kerja dibuka lebar untuk mewadahi tenaga kerja asing asal negeri Tiongkok. Meskipun pekerjaan yg tidak memerlukan keahlian seperti kuli bangunan. Tenaga kuli dari negeri komunis dikasih kerja, sedangkan tenaga kerja negeri pancasila cukup dikasih kartu untuk antri samboko. Lucuh, aneh dan paradoks.
Tentu tapak perjalanan kita lewati semakin tidak mudah, mendaki, melembah, penuh duri dan rintangan. Kita memang berhadapan dg sang pemimpin yg rapuh, namun dilingkari oleh suatu kekuasaan yg angkuh, pongah bahkan membabibuta, bagai benteng beton. Tapi sekuat apapun mereka berkuasa, sesungguhnya mereka bukan pemilik kekuasaan.
KEKUASAAN MILIK ALLAH
Kekuasaan dan kemuliaan itu sejatinya milik Allah, kepada siapa yg Allah berikan menjadi hak Allah semata. Suatu saat Allah bisa meencabut kekuasaan dan kemuliaan itu dari siapapun bila Allah menghendaki. Kekuasaan yg curang, penuh manipulasi, janji palsu. Proses pengambil keputusan yg tidak transparan, mengabaikan prinsip musyawarah mufakat. Menghidupkan kembali sistem koroni, dinasti, dan oligharcy. Tidak berotientasi pada pelayanan rakyat sendiri, melainkan suku bangsa yg lain. Adalah tanda pengikhanatan dan penyimpangan kekuasaan. Lambat atau cepat kekuasaan akan runtuh dg sendirinya.
Dan kita sejawatku pejuang, baik yg sedang bergumul di jalanan maupun yg sdg mendekam di balik jeruji besi adalah kita yg tengah sedang teruji. Tugas kita bukan berhenti di persimpangan sejarah. Tetap tugas mewujudkan janji kemerdekaan yg belum tertunaikan. Sanggupkah kita menerima kekuasaan ? Pertanyaannya sanggupkah kita mewujudkannya ?
Untuk itu tugas kita hanyalah melakukan ikhtiar dg penuh konsisten dan sungguh sungguh untuk merebut setiap janji Allah bagi mereka yg melakukan ikhtiar maka taqdir kemenangan yg akan dirahi. Oleh nya tugas kita bukan merebut kekuasaan, melainkan melakukan ikhtiar yg cukup dan memenuhi sarat untuk memperoleh kemenangan yg menjadi kuasa Allah. Kekuasaan Allah bukan untuk diperebutkan dan diperjual belikan dg uang, melainkan diberikan kepada mereka yg pantas memikulnya. Yaitu orang berilmu, berkarakter dan berintegritas sebagai pemimpin.
BERHENTI DI PERSIMPANGAN SEJARAH.
Olehnya seorang activis pergerakan tidak dapat diidentifikasi sebagai pejuang sejati bila narasi pergerakannya hanya sampai di PERSIMPANGAN SEJARAH. Dia gagal merahi ujung sejarah. INDONESIA BERDAULAH TANPA PENINDASAN itulah ujung sejarah.
Berhenti di persimpangan sejarah menandai activis pergerakan sdh lelah, gelap mata, tergiur dan tergoda oleh kepentingan jangka pendek. Tergoda oleh rayuan dan janji janji kekuasaan politik. Janji sebagai mentri, komisaris, direksi, tenaga ahli, staff khusus, uang dll. Kerap kali activis terjebak pada janji dan harapan yg menggiurkan. Berhenti di PERSIMPANGAN SEJARAH adalah penyimpangan sejarah perubahan bagi activis pergerakan.
Memang tidak mudah menyandang predikat sebagai activis pergerakan. Olehny jangan pernah lelah untuk menengok masa lalu, dan jangan pernah rabun mengaca realitas hari ini, dan jangan pula buta menerawang fenomena hari esok. Semuanya butuh energi fitrah, energi otentik untuk merawat kejelian dan kecermatan sebagai manusia pejuang agar tidak terprosok apalagi tergilas oleh tawaran gemilau kekuasaan.
MEMOTONG MATA RANTAI KESENJANGAN.
Penyandang predikat activis pergerakan, adalah orang gelisah terhadap tumpukan persoalan yg melingkupi rakyat, bangsa dan negara. Dia yg resah ketika ketidak adilan dan penindasan sosial ekonomi, pembodohan dan perbudakan sili berganti menimpa rakyat. Dia menyelidiki setiap faktor yang mendasari, kenapa benang kusut, benang basah yg menyelimuti kehidupan rakyat dari rezim ke rezim. Kenapa rezim berganti tetapi keadilan sosial dan keadilan ekonomi tidak hadir memakmurkan rakyat ? Adakah benang kusut dan benang basah yg sulit diurai ?
Olehnya activis pergerakan terlibat melarut menggumuli, meresap sari pati kehidupan kaum tertindas. Ia tidak hanya merenung dan bertafakkur di menara gading yg jauh dari hiruk pikuk rakyat. Namun ia membangun suatu kesadaran dg menciptakan jaringan sosial di akar rumput, menghidupkan nerasi perubahan. Membangan sekolah peradaban, sekolah keadilan, pesantren kemanusiaan untuk memperkuat kesadaran dan convidensi sosial rakyat. Lalu menghidupkan relasi budaya dan politik antara rakyat dan penguasa.
Karena penyakit akut pada penguasa negara tidak hanya berhenti merumuskan regulasi dan konstitusi untuk membentengi diri. Tetapi sesungguhnya penguasa juga berada pada radius yg jauh dari rakyat. Pembahasan dan Pengesahan UU Omnibush Law adalah suatu contoh yg terdekat dg kita. Betapa Penguasa negara nyata tidak peduli dg narasi kewarasan maupun beban batin rakyat. Karena itu tugas activis harus sanggup memutuskan mata rantai kesenjengan kekuasaan politik antara rakyat dan penguasa.
Tetapi anehnya para activis yg tersendera di persimpangan sejarah. Mereka justeru merekonstruksi diri menjadi alat kekuasaan, dan menggunakan bhs kekuasaan menghadapi aksi aksi rakyat.
PARADIGMA PROFETIK
Ada baiknya kita mengaca dan menginternalisir paradigma profetik perjuangan nabi Muhammad saw. Kemenangan Muhammad SAW membawa Islam sebagai agama dunia, bukanlah ada segenggam kekuasaan di tangannya. Bukan pula ia berkompromi dg gemilau tahta kekuasaan, harta dan wanita, melainkan ia tunduk pada DOKTRIN KEBENARAN dg cinta kasih, kesahajaan dan istiqomah.
Muhammad berkomitment kuat menyalamatkan martabat rakyat dari berbagai penindasan cultur struktur, meski dihujat, diludahi, dimiskinkan, diblockade, diancam pembunuhan. Muhammad membawa risalah tauhid yg berisi pembebasan perbudakan manusia dg mengiman keesaan Tuhan dan kerosulan Muhammad. Hanya dengan syahadat manusia menjadi setara, merdeka, terbebaskan dari belenggu perbudakan. Muhammah menghantarkan manusia mencapai puncak peradaban dan keadaban kemanusiaan dg iman. Bhw manusia profetic sll eksis menjadi bintang pencipta sejarah, itulah akhlaq atau karya besar yg dihambakan sebagai ibadah kepada Tuhan.
Salah satu akhlaq rosulullah nabiyullah Muhammad adalah tegaknya keadilan. Keadilan merupakan prinsip dasar kemanusiaan yg diperjuangkan oleh setiap manusia hidup. Keadilan ideal tidak pernah ada tanpa iman kepada Allah rosul yg tumbuh dlm diri manusia. Dengan iman itulah manusia saling berbagi karena memahami ada hak orang lain di luar dirinya. Dengan iman itulah pemimpin bertindak bijak dan adil kepada siapapun tanpa memandang warna kulit dan suku bangsa. Dengan iman itulah seorang hakim menjatuhkan putusan seadil adilnya meski kepada seorang presiden sekalipun.
Namun sering kali kita activis dihinggapi oleh sebuah mimpi besar, menjadi orang besar, tetapi sayang sering kali pula kita ikuti dg fikiran kerdil dan langkah yg cacat, walhasil menjadi absurd. Manusia jatuh tersungkur tanpa nilai kemanusiaan. Allah pemilik kehidupan mengembalikan insan activis pada derejat yg paling hina. Tsumma rodadnahu fie ashfala shafilien.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #aktivis #demokrasi